Mendengar keributan dari luar, membuat Anxel merasa terusik dan akhirnya bergegas keluar dari kamar mandi. Dia lihat sang istri tengah berdiri menghadap dinding, dengan sebuah telepon menempel di telinganya. Anxel tentu sangat mengenali telepon itu, benar sekali itu adalah ponsel miliknya, dan sekarang berada di tangan Amira.
"Ngapain kamu pegang ponsel saya? Lancang sekali."
Suara itu membuat Amira terkejut, dan langsung menoleh. Melihat keberadaan Anxel di belakangnya dengan raut wajah yang sulit diartikan olehnya membuat nyalinya ciut. Amira berusaha mengendalikan diri.
"Ekhem, ada telepon tadi makanya aku angkat," jawabnya terdengar santai.
"Lancang."
"Bukan lancang, karena saya sudah menjadi istrimu," jelas Amira.
"Baru jadi istri paksaan saja belagu!"
"Setidaknya sekarang saya punya hak atas kamu. Barang suami, adalah milik istri, uang suami adalah uang istri," cetus Amira menirukan quotes yang sempat dia baca dari story media sosial.
"Itu artinya saya juga punya hak atas kamu, sepenuhnya!" tekan Anxel.
"Salah!"
Anxel mengerutkan kening mendengar sanggahan itu.
"Semua milik suami memang milik istrinya, tapi milik istri tetap milik istri," imbuhnya.
"Oh ya?" Anxel meminta paksa ponsel miliknya dari tangan Amira.
Dia lihat sebuah panggilan masih terhubung dengan seorang di sana. Melihat nama yang tertera di layar ponsel itu membuatnya sedikit mendesis dan kemudian pergi keluar meninggalkan Amira yang masih membeku di tempat.
"Tahan Amira, ini baru hari pertama oke, kamu harus lebih sabar lagi," ucapnya menenangkan diri.
Di luar ruangan.
Lelaki itu mencari tempat yang nyaman untuk melanjutkan obrolan lewat telepon dengan wanita selingkuhannya.
"Ngapain kamu hubungi saya lagi, bukannya saya sudah peringatkan untuk menyelesaikan hubungan ini, berapa kali sudah saya tegaskan kamu itu hanya saya jadikan wanita penghibur di saat waktu luang saja," cetus Anxel terdengar begitu menyakitkan.
Tapi, itu terdengar sudah biasa di telinga wanita itu yang memang sudah tak tahu diri masih mengejar Anxel, bahkan sampai kini lelaki itu menikah dia masih terus mengejarnya.
"Kenapa kamu ngomong gitu, jahat banget, aku sayang sama kamu Anxel, aku cinta sama kamu. Bukti apalagi yang harus aku perlihatkan agar kamu percaya?"
"Tidak ada, dan tidak perlu. Kita sudah selesai, saya sudah beristri," jawab Anxel.
"Tapi kamu tidak mencintainya, aku tahu itu, Mas!"
"Bukan urusanmu. Urusan kita sudah selesai, jangan ganggu saya lagi!"
Anxel memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Dia sudah muak kali ini, dengan perlakuan wanita itu. Bukan karena membela Amira, tapi memang dari dulu dia sudah menahan ini hanya saja masih dia tahan untuk memanasi Amira agar cemburu kepadanya.
Lelaki itu memutuskan kembali masuk ke dalam kamar, selangkah dirinya membuka pintu tercium aroma masakan yang begitu lezat, sangat merangsang kondisi perutnya yang tengah lapar kini. Aroma itu terasa sedikit asing, tapi benar-benar menarik perhatiannya.
"Masak apa dia, kenapa baunya begitu lezat," gumam Anxel.
Ingin rasanya dia berjalan menuju dapur, menemani Amira memasak dan menanyakan perihal masakan ini, tapi apalah daya gengsinya terlalu besar. Lebih baik dia duduk manis, menunggu di meja makan, memainkan ponsel meski harus menahan lapar sampai masakan itu datang sendiri di hadapannya.
Amira terlihat kerepotan membawa beberapa piring makanan di tangannya. Melihat Anxel sudah menunggu sarapan pagi ini, membuat Amira terburu-buru menyelesaikan masakannya.
"Ini sarapannya, mau saya ambilkan nasi atau?"
"Tidak. Saya bisa sendiri," tolaknya.
