"Kamu." Dengan mantap jawaban itu keluar dari mulut Amira.
Anxel sempat terdiam sejenak mendengarnya.
"Lantas mengapa Dion yang berhak lebih tahu daripada saya?" Sekali lagi pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Anxel.
"Karena dia sahabatku dari dulu, dia yang tahu bagaimana aku, dan dia juga yang lebih tahu perihal masalah ini dibanding aku!"
"Tapi aku suamimu," potong Anxel.
Amira menghela napas panjang. Anxel justru membuat keadaannya yang semula sudah baikan, kembali menjadi buruk. Wanita itu duduk di bangku dekatnya, dengan tatapan kosong yang dia lemparkan ke arah dinding di hadapannya.
"Maaf, karena saya kamu jadi—"
"Tidak apa, apa yang kamu katakan benar, kamu adalah suamiku seharusnya aku lebih terbuka denganmu," potong Amira.
"Sebenarnya ini masalah papaku, kamu tahu papa adalah alasan mengapa kita bisa menikah, karena perihal hutang yang dia tinggalkan itu," sambung Amira.
"Jadi, di mana letak masalahnya?"
"Dia kembali."
"Bagus dong, harusnya kamu bahagia papa kamu kembali lagi," sahut Anxel.
"Kamu benar Anxel, harusnya aku bahagia papaku kembali, harusnya aku bisa memaafkan dia kalau pun papa minta maaf akan ku lakukan. Tapi, dia datang bukan untuk itu," jawabnya.
Anxel melihat raut wajah Amira semakin tak karuan. Wanita itu sudah tidak bisa lagi menahan air mata, yang kini mulai menetes membasahi pipinya. Wajahnya memerah, tak kuasa menahan tangisnya.
"Kalau bukan untuk itu, lalu?"
"Dia memberi kabar tentang gugatan ceritanya ke mama," jawab Amira menatap kedua bola mata Anxel dengan mata berkaca-kaca.
Anxel tak menyangka, fakta yang dia ketahui kini. Wajar jika Amira terlihat sangat terpuruk, barangkali Anxel juga akan sepertinya jika berada di posisi Amira saat ini. Lelaki itu refleks memeluk tubuh istrinya untuk memberikan kehangatan lewat pelukannya itu. Sebuah naluri mulai dia rasa, kesedihan yang dirasa Amira seolah menyalur bagai arus listrik ke tubuhnya. Memang benar kata orang, tidak ada yang lebih menyakitkan selain hancurnya tempat kita pulang.
"Kamu yang sabar, ada saya di sini," ucap Anxel menguatkan.
"Aku khawatir sama mama, boleh aku pulang ke rumah setelah ini?" pintanya.
"Tentu, akan saya antar," jawab Anxel.
Amira mengangguk, tangan Anxel meraih air mata yang masih menetes di pipi wanita itu dan menghapusnya.
"Ayo ke apotek, setelah ini saya antar kamu pulang," ajaknya.
Amira merasa lebih baikan, setelah mendapat pelukan hangat dari suaminya, wanita itu mengangguk mengikuti ajakan sang suami. Keduanya menuju ke arah apotek untuk menebus resep obat yang sudah diberikan dokter tadi. Benar seperti yang dia katakan, Anxel kini membawa Amira menuju ke rumahnya. Berkali-kali Anxel terlihat menghibur Amira lewat tingkahnya di dalam mobil selama perjalanan. Hal kecil itu kadang yang membuat Amira mulai membuka hati untuknya.
Beberapa lama berada dalam perjalanan, keduanya sampai di depan rumah berpagar besi, dengan cat hitam. Rumah yang menyimpan sejuta kenangan, satu hal yang Amira rindukan yaitu suasana rumah yang dulu begitu bahagia, asri, rumah yang selalu menghantui pikirannya ketika berada di luar, rasa ingin cepat-cepat pulang ketika dia bekerja. Semua itu hanya angan yang tidak dapat dia ulang kembali. Selangkah dia masuk pekarangan depan rumah, hembusan angin mulai menerpa kulit putih bersihnya, bersama dengan seorang lelaki yang kini menemaninya berjalan menuju ke rumah itu.
Tok, tok, tok!!
