"Tidak ada penolakan!"
Amira menarik tangan lelaki itu, mengajaknya untuk segera pergi mencari keberadaan Dion. Tujuan awalnya kini rumah sakit yang letaknya lumayan dekat dengan bioskop itu. Amira pikir, Dion akan pergi ke sana untuk memeriksa keadaan perutnya akibat ulah Anxel tadi.
"Kita ke rumah sakit dekat sini," ucapnya dengan raut wajah cemas.
"Gak usah terlalu khawatir gitu, dia baik-baik saja mungkin hanya sakit perut biasa," potong Anxel.
"Kamu yang buat dia begini, kenapa gak ada sedikitpun rasa bersalah dalam dirimu, Tuan Anxel?" Nadanya terdengar ditekankan.
"Dia yang salah, kenapa selalu menganggu saya." Anxel tetap tak mau mengakui kesalahannya.
Amira sudah angkat tangan untuk hal ini, percuma dia menasehati Anxel sampai tenaganya habis sekalipun lelaki itu tidak akan goyah dengan pendiriannya. Mobil Anxel memasuki halaman sebuah rumah sakit yang letaknya cukup dekat dengan tempat mereka semula. Keduanya turun dan masuk ke dalam, bertanya kepada seorang suster mengenai keberadaan pasien bersama Dion. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada seorang pasien pun yang bernama Dion, yang datang sore ini. Hari sudah semakin gelap, sementara lagi malam mungkin akan tiba. Tapi, mereka belum juga mendapatkan keberadaan Dion. Amira sungguh tak tenang, memikirkan sahabatnya, dia takut sesuatu tidak diinginkan terjadi pada sahabatnya, dan jika benar itu terjadi Amira berjanji tidak akan memaafkan Anxel sampai kapan pun.
"Sudah hampir malam, apa tidak sebaiknya kamu pulang? Nanti ibumu khawatir," tutur Anxel.
"Bagaimana aku bisa pulang? Sedangkan sahabatku saja gak tahu ada di mana sekarang," jawabnya ketus.
"Tenang saja, seluruh anak buahku akan ku kerahkan untuk mencari Dion, lebih baik sekarang saya antar kamu pulang," jawab Anxel.
"Tetap saja, aku gabisa tenang kalau Dion belum ketemu!" Matanya kini berkaca-kaca, seolah siap meneteskan air matanya, tapi masih tertahan oleh kelopak mata miliknya.
"Sudah kamu coba hubungi?" Anxel kembali memecahkan suasana dengan pertanyaan itu.
Amira mengangguk, dan kembali berkata, "Berkali-kali malahan tidak ada satu pun panggilan yang dijawab Dion." Gadis itu terdengar sangat frustasi.
"Baiklah, saya janji akan menemukan Dion, ke mana pun itu, yang penting kamu pulang sekarang, aku gak mau dimarai papa hanya karena masalah ini," tutur Anxel.
"Iya Anxel, apa aku coba hubungi sekali lagi untuk memastikan kalau dia benar-benar gak angkat teleponku?"
Amira tak menunggu jawaban dari Anxel, gadis itu langsung menekan nomor telepon milik Dion, dan menghubunginya. Dalam hatinya tak henti-henti berdoa, agar Dion mau mengangkat telepon itu.
"Halo, Dion? Kamu di mana tahu nggak aku khawatir banget sama kamu, sekarang kamu di mana?" Pertanyaan bertubi-tubi yang Amira lontarkan membuat lawan bicaranya merasa sedikit bingung menjawabnya.
"Aku gapapa Amira, gak usah khawatir sama aku, sekarang kamu fokus saja dengan Anxel," jawabnya.
"Gak! Dion sekarang kamu di mana, biar aku yang ke sana. Aku beneran khawatir sama keadaan kamu Dion," ucapnya memelas.
"Aku sudah di rumah, tadi memang dari rumah sakit tapi dokter bilang hanya masalah kecil dan aku boleh istirahat di rumah," jelasnya.
"Hem, syukurlah, aku khawatir sama kamu, kalau gitu kamu tunggu di rumah aku ke sana sekarang."
Dion ingin melarang niat baik Amira, tapi gadis itu sudah memutuskan sambungan telepon keduanya. Kini hanya satu hal lagi yang harus Amira lakukan ... Anxel. Dia harus membuat lelaki itu meminta maaf kepada Dion, agar semua masalah selesai.