Amira mengangguk paham dan segera duduk untuk sarapan bersama. Hari ini Anxel mungkin tidak akan pergi bekerja, karena ini masih masa-masa honeymoon keduanya. Ya, meski tidak ada hal manis yang sepatutnya mereka lakukan, setidaknya ini bisa jadi alibi di depan keluarga keduanya nanti.
"Hari ini mau ke mana?" Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Anxel saat keduanya tengah sarapan bersama.
Amira tidak tahu harus menjawab apa, dirinya juga bingung apa yang akan dia lakukan setelah ini seperti tidak ada tujuan hidup sama sekali.
"Aku juga gak tahu," jawaban jujur.
"Bagaimana kalau ikut dengan saya," ajak Anxel.
Amira tidak salah dengar? Anxel mengajaknya pergi bersama? Tapi, ke mana?
"Ke mana?"
"Ini weekend, ada pameran di taman kota, mau ke sana?"
"Sebenarnya pengen, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Saya malas, pasti banyak orang dan panas banget apalagi cuacanya lagi cerah," jawabnya.
"Manusia aneh. Orang lain suka keramaian sedangkan kamu malah suka kesendirian, hati-hati kadang yang seperti itu gampang gila," cetus Anxel.
"Enak aja, gak bakalan!"
"Pokoknya kamu temani saya ke sana, ada seseorang yang harus saya temui," jelas Anxel.
"Wanita itu?" Mulut Amira serasa mengatakan itu tanpa dia minta.
"Bukan."
Jawaban yang cukup menyenangkan hati meski hanya sekilas saja kemudian kembali datar.
"Cepat siap-siap, saya malas menunggu."
Amira tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, dia bergegas membereskan semuanya dan bersiap pergi ke pameran bersama dengan suaminya. Meski dia harus panas-panasan, tapi sudahlah daripada dia buat masalah baru dengan Anxel.
Wanita itu mengenakan pakaian yang cukup elegan dan terlihat sederhana, enak dipandang mata. Dress berwarna biru tua, dengan sebuah kalung menggantung di lehernya dan beberapa perhiasan lain, begitu juga dengan sapuan make up tipis yang membuatnya terlihat lebih menawan dipandang mata.
"Ayo, saya sudah siap."
Anxel menoleh ke arah sumber suara, hampir saja mulutnya dibuat menganga melihat penampilan Amira lagi dan lagi. Ini bukan pertama kalinya dia terpesona dengan kecantikan Amira, tapi Anxel sangat pandai menutupinya.
"Kenapa? Penampilan ku memalukan?"
"Biasa saja. Ayo," ajaknya.
Amira tak hiraukan itu, wanita itu membuntuti ke mana pun langkah Anxel berjalan. Beberapa menit berada di perjalanan, mobil Anxel kini sudah diparkir dengan rapi di parkiran depan taman kota. Banyak sekali mobil berderet di sana. Amira berjalan masuk, sebuah panggilan menyapanya membuatnya dan Anxel menoleh.
"Tuan Anxel ...." Lelaki itu menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Anxel.
"Hai, Tuan Erick," jawabnya ramah.
"Bagaimana kabarnya?"
"Sehat, anda sendiri? Ini siapa?" Lelaki itu menunjuk ke arah Amira yang tengah berdiri di samping Anxel.
"Dia Amira, istri saya."
Deg!!
Seorang Anxel, mau mengakui status Amira? Dan dia mengatakannya dengan semudah itu seolah tiada beban sama sekali? Amira baru tahu rasanya diakui di depan orang lain, ternyata sesederhana itu bahagianya. Tapi, kembali lagi dia tekankan kepada dirinya sendiri, agar tidak terlalu berharap lebih karena itu hanya akan menyakiti diri sendiri jika tidak sesuai dengan ekspektasi nantinya. Amira tersenyum, menerima uluran tangan lelaki itu.
"Saya Erick."
"Saya Amira," jawabnya mengenalkan diri.
"Baiklah, saya masuk dulu, mari Tuan ...."
"Baik, silahkan."
Selepas kepergian lelaki itu, Amira belum sempat mengatakan sesuatu dirinya baru membuka mulut tapi Anxel seolah seperti orang pintar yang bisa membaca pikirannya, dan langsung menyahutnya.
"Jangan kepedean, saya hanya tak mau citra saya dipandang buruk hanya karena ini."
Shit!
Menyakitkan bukan?
Dipuji hingga terbang, dijatuhkan hingga dasar.
Bersambung ....