"Ngapain kamu di sini?" Anxel nampak terkejut melihat keberadaan Dion di hadapannya kini. Persis seperti yang Amira bayangkan.
"Kenapa? Ini tempat umum," jawab Dion acuh.
"Kamu yang suruh?" Matanya menatap tajam ke arah Amira, menunjukkan rasa kecurigaannya kepada wanita itu.
"Enggak. Ini tempat umum Anxel, jadi jangan salahkan Dion kalau dia datang kemari," jawabnya.
"Kita pindah saja."
"Tapi, tiketnya sudah dibeli, aku gak mau mubazir. Sudahlah, Dion juga temanku kita nonton bertiga saja," potong Amira.
"Kita pindah saja, Amira!" ucap Anxel dengan nada ditekankan.
"Gak mau. Memangnya kamu mau Tuan Alex marah? Aku sih, gak mau tanggung jawab, lagian kenapa sih kalau ada Dion, kamu gak suka sama dia? Atau kamu takut kesaing sama dia?" sindir Amira.
"Cihhh!! Beda level."
Amira melukiskan senyum manis, tampak sangat bahagia melihat reaksi Anxel. Wanita itu masuk terlebih dulu ke dalam bioskop, diikuti Dion yang setia berjalan di belakangnya. Keduanya meninggalkan Anxel yang masih termangu sendiri, melihat kepergian keduanya. Padahal niat dalam hati, dirinya ingin membuat Amira baper padanya, tapi apa yang dia lihat kini justru keberadaan Dion ada di tengah-tengah mereka. Menyebalkan.
"Males banget, tapi gimana udah terlanjur juga semua ini gara-gara lelaki itu, lihat saja nanti," gumam Anxel.
Lelaki itu berjalan menyusul masuk ke dalam bioskop, melihat Amira sudah duduk berdua, dengan Dion di sampingnya. Hanya ada satu bangku tersisa di sana, di samping Amira pula. Anxel pun terpaksa duduk di sana, melihat dua orang manusia itu bercanda gurau seolah tak menganggap keberadaan dirinya. Anxel sangat benci berada di posisi ini. Sebuah rencana licik mulai terpikirkan dalam benaknya, kenapa dirinya tidak melakukan sesuatu agar keadaan menyebalkan ini segera berakhir?
"Amira."
Panggilan itu membuat Amira menoleh ke arah Anxel.
"Iya?"
"Saya mau beli minum, mau sekalian?"
"Boleh, Dion juga ya," pintanya.
"Oke."
Anxel beranjak bangun, meninggalkan keduanya hendak memesankan minuman. Baru kali ini, dirinya seolah dijadikan pembantu oleh orang lain. Tapi, tidak apa semua ini demi lancarnya rencana yang dia susun.
"Anxel mau ke mana?" Dion nampak terheran-heran.
"Beli minum, buat kita," jawab Amira.
"Gak salah? Dia mau beli minum buat kita?"
"Iya, bosen palingan dikacangin mulu sama kita," jawab Amira terkekeh.
Meski terasa sedikit heran, tapi tak terpikirkan olehnya bahwa Anxel sebenarnya berniat jahat kepada Dion.
Lima belas menit kemudian.
Anxel kembali dengan tiga buah cup, berisi muniman yang berbeda rasa untuk mereka. Lelaki itu duduk kembali di tempatnya memberikan minuman itu kepada pemilik masing-masing sesuai pesanan mereka diawal tadi.
"Makasih Anxel, baik banget hehe," ucap Amira alibi.
"Iya."
"Makasih bro," sahut Dion.
"Iya, santai."
Anxel melirik ke arah Dion, yang nampak meminum minuman itu dengan segarnya, hampir menghabiskan seluruhnya, Anxel tertawa penuh kemenangan melihat hal itu.
"Tiga, dua ...." Dalam hatinya menghitung mundur seolah meramal apa yang akan terjadi setelahnya.
"Satu ...."
"Aduh, perutku," lirih Dion.
"Dion, kamu gapapa? Perutmu kenapa?" Amira nampak sangat khawatir melihat hal itu.
"Kayaknya aku butuh ke toilet bentar," jawabnya sudah tak tahan.
Dion beranjak, dan langsung berlari keluar mencari keberadaan toilet di luar sana. Sementara Amira, hanya bisa terdiam, dirinya terlihat bingung memperhatikan Dion, benaknya mencoba menelaah apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya. Sorot matanya tajam, langsung mengarah ke arah Anxel, menatap penuh kecurigaan ke arah lelaki itu.
