Wanita itu diam membeku, tanpa sepatah kata pun yang dia keluarkan untuk menjawab pertanyaan dari mamanya.
"Mama tahu, pasti Dion ngaku nggak!"
"Iya Ma, emang Dion yang kasih tahu Amira semuanya, kenapa? Apa Amira gak boleh tahu tentang keluarga Amira sendiri?" tanyanya kembali.
Mamanya justru menangis mendengarnya. Amira yang tak kuasa melihatnya, langsung memeluk wanita itu. Hati kecilnya seolah tergores melihat malaikatnya menangis seperti ini.
"Mama yang sabar, Amira tahu ini berat, tapi ingat Amira selalu ada di sini buat Mama," ucapnya menenangkan.
"Mama kasihan sama kamu Amira, dijadikan jaminan hutang dan sekarang dia justru menceraikan Mama, tanpa memikirkan perasaanmu," jawab mamanya terisak-isak.
Amira sendiri justru merasa kasihan kepada mamanya, meski dirinya sendiri juga patut untuk dikasihani, tapi mamanya jauh lebih membutuhkan dukungan darinya. Amira tidak boleh terlihat lemah di depan mamanya, kalau bukan dia siapa lagi yang bisa jadi sandaran sang mama.
"Amira gapapa kok, lihat ini Amira masih bisa tersenyum." Gadis itu melepas pelukannya sambil melukiskan senyum ke arah sang mama.
"Kamu anak yang kuat Mira, maafkan Mama dan papa ...," lirihnya.
"Oh iya, Mama masak apa hari ini, Amira lapar," ucapnya sambil mengusap perut.
"Loh kamu belum makan? Bagaimana dengan Anxel?"
"Tadi kamu pergi ke taman kota, Anxel udah ngajak Amira makan tapi hampir aja kami tertabrak mobil waktu menyebrangi jalanan tadi," jawabnya.
"Astaga! Kalian gapapa, 'kan? Gada yang luka?" Ekspresi khawatir terlihat jelas dari wajah sang mama.
"Amira gapapa, Ma, hanya saja Anxel sedikit terluka tapi sudah dibawa ke rumah sakit hanya luka kecil tadi juga sudah diberi obat," jelasnya.
"Kenapa gak bilang dari tadi, tahu gitu Mama larang Anxel pergi biar dia istirahat sebentar di sini. Oh iya, Amira bagaimana hubungan kamu dengan Anxel, Mama lihat kalian semakin akrab saja?"
"Mama tahu, Anxel sudah mulai peduli dengan Amira, dia juga sudah meninggalkan wanita simpanannya itu, Amira seneng banget kayaknya dia sudah mulai bisa buka hati buat Amira," jawabnya.
"Syukurlah sayang, Mama harap hubungan kalian semakin membaik nantinya."
Tak lama perbincangan keduanya, suara mobil kembali terdengar memasuki halaman rumah itu. Pastinya itu milik Anxel, lelaki itu sebenarnya tak pergi ke kantor hanya memberikan waktu untuk Amira dan mamanya berbicara saja.
"Itu suami kamu sudah kembali, Mira, lebih baik kamu pulang dan masak untuk suamimu di rumah," suruh mamanya.
"Iya Ma, kalau Amira tinggal Mama gapapa, 'kan?"
"Ada Dion, dia sering kemari menjenguk Mama, jadi gak kesepian lagi," jawabnya.
Amira benar-benar bersyukur dengan kehadiran Dion di hidupnya. Satu-satunya manusia yang selalu menjadi support sistem untuknya dari dulu sampai sekarang ini.
"Jadi kangen Dion, padahal tadi habis ketemu loh Ma," ucapnya.
"Kamu ketemu Dion di mana?"
"Di taman tadi, sekarang dia di rumah gak ya?"
"Kayaknya enggak Mir, sekarang dia dapat kerjaan baru di tengah kota sana pulangnya nanti sore, biasanya dia langsung mampir ke sini ngasih makanan ke Mama, kalau enggak ya cuma lihat keadaan Mama," jelas mamanya.
"Mira beruntung banget ya, punya Dion ...."
"Iya Mir, Mama juga," sahutnya.
Tok, tok, tok!!
"Itu Anxel, biar Mira buka."
Amira bangkit dari duduknya untuk menyambut kedatangan sang suami, di balik pintu itu terlihat Anxel membawa sesuatu yang dia sembunyikan di balik punggungnya. Amira nampak penasaran, sesekali dia hendak mengintip apa yang lelaki itu bawa tapi selalu ditutupi olehnya.
