"Hey!! Berani kamu menyakiti Amira!" bentak Dion tak terima.
"Terus kamu mau apa?" Bukannya meminta maaf, Anxel malah menantang lelaki itu.
"Dion udah! Tahan emosi aku udah gapapa," tegas Amira.
"Tapi, dia nyakitin kamu, Mir! Aku gak mungkin tinggal diam kamu diginiin," sahut Dion.
"Terserah saya, dia calon istri saya. Kamu hanya temannya," cetus Anxel.
"Cukup Tuan! Kita hanya calon pasangan, belum sepenuhnya jadi pasangan. Jadi, saya minta lepaskan tangan saya sekarang juga!" pintanya.
"Kalau saya tidak mau?"
"Anda tidak berhak melarang saya." Amira sudah tak takut lagi menentang Anxel.
Dia merasa tak adil, jika Anxel bisa berbuat sesukanya bersama wanita lain, bahkan sampai ke club malam, sementara dirinya yang hanya pergi bersama Dion ke supermarket dilarang, ini tidak adil baginya.
"Oh, begitu? Saya akan tunjukkan kelakuan mu ini ke papa, biar dia sadar wanita seperti ini rupanya yang mau dijodohkan kepada putranya!" ancam Anxel.
"Waduh, takut banget lohh, tapi bohong," ejek Amira.
"Tuan mau melaporkan saya? Apakah Tuan juga tidak takut jika kebusukannya terbongkar?"
"Apa maksud kamu?"
Amira merogoh tasnya dengan satu tangan, mengambil ponsel miliknya membuka sebuah foto yang semalam dia dapatkan dari Dion dan menunjukkan itu langsung di depan mata Anxel. Lelaki itu membulatkan kedua bola matanya, tangannya dengan cepat ingin meraih ponsel yang ada di tangan Amira, dan menghapus gambar tidak senonoh itu. Tapi, Amira lebih cepat menyingkirkan ponselnya agar tidak dijangkau oleh Anxel.
"Hapus foto itu sekarang!! Jangan buat papa marah, atau kamu akan menanggung akibatnya," cetus Anxel.
"Maaf Tuan, tapi saya tidak mau menghapusnya. Bagaimana kalau kita buat perjanjian?"
"Anda urungkan niat memfitnah saya di depan Tuan Alex, dan saya akan menutupi aib dan martabat Anda di depan Tuan Alex," imbunya sambil menyodorkan tangan.
Benar-benar sial. Anxel tak mengira gadis yang di hadapannya kini bisa secerdas itu. Dan foto itu, dari mana Amira mendapatkannya. Tak mungkin dia datang ke club untuk memergoki Anxel, mustahil.
"Bagaimana Tuan, Anda tidak punya banyak waktu untuk berpikir lihatlah sekarang sudah siang kita sudah telat untuk foto pre-wedding, dan Tuan Alex pasti akan marah nanti," cetusnya.
Anxel benar-benar kalah kali ini. Lelaki itu hanya bisa menahan amarah, tanpa bisa menolak perjanjian itu. Daripada lebih fatal akibatnya, Anxel tak mau ambil resiko.
"Baiklah," jawabnya dengan berat hati.
"Oke, deal."
"Dion, kamu pulang sendiri gapapa, 'kan? Aku harus pergi dengan Tuan Anxel, nanti sepulang dari sana kita ketemu lagi, ya?"
"Iya, kamu hati-hati kalau ada apa-apa langsung telepon aku. Aku selalu siap 24 jam buat jagain kamu," jawab Dion.
Amira merasa menjadi wanita paling beruntung sedunia memiliki sahabat sebaik Dion. Tampan, pengertian, sabar menghadapi sikapnya yang menyebalkan. Andai karakter Anxel bisa sama persis dengan Dion, mungkin Amira bisa mencintai lelaki itu secepat mungkin.
"Siap, aku pergi dulu," pamitnya.
Amira pergi memasuki mobil Anxel, meninggalkan Dion yang masih sendiri berdiri di depan supermarket itu.
"Aku ada di sini, Mir! Saat kamu sendiri, aku adalah orang pertama yang menemani mu," gumamnya.
***
Keduanya membulatkan kedua bola mata.
"Gaya yang lain saja, tak perlu sampai seperti ini," tolak Anxel.
"Maaf Tuan, ini permintaan Tuan Alex dia bilang hasil foto kalian berdua harus seromantis mungkin," jawab seorang fotografer yang kini tengah berdiri menangani keduanya.
"Tapi kita belum sah, masa pakai acara kecup segala?" tanya Anxel beralibi.
Padahal dia sering melakukan itu secara percuma kepada wanita-wanita simpanannya di luar sana.
"Kenapa Tuan? Apa kamu merasa terlalu menjijikkan untukku yang suci ini?" Suara ejekan itu kembali terdengar hingga membuat telinga Anxel panas.
"Baiklah. Saya setuju." Sampai akhirnya lelaki itu pasrah dan menerima keputusan tersebut.
Dia hanya tak mau diremehkan Amira, apalagi sampai menjatuhkan harga dirinya jika Amira sampai keceplosan tentangnya di depan orang lain. Amira sendiri sebenarnya bergidik ngeri, melihat pose yang harus dia lakukan dengan Anxel di mana keduanya harus saling berhadapan, dengan kedua bibir menyatu. Bukan rekayasa, tapi sungguh menyatu.
Kini, yang ada di benak Amira hanyalah bayangan berapa banyak wanita yang sudah mencicipi hal itu, dan dia menjadi salah satu dari sekian banyaknya. Amira sungguh merasa jijik, membayangkan hal itu. Dirinya hanya mendapat sisa dari para wanita-wanita murahan itu.
"Kenapa?" bisik Anxel melihat gadis itu bergidik ngeri di hadapannya.
"Gapapa," jawabnya singkat.
"Bilang aja nerves sama orang ganteng," ledek Anxel.
"Siapa bilang! Saya hanya bergidik ngeri mengingat berapa banyak wanita yang sudah merasakan hal ini, haha." Gadis itu tak pernah takut untuk membalikkan keadaan.
"Tutup mulutmu! Sebanyak apapun wanita simpanan saya, tidak pernah satu pun merasakan hal ini. Kamu adalah yang pertama!" jelasnya.
"Oh ya? Tapi saya tidak percaya, mustahil jika Anda bisa menahan nafsu apalagi saat saya lihat foto kemaren lelaki mana yang tidak tergoda diperlakukan seperti itu?" Kedua alis Amira tertaut.
Ini mau foto pre-wedding atau mau bertengkar, sih?
"Sudah cukup. Lihat tempat kita di mana sekarang, jangan kayak anak kecil," cetusnya kesal dibalas dengan gerutu dari Amira.
Sampai akhirnya gadis itu dibuat bungkam karena salah satu perlakuan Anxel padanya. Iya, lelaki itu langsung menyatukan bibir keduanya, tak mau menyiapkan kesempatan, fotografer itu mengambil foto dengan cepat. Dan, hasil yang sangat memuaskan.
Foto sudah didapat, tapi kedua manusia itu masih belum puas rupanya menyatukan kedua bibir mereka. Fotografer juga pernah muda, tentu sangat mengerti. Dia lebih memilih diam, tanpa menegur sampai keduanya tersadar dengan sendirinya.
Satu menit kemudian.
DEG!!!
Amira tak sadar terbuai oleh perlakuan Anxel padanya, kini wanita itu melepas paksa tautan bibir keduanya.
"Shit! Menjijikan!" umpatnya.
"Tapi kamu menikmatinya," sambung lelaki itu.
Tak bisa dipungkiri, memang benar gadis itu menikmati setiap detiknya, ini adalah pertama kalinya dia merasakan kenikmatan itu. Tapi, Amira tak mau mengalah begitu saja, dia selalu punya sejuta alasan untuk mengelak.
"Fitnah. Mana ada? Saya terpaksa!" ketusnya.
Lelaki itu tak mau melanjutkan perdebatan keduanya. Melirik ke arah fotografer yang nampak sudah jenuh menghadapi tingkah keduanya.
"Hey! Apa kamu akan terus duduk seperti itu? Cepat selesaikan ini saya masih ada urusan!" tegur Anxel.
Fotografer itu tersentak, dan langsung beranjak bangun sesuai yang Anxel perintahkan padanya. Tanpa mengeluh sedikitpun, karena dia sudah tahu siapa orang yang ada di hadapannya kini. Dia tak mau membuat masalah dengan Anxel, orang yang dianggap berbahaya olehnya.
Anxel juga termasuk orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, karena dia bisa melakukan apa saja yang dia mau, sesuai kekuasaan yang dia punya kini.
Bersambung ....