Amira membulatkan kedua matanya, melihat betapa megahnya pemandangan yang ada di hadapannya kini, bagaikan surga yang menjadi idaman semua orang. Sebuah hotel mewah nan megah kini ada di hadapannya, berpuluh-puluh mobil bahkan lebih terparkir rapi di tempatnya. Amira keluar dari mobil bersama dengan Anxel, keduanya langsung menuju kamar yang sudah Tuan Alex pesankan. Anxel terlihat sudah hafal betul tempat itu, tidak heran karena tempat itu tidak lain dikhususkan untuk konglomerat saja, Anxel ini salah satunya, dan mulai sekarang Amira pun menyandang status istri dari seorang konglomerat.
Tepat di depan sebuah kamar, keduanya berhenti. Anxel melihat nomor yang tertera di atas pintu, mencocokkan nomor itu dengan sebuah kartu yang dia pegang, setelah memastikannya barulah dia membuka pintu kamar itu. Rasa takjub, kagum, semua yang Amira rasakan menjadi satu, benar-benar indah.
"Saya mandi dulu." Lelaki itu meletakkan dompet dan kunci mobil miliknya, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Sementara Amira masih termangu, duduk di atas kasur yang terasa sangat empuk dan nyaman.
"Jadi pengen rebahan," gumamnya.
Wanita itu merebahkan tubuhnya sejenak, merasakan sebuah kenyamanan, tanpa dia sadari sampai tertidur pulas di kasur itu. Anxel yang baru selesai membersihkan dirinya di kamar mandi langsung disuguhi pemandangan yang cukup mengenakan untuknya. Amira tertidur dengan posisi yang cukup memalukan, sebagian bajunya tersingkap hingga menampakkan dua buah benda miliknya yang cukup menggoda untuk kaum lelaki. Anxel sampai menelan ludahnya mencoba untuk mengontrol diri. Jangan sampai dirinya khilaf, apalagi Amira tengah tidak sadarkan diri. Anxel mau, Amira memberikannya dengan ikhlas sebagai hak seorang istri kepada suaminya, meski itu sudah kewajiban tapi Anxel tak mau Amira tepaksa melakukannya.
"Manusia ini pasti sengaja mau menguji keimanan saya," gumam Anxel kesal.
Lelaki itu sebisa mungkin menutup dirinya dari nafsu yang begitu kuat seolah menggodanya. Anxel berjalan mendekat ke arah Amira, untuk menyelimuti tubuh wanita itu.
"Kalau dilihat dari dekat, cantik juga ...." Satu tangannya menggapai rambut wanita itu lalu merapikannya kembali.
"Eh! Aku ngomong apa sih!" Anxel berusaha menyadarkan dirinya bahwa yang dia lakukan salah.
Lelaki itu sudah berjanji pada dirinya untuk tidak membuka hati sebelum Amira terlebih dulu jatuh cinta padanya, tapi apakah dia mampu menjalani itu? Sementara jika kita lihat dari perhatian yang dia berikan seolah Anxel sudah mulai mempunyai rasa dengan Amira.
"Terus saya tidur di sofa gitu? Harusnya dia yang tidur di bawah," cetus Anxel.
Bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Malam pertama yang seharusnya dia habiskan untuk bersenang-senang dengan istri, kini justru tidak ada. Hanya ada dua orang yang tidur terpisah, tanpa percakapan, bahkan sampai mentari terbit menyinari bumi.
Cahaya mentari mulai masuk, melalui sela-sela kamar hotel, di mana dua orang insan masih tertidur pulas, Amira yang masih merasakan kenyamanan di atas kasur empuk, dan Anxel yang tengah tidur di sofa.
Wanita itu mulai membuka matanya, merasakan cahaya yang menyengat kulitnya mulusnya. Baru membuka mata, wanita itu langsung tersadar jika semalam dia ketiduran, dia lihat seluruh tubuhnya dengan wajah ketakutan, meneliti satu persatu pakaiannya, untung saja tidak ada yang hilang atau bahkan berpindah satu pun.
Wanita itu mencari keberadaan Anxel, sampai akhirnya dia menemukan lelaki itu masih tertidur di atas sofa panjang dalam kamar hotel itu.