"Apa?" tanyanya seolah tak berdosa.
"Udah deh, gak usah sok polos, pasti kamu 'kan yang bikin Dion kayak gitu? Pasti kamu taruh sesuatu ke minuman Dion, ngaku!" tuduh Amira.
"Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan," jawab Anxel singkat.
"Mana ada fitnah? Ngaku aja deh mending, lihat aja kalau sampai terjadi sesuatu sama Dion, aku gak bakalan tinggal diam," ancamnya.
Amira beranjak bangun, berniat menyusul Dion. Namun, tangannya ditahan oleh Anxel, membuatnya kembali duduk.
"Di sini saja. Dia hanya sakit perut biasa, nanti juga balik," suruh Anxel.
"Tapi dia kelihatan kesakitan Anxel, mana hati nurani kamu sebagai manusia?"
"Dia gak bakalan kenapa-kenapa, Amira! Percaya sama saya!" tegas lelaki itu membuat Amira bungkam seketika.
"Dari mana kamu tahu? Berarti benar kalau semua ini ulanmu?"
"Saya kesal, dicuekkan seperti tadi. Kamu sama sekali tidak menghargai keberadaan saya di sini," jawab Anxel jujur.
"Apa kamu gak sadar? Kelakuan yang seperti tadi itu, bisa membahayakan orang lain, Anxel. Kamu saja selalu melakukan itu di depanku, selalu sibuk dengan wanita simpanan mu, berbalas pesan padahal itu di hadapan ku! Apa kamu juga tidak berpikir bagaimana perasaan ku di sana? Aku hanya sekali ini saja membalasmu!" cerca Amira.
Anxel terdiam, tak ada jawaban yang lelaki itu berikan. Beberapa orang yang berada di dalam bioskop itu, juga ikut diam, mendengarkan perdebatan keduanya tanpa berani ambil suara. Mereka juga tahu, sosok yang ada di hadapannya kini, sosok yang cukup tersohor dan dikenal banyak orang. Amira kembali bangkit, kali ini tanpa tertahan oleh Anxel lagi. Gadis itu berniat menyusul Dion, yang sedari tadi belum juga kembali. Amira berjalan menyusuri lorong, berusaha mencari keberadaan kamar mandi, sampai akhirnya dia bertanya kepada seorang penjaga.
"Pak, kamar mandi sebelah mana, ya?"
"Lurus, belok kanan," jawabnya.
"Kalau kamar mandi pria, juga sama?" tanya Amira kembali.
"Kamar mandi pria belok kiri, memangnya cari siapa?"
"Itu, tadi teman saya ada yang sakit perut, udah lama gak balik ke dalam, saya jadi khawatir sama keadaannya," jelas Amira.
"Temannya yang laki-laki pakai baju jaket hitam tadi, ya?" tanya penjaga itu.
"Iya Pak, kok tahu?"
"Dia sudah pulang tadi, perutnya bermasalah kayaknya dia mau ke dokter tadi bilangnya, soalnya waktu saya tanya tadi dia masih kesakitan terus saya sarankan dibawa ke dokter saja," jawab penjaga itu.
"Seriusan, Pak?"
"Mana mungkin saya bohong."
Amira tampak khawatir, gadis itu bergegas mengeluarkan ponsel miliknya untuk menghubungi Dion. Beberapa panggilannya tak dijawab, membuatnya semakin cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Dion di jalan nanti, apalagi lelaki itu mengendarai motor sendiri saat perutnya bermasalah, bagaimana jika hal tidak diinginkan terjadi. Pikiran Amira sudah membayangkan sampai ke mana-mana.
"Ya sudah, makasih infonya Pak," ucapnya bergegas masuk kembali untuk mengajak Anxel pulang dengan segera.
Gadis itu mempercepat langkahnya, dan kebetulan Anxel sudah berjalan berpapasan dengannya. Dengan wajah tampak panik, dia langsung mengajak lelaki itu pulang.
"Ayo pulang sekarang," ajaknya.
"Kenapa? Film di dalam masih belum selesai, Dion mana udah gapapa, 'kan?"
"Itu dia masalahnya, tadi aku tanya sama penjaga sini dia bilang Dion udah pulang, dan dia masih kesakitan mungkin sekarang dia lagi di rumah sakit. Kamu yang buat dia kayak gini, jadi kamu juga harus tanggung jawab Anxel, ayo cari Dion sekarang," ajaknya.
Anxel mengangkat alisnya mendengar hal itu.
Bersambung ....