"Amira bangun!!!"
Ini masih sangat pagi, bahkan kicauan burung yang biasanya ramai menghiasi pagi, kini hanya terdengar beberapa saja. Kedua mata Amira terbuka perlahan, melirik ke arah jam yang menempel di dinding kamarnya, benar ini masih pukul 05.30 pagi. Harusnya sepagi ini Amira masih tidur nyenyak, layaknya seorang ratu yang tiada beban hidup. Mamanya pun jarang membangunkan dirinya seperti ini.
"Ini masih pagi, Ma!" teriaknya dari dalam kamar.
"Amira ada Tuan Anxel di depan, cepat mandi dan temui dia," pinta sang mama.
"Anxel? Sepagi ini? Untuk apa?" gumamnya heran.
Amira membuka matanya lebar-lebar, menatap dinding kamarnya, dia ingat ucapan Anxel kemaren malam, jika hari ini Amira harus menjadi babu untuknya, menuruti semua permintaannya. Mengingat itu, Amira berdecak kesal.
"Iya, nanti Amira turun," jawabnya.
Amira malas, sungguh malas paginya disambut dengan hal yang tidak menyenangkan hati seperti ini. Sungguh menyebalkan, bukan? Mood baiknya bahkan hancur sepagi ini, bagaimana dia bisa bersemangat menjalani hari? Gadis itu beranjak bangun dari tempat tidurnya, masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan shower dan berendam di bathtub menenangkan dirinya, sambil memejamkan mata di tengah derasnya guyuran air shower. Tapi, wajah Anxel lagi-lagi muncul saat gadis itu memejamkan matanya membuatnya membuka mata dengan cepat.
"Apasih Amira! Kenapa yang muncul wajahnya Anxel! Menyebalkan!" cetusnya memaki diri sendiri.
Hampir 10 menit dia bersiap, barulah gadis itu berani menampakkan wajahnya. Amira membuka pintu kamarnya, mengintip ke arah ruang tamu, dia lihat Anxel masih setia duduk dia sana bersama dengan mamanya yang menemaninya berbicara.
"Itu Amira." Mamanya menunjuk ke arah putrinya yang tengah berjalan menuruni tangga.
"Tante tinggal dulu ya," imbuhnya sembari tersenyum manis kepada Anxel.
Anxel mengangguk, membalas sekilas senyum itu. Wajah masam Amira, seolah tak mengharapkan kehadiran Anxel, kini disadari oleh lelaki itu.
"Biasa aja kali," cetus Anxel.
"Ngapain sih, masih pagi udah datang ke sini?"
"Kamu lupa sama perjanjian kita—"
"Inget," potong Amira.
"Nah, ngapain nanya lagi?"
"Memangnya kita mau ke mana? Ini masih pagi Tuan Anxel, apa Anda tidak pergi ke kantor?" tanya Amira geram.
Bukannya menjawab pertanyaan wanita yang ada di hadapannya, Anxel justru mengeluarkan sesuatu dari dalam jas yang dia kenakan dan meletakkan itu ke atas meja.
"Undangan?" Amira mengangkat alisnya melihat beberapa undangan kini ada di hadapannya.
"Itu hanya beberapa, khusus orang penting dan teman dekat kamu saja, yang lain sudah ada yang mengurus," jawab Anxel.
Amira mengambil satu buah di antaranya, membaca dengan seksama, dia dikejutkan saat melihat tanggal yang tercantum jelas di atas undangan itu.
"Besok? Kita menikah?" tanyanya sangat terkejut.
"Iya. Bukannya mama kamu sudah memberitahu?"
Amira lupa, jika semalam mamanya sudah membahas ini, tapi tak didengarkan olehnya.
"Terus?"
"Apa?" Anxel kembali bertanya.
"Ngapain masih di sini? Udah selesai, 'kan? Nanti aku antar sendiri, beres, sama pulang," suruh Amira.
"Ck!! Kalau bukan karena papa, saya juga malas ada di sini. Papa suruh saya untuk mengantarkan kamu menyebarkan semua undangan ini," jawabnya memberitahu.
"Saya bisa sendiri, Tuan," tolaknya.
"Kamu mau papa marah?"
Amira kesal, kenapa setiap kali dia ingin menolak, Anxel selalu saja membawa papanya, lelaki itu sangat tahu kelemahan Amira. Amira berdecak kesal, dan langsung beranjak mendahului Anxel keluar dari rumahnya, bahkan tanpa pamit dengan ibunya.