"Bawa apaan?" tanyanya penuh penasaran.
"Kepo!" cetus Anxel.
"Buat Mama?" Amira kembali mengajukan pertanyaan.
"Enggak," jawabnya singkat.
"Terus buat siapa?"
"Kamu."
Amira mengernyitkan dahi mendengarnya.
"Kenapa ekspresinya gitu?"
"Aneh aja, tumben, emangnya itu apaan?"
Anxel mengeluarkan sesuatu yang tadinya dia sembunyikan di balik punggungnya. Ternyata itu adalah sekuntum mawar putih, dengan pita kecil terikat di batangnya, juga sebuah kartu ucapan berbentuk cinta menggantung di sisinya. Bersamaan dengan itu, Anxel juga mengeluarkan sesuatu dari sakunya, yang tak lain adalah sebatang cokelat yang juga dia sodorkan ke arah Amira.
"Tunggu, ini maksudnya apa? Hari valentine udah lewat kalik," gerutunya.
"Lah memang ngasih cokelat sama bunga buat istri sendiri harus nunggu hari valentine?"
"Ee-eh, enggak juga sih ...."
"Nah makanya, udah terima nih biar mood kamu balik lagi," potongnya.
Amira tak menyangka, lelaki seperti Anxel bisa semanis itu dengannya. Anxel yang sekarang berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dia kenal dulu. Anxel yang cuek, gak pedulian, bodoamat dengan semua hal tentangnya kini tenggelam. Hanya ada Anxel yang lembut, manis dan perhatian dengannya.
"Kamu sehat, 'kan?" Amira memegang kening suaminya untuk mengecek suhu badannya, dia pikir lelaki itu tengah tak waras atau tak sadar dengan apa yang dia lakukan kini.
"Apaan sih, aneh kamu dipikir saya sakit apa!" kesalnya.
"Ya gimana ya, kamu berubah jadi lebih baik sekarang, gak kayak dulu apa karena kamu habis kecelakaan tadi, jadi otakmu agak geser dikit gitu?"
"Sembarang! Ini mau gak? Kalau enggak biar aku kasih ke pengemis jalanan daripada mubazir dibuang," cetus Anxel.
"Heh! Mau lah, masa mau dikasih pengemis sih!"
"Yaudah ambil."
Amira menerima pemberian dari Anxel untuk pertama kalinya, hati kecilnya benar-benar tersentuh dalam hatinya Amira pasti sangat berbunga-bunga ingin sekali rasanya dia menjerit kalau dia sudah berhasil meluluhkan hati sang suami, usahanya selama ini berhasil, tapi dia tahan rasa itu karena gengsi di depan Anxel.
"Kenapa senyum-senyum? Pasti kamu seneng banget saya kasih itu," ucap Anxel dengan pedenya.
"Eh, biasa aja kalik," jawabnya berpura-pura.
"Halah ngaku saja ngapain gengsi sama suami sendiri juga," sindir Anxel.
Amira tak bisa mengelak dia hanya mengulas senyum, dengan wajah yang sudah berubah merah jambu. Anxel tahu, tapi dia lebih memilih diam, dia sangat peka dengan yang Amira rasakan saat ini.
"Oh iya, mau pulang sekarang atau?"
"Sekarang aja, Mama juga udah lebih baik, pamit dulu sama Mama," jawabnya.
Anxel mengangguk paham, keduanya masuk ke dalam rumah untuk pamitan kepada sang mama. Anxel lihat sang mama tengah memasukkan sesuatu ke dalam sebuah wadah di meja ruang tamu sana.
"Ma, Amira dan Anxel pamit dulu ya," ucapnya.
"Tunggu bentar sayang, ini kamu bawa kue buatan Mama, enak loh." Mamanya menyodorkan sebuah tempat makanan yang di dalamnya sudah diisi kue buatannya untuk dibawa pulang Amira.
"Ini serius Mama yang buat?"
"Sebenarnya ini buat Dion, dia disuruh bawa kue katanya perayaan ulang tahun kantor barunya, jadi minta tolong Mama buat bikin," jawab mamanya.
"Lah, emang bibinya ke mana ngapain minta tolong Mama?"
"Pulang kampung katanya, kasihan jadi Mama buatkan," jawabnya.
Amira mengangguk-angguk paham, dia menerima kue pemberian dari mamanya itu dan langsung pamit bersama dengan Anxel.
Bersambung ....