Mamanya yang sedang berada di dalam kamar, belum mendengar suara ketukan pintu itu. Berkali-kali Amira melakukannya, berharap mamanya cepat-cepat membukakan pintu untuknya.
"Mama!! Mama!!" Panggilan demi panggilan dia keluarkan agar mamanya mengetahui akan kehadirannya.
Di dalam kamar.
Seorang wanita paruh baya terbaring di atas ranjang tempat tidur, dengan sebuah guling yang dia jadikan alas untuk menampung air matanya yang sedari tadi tak mau berhenti.
"Kanapa nasibku menjadi seperti ini, sebelumnya masih ada harapan walau hanya satu persen saja, untuk kamu kembali dan harapan itu ku pikir kini terwujud akan kehadiranmu, Mas! Ternyata aku salah, kamu justru menambah luka dalam hidupku, kenapa kamu setega ini?" Pertanyaan itu yang berkali-kali dia tanyakan pada dirinya sendiri.
"Mama!!"
"Mama!!"
Wanita itu mulai mendengar suara panggilan dari putrinya di depan sana.
"Itu kayak suara Amira, jangan-jangan di datang ke sini buat jenguk aku. Aku gak boleh kelihatan habis nangis kasihan dia kalau kepikiran gara-gara ini," ucapnya dengan segera menghapus semua air mata yang membasahi pipinya.
Dengan cepat dia beranjak bangun dari tempat tidurnya, membuka pintu untuk menyambut kedatangan putrinya.
"Amira," panggilnya setelah melihat dua orang yang kini berdiri di hadapannya.
"Anxel."
"Ma, gimana kabarnya?"
"Mama baik Anxel, kalian tumben ke sini? Bukannya masih nginep di hotel untuk honeymoon?" tanya sang mama.
"Iya Ma, Amira pengen main ke sini kangen sama Mama katanya. Oh iya, saya ada urusan di kantor sebentar mungkin Amira bisa saya tinggal dulu di sini nanti saya jemput." Anxel sengaja mencari alasan agar Amira bisa berbicara empat mata dengan mamanya.
Tidak ada yang bisa mengerti kita lebih jauh dari ibu kita dan orang-orang terdekat kita. Maka dari itu, Anxel ingin memberikan waktu untuk Amira dan ibunya bersama setidaknya ada konsep saling menguatkan di antara keduanya nanti.
"Begitu ya, baiklah kalau kamu mengijinkan Amira di sini sebentar bersama saya," jawab sang mama.
"Iya Ma, Anxel pamit."
Sebenarnya Amira sendiri merasa aneh dengan panggilan Anxel, menyebut mamanya dengan sebutan mama sama seperti dirinya. Tapi, tidak salah juga karena sekarang mamanya adalah mama mertua Anxel. Lelaki itu bersalaman dengan mamanya, kemudian pergi meninggalkan keduanya. Kini tinggal Amira menatap ke arah kedua mata mamanya yang terlihat sembab, sangat jelas seperti orang menangis karena banyak tekanan.
"Ayo masuk Ma, Amira mau ngomong sesuatu," ajaknya.
Mamanya hanya menurut, keduanya duduk di sofa ruang tengah.
"Ada apa Mir, kamu ada masalah lagi dengan Anxel? Mama lihat dia sudah mulai lembut kepadamu, Mama yakin tidak lama lagi dia akan luluh kepadamu," ucap mamanya.
"Iya Ma, semoga saja. Tapi, bukan itu yang mau Amira bicarakan ke Mama," potongnya.
"Lalu masalah apalagi?"
"Amira sudah tahu semuanya, Mama gak usah menutupi apapun dari Amira," ucapnya mengintimidasi.
"Maksud kamu apa, Mira?"
"Amira tahu semuanya! Amira tahu kalau papa datang ke sini, Amira tahu kalau dia menemui mama kemari," jawabnya.
"Tahu dari mana kamu?"
"Mama tidak perlu tahu, Amira juga tahu kalau papa ...."Amira tak sanggup melanjutkan kalimatnya, wanita itu terdiam sejenak lalu kembali menyambung kalimatnya.
"Kalau papa menceraikan Mama ...," sambungnya.
Deg!
"Kamu tahu dari mana, Mira!!" tegas sang mama.
Amira hanya diam, tanpa memberikan jawaban apapun.