"Jadi, semalam dia tidur di sofa? Itu artinya dia sama sekali tidak menyentuhku?" tanya Amira pada dirinya sendiri.
"Kalau lagi tidur kayak gini, ini orang meski ngeselin tapi ganteng juga dilihat-lihat," gumamnya sembari mengamati wajah lelaki yang masih tertidur pulas di depannya.
Hampir lima menit lebih, Amira termangu mengamati wajah tampan Anxel, sampai pria itu tiba-tiba membuka matanya dan memergoki apa yang Amira lakukan padanya.
"Ekhem, awas baper," sindirnya.
Amira yang terkejut, langsung membulatkan kedua bola matanya.
"Eh, siapa juga yang baper kepedean," sahutnya beralibi.
"Halah ngaku aja, dikira gak tahu apa dari tadi lihatin terus!"
"Saya cuma merasa bersalah, gara-gara saya semalaman kamu tidur di sofa," jawab Amira terus terang.
"Bagus deh, kalau kamu merasa bersalah, pinggang saya rasanya sakit semua ini. Sebagai gantinya kamu buatkan sarapan untuk saya, dan lakukan apa saja yang saya perintahkan sehari ini," sahut Anxel.
Amira kesal mendengarnya, lelaki itu selalu saja mencari kesempatan untuk membuat Amira menderita.
"Cepat, ngapain masih di sini? Saya mau mandi, kamu mau ikutan mandi?" tanyanya dengan satu alis terangkat.
Amira bergidik ngeri mendengar hal itu. Dengan cepat dia berlari menuju dapur, membuatkan sarapan sesuai permintaan dari Anxel. Lelaki itu hanya tertawa kecil, mendengar tingkah istri barunya.
Amira membuka lemari es, dilihat ada banyak bahan makanan di sana, wanita ini memang jarang masuk ke dalam dapur, tapi jangan salah dia sudah dilatih oleh ibunya semenjak dijodohkan dengan Anxel, dia dilatih menjadi istri yang baik, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan baik, dan masih banyak latihan lain yang dia pelajari dengan ibunya.
Amira mengambil beberapa sayuran segar yang tersedia di dalam lemari pendingin, lalu memotongnya menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Baru saja wanita itu duduk, sebuah suara kini mengharuskan dirinya kembali bangkit. Suara telepon yang tak kunjung diangkat, kini mengusik pendengarannya. Suara itu pastinya dari ponsel Anxel. Beberapa kali Amira berteriak memanggil Anxel, tapi sepertinya lelaki itu masih berada di dalam kamar mandi.
"Berisik banget, awas aja kalau wanita murahan itu yang telepon," cetusnya kesal.
Karena sekarang Amira merasa sudah punya hak, maka dirinya siap bertempur dengan wanita-wanita simpanan itu. Sebuah panggilan yang ke sekian kalinya, kini diangkat oleh Amira, wanita itu masih diam sampai orang yang berada di balik ponsel itu berbicara.
"Mas ...."
"Apa! Mas???" tanya Amira terkejut.
"Kamu siapa? Istri barunya itu?" Wanita di balik telepon itu berani membuka mulut kembali.
"Iya, memangnya kenapa? Ada urusan apa ya, Anda menghubungi suami saya sampai panggil mas segala?" Amira mencoba tetap tenang berusaha menghadapi ini dengan kepala dingin.
"Kamu belum mengenal saya? Apa suamimu belum pernah bercerita tentang saya?"
"Tidak, dia tidak pernah menceritakan tentangmu, mungkin kamu tidak penting untuknya," cetus Amira.
"Jaga mulutmu! Sebelum kamu datang dia hanya milikku!" Wanita itu mulai terbawa emosi.
"Tapi, sekarang dia milikku, gimana dong?" Amira semakin semangat mengibarkan api perang agar wanita itu semakin panas.
"Dia hanya menikahimu di atas kertas, tapi hatinya tetap milikku seorang!"
"Tidak apa belum dapat hatinya, lebih parah lagi sudah dapat hatinya tapi nikahnya sama orang lain, sakit gak tuh? Serasa dikasih harapan palsu ya, 'kan?" ejek Amira.
"Sialan!!"
Bersambung ....