Dia hitung hanya ada beberapa undangan saja, ini juga tidak akan memakan waktu yang sangat lama. Amira sudah tahu, siapa saja yang akan mendapatkan undangan itu. Jarak dari rumahnya juga lumayan dekat, terutama Dion, yang hanya berjarak beberapa rumah saja dari rumahnya.
"Mau ke mana dulu?"
"Dion," jawab Amira singkat.
"Dia lagi."
***
Sebuah mobil sport berwarna kuning, masuk ke pekarangan rumah seorang lelaki yang nampak tengah sibuk mencuci kendaraan roda dua miliknya. Kedatangan mobil itu, membuatnya menghentikan aktivitasnya, dan mengalihkan pandangannya.
"Itu bukannya mobil Anxel?" tanya Dion dalam hati.
Seorang gadis yang sangat familiar menurutnya, keluar dari mobil itu dengan tawa ceria sambil berjalan menghampiri dirinya.
"Hai Dion," ucap Amira.
"Mira, kamu ngapain pagi-pagi ke sini?"
"Dion, aku ke sini mau—"
"Mau nganterin undangan pernikahan saya dengan Amira, besok," sambung Anxel yang tiba-tiba berada di belakang Amira.
Dion berlaga seolah tak terkejut, meski sebenarnya dia terkejut dengan kabar itu.
"Baiklah, aku akan datang, selamat ya, semoga kalian menjadi keluarga yang bahagia," ucapnya.
Entah naluri apa yang membuat Amira merasa sakit, mendengarkan ucapan itu keluar dari mulut Dion. Dia bahagia, menadapat doa baik, tapi dia juga sedih, dengan semua ini. Amira menyodorkan sebuah kertas undangan kepadanya, dengan berat hati, tak mampu dia mengucapkan sepatah kata pun selain ucapan terima kasih. Dia takut, setelah sah menjadi istri Anxel, mereka semakin jauh, dan asing. Amira masih sangat membutuhkan Dion, sebagai seorang kakak sekaligus sahabat dalam hidupnya.
"Ya sudah, kalau gitu kami pamit dulu, lanjut saja cuci motornya yang bersih," alibi Anxel.
Lelaki itu berjalan terlebih dulu, meninggalkan Amira yang masih berdiri diam, di hadapan Dion.
"Mir, itu ditunggu Anxel," tegur Dion.
"Dion, setelah aku menikah nanti, apa kamu bakalan tetap jadi sahabatku?" Pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Amira.
"Jelaslah, memangnya kenapa?"
"Janji ya, aku butuh kamu Dion, sebagai kakakku, juga sahabatku," pinta Amira.
"Janji ...."
Tapi, aku membutuhkanmu lebih dari itu. Andai Amira tahu, yang sebenarnya terjadi, andai dia tahu rasa yang selama ini dipendam oleh Dion, di antara persahabatan keduanya. Rasa yang sudah lama dipendam oleh lelaki itu, demi terjaganya persahabatan keduanya dan kini, penyesalan datang di akhir. Amira pergi, menjadi milik orang lain, tugas Dion hanyalah sebagai sahabat yang menjaganya dan selamanya akan tetap seperti itu, tak bisa berganti posisi.
"Makasih Dion, aku merasa menjadi orang paling beruntung seduni, mendapat sahabat sebaik ini," ucap Amira.
"Apaan sih, lebai banget tahu nggak! Sana pulang ditunggu calon suami tuh!" ejek Dion beralibi.
"Hem, ngeselin kalau gitu aku pulang dulu."
"Hati-hati Mir, kalau jalan pakai kaki jangan pakai mata, hahaha ...."
Amira tertawa mendengar candaan receh itu.
"Sakit? Jangan ditanya Mir, tapi kita bukan takdir, hadirku hanya untuk menjagamu, tidak lebih dari itu, langkahku kali ini sudah benar, bersembunyi di balik kata sahabat demi melihatmu bahagia, bukankah mengikhlaskan adalah cara mencintai paling dewasa, Mir? Kamu tidak perlu tahu sampai kapan pun, cukup aku dan pembaca saja yang tahu, kalau aku mencintaimu ...," ucap Dion sambil menatap kepergian Amira.
Cinta tidak selamanya berakhir bahagia, kadang mengikhlaskan adalah cara terbaik untuk mencintai seseorang, dewasa itu bukan hanya perkataan, tapi juga perwujudan dari perkataan itu.
Bersambung ....