"Kita ke rumah Dion sekarang," ajak Amira.
"Mau apa? Bukannya dia sudah baik-baik saja?"
"Anda harus tanggung jawab, minta maaf ke Dion, jika Anda benar-benar lelaki," cetus Amira.
Ck!!
Anxel tak suka dipaksa, apalagi dalam hal ini. Tapi, dirinya juga tak suka direndahkan seperti itu.
"Oke. Tapi, dengan satu syarat," jawabnya.
"Syarat apalagi?"
"Kamu harus mematuhi semua yang saya perintahkan, besok, satu hari full," tegasnya.
"Hah? Anda gila?"
"Tidak juga." Lelaki itu menjawab acuh dan pergi masuk kembali ke dalam mobilnya meninggalkan Amira yang masih ternganga di parkiran rumah sakit menatap kepergiannya.
Tak ada pilihan lain, Amira harus mengalah demi Dion.
***
"Dion, kamu gapapa?"
"Perutku masih sakit, sedikit sih ...."
"Lebay, gitu doang!" cetus Anxel.
"Anxel, jangan gitu minta maaf ke Dion sekarang." Amira melirik ke arahnya sambil menekankan rahang karena kesal dengan ulah lelakinya.
"Maaf." Sesingkat itu.
"Iya."
"Oke, udah, 'kan? Sekarang ayo pulang sudah malam," ajaknya.
"Kamu pulang saja sendiri, aku masih mau di sini lagian rumahku dekat, tinggal jalan kaki saja," tolak Amira.
"Apa kata ibumu nanti? Berangkat sama saya, pulang sendiri? Kamu mau membuat nama baik saya jelek di mata ibumu?"
"Bukan—"
Anxel menarik paksa Amira, tanpa mempedulikan Dion yang tengah memperhatikan perdebatan keduanya. Anxel memang tak suka segala bentuk penolakan, apalagi dengan Amira. Dibawalah Amira, layaknya barang yang dibawa paksa oleh pemiliknya. Tangan Anxel terlalu kuat menggenggamnya, Amira tak bisa melakukan apa-apa.
Di depan rumah Amira.
Gadis itu turun dari mobil Anxel, berniat masuk begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun, tapi pintu mobil rupanya tak dibuka oleh lelaki itu secara sengaja dia melakukannya.
"Saya peringatkan ke kamu, jangan coba-coba balas dendam dengan saya. Apalagi seperti tadi, saya tahu kamu merencanakan ini dengan Dion untuk membalas saya, dan saya tidak mau ini terulang lagi atau kamu akan tahu akibatnya nanti," ancam Anxel.
"Ya."
"Baiklah sekarang kamu masuk, jangan lupa mimpi indah, calon istri ...." Terdengar sangat manis di telinga Amira, tapi lelaki itu kembali berkata, "Paksaan," sambungnya.
Deg!
Setelah dibuat melayang setinggi bintang, kini Amira serasa dijatuhkan sedalam-dalamnya ke dasar laut. Amira harus lebih menguatkan mentalnya menghadapi lelaki macam ini. Meski wajahnya memasang topeng biasa saja, tapi hati wanita mana yang tak sakit mendengar ucapan itu.
"Kenapa? Memang benar pernikahan kita ini karena paksaan, 'kan?"
"Iya, aku juga tidak menyalahkan ucapannya barusan," sambung Amira.
"Baiklah, salam untuk ibumu, aku buru-buru." Anxel memasang kacamata miliknya, fokus menghadap ke depan tanpa melihat Amira yang tengah memperhatikan dirinya.
"Oke."
Amira tak ada selera untuk menanyakan ke mana lelaki itu akan pergi. Sudah bisa dia tebak, pasti Anxel akan menemui wanita-wanita simpanannya di luar sana, bersenang-senang dengan mereka menghabiskan malam yang panjang, Amira sudah tidak mau lagi mengurusi hal itu. Kini dia merubah prinsipnya, selama mereka tidak menyentuh Amira sedikitpun, maka Amira akan tetap bersikap seolah tak peduli. Tapi, sekali mereka berani menyentuhnya, jangan harap bisa lepas begitu saja, Amira bukan orang pendendam, dia hanya tidak suka meninggalkan sesuatu yang belum selesai.
Bersambung ....