"Sudah selesai? Kita ke butik sekarang."
Tanpa menunggu jawaban Amira, lelaki itu beranjak bangun membayar semua makanan mereka dan keluar dari restoran itu. Lagi-lagi Amira hanya bisa menghela napas berat. Anxel benar-benar tidak ada rasa peduli padanya, ditinggal begitu saja bahkan Amira saja belum mengabiskan makannya.
"Ujian ini terlalu berat, Tuhan!"
Amira beranjak bangun mengejar Anxel yang sudah pergi keluar dari sana. Keduanya kembali bertemu di dalam satu mobil yang sama. Menuju butik untuk mempersiapkan baju pernikahan keduanya. Ini bukan kali pertama Amira ke butik, dari dulu gadis ini sangat menyukai hal-hal yang berbaur dengan busana. Sebelum ayahnya bangkrut, bahkan dia salah satu pengoleksi batang-batang branded.
Tapi, semua itu habis tak tersisa karena kebangkrutan sang ayah.
***
"Selamat datang Tuan Anxel, kami sudah sediakan beberapa desain pilihan silahkan dipilih."
Seorang wanita yang bisa terbilang cukup muda, wanita itu memberikan beberapa bentuk busana yang dia tawarkan kepada Anxel dan gadis yang duduk di sampingnya, tak lain adalah Amira. Bukannya melihat model-model yang ditawarkan, Anxel justru menyerahkan semuanya kepada Amira. Lelaki itu benar-benar terlihat terpaksa datang ke sana, bisa Amira lihat mungkin ini karena paksaan dari Tuan Alex—papa Anxel. Amira tak bisa menolak, ada pelayan di hadapannya dia tak mau, mereka mengira hubungan keduanya tak harmonis, meski aslinya memang begitu. Setidaknya di depan orang lain, Amira bisa berusaha menutupinya berpura-pura bahagia.
Wanita itu melihat-lihat beberapa model, sampai tertarik dengan salah satu di antaranya. Namun, menurutnya masih ada beberapa yang ingin dia tambahkan dan langsung dia bicarakan kepada pelayan yang masih menunggu di hadapannya.
Tak heran, masukan yang Amira berikan begitu bagus, wanita ini selain menyukai busana juga mengerti tentang busana.
"Tolong yang saya minta tadi ditambahkan ya," pintanya.
"Baik, tunggu sebentar kami siapkan."
Anxel mungkin sedikit terkejut, melihat kemampuan yang Amira miliki. Tapi, rasa cueknya begitu besar lelaki itu justru sibuk memainkan ponsel miliknya. Membalas pesan dari beberapa wanita simpanannya, jangan salah! Anxel ini hobi mengoleksi wanita, hanya mengoleksi untuk dijadikan hiburan saja tidak lebih.
Terdengar suara panggilan masuk ke dalam ponsel Anxel, membuat Amira bertanya-tanya. Ingin sekali dia tahu, tapi dia sadar siapa dirinya kini, tak ada hak sebelum keduanya sah menjadi pasangan suami istri.
"Iya, nanti malam kita ketemu," jawab Anxel pada orang dari balik telepon itu.
Tak bisa dibohongi hati wanita mana yang tidak sakit melihat calon suaminya bersama wanita lain, meski Amira sendiri belum ada rasa dengannya, tetap saja rasa cemburu pasti ada karena Anxel adalah lelaki yang akan mengukir kisah hidup bersamanya. Melihat raut wajah Amira berubah, terukir senyum kecil di bibir Anxel.
'Pasti dia cemburu, lihat saja akan ku buat kamu merasakan lebih dari ini setelah kita menikah nanti. Siapa suruh mau dijodohkan denganku' batinnya.
"Iya sayang, nanti kita ketemu pasti kamu kangen sama aku," ucap Anxel kembali membalas ucapan seorang di balik telepon.
Amira bergidik ngeri mendengarnya. Entah berapa wanita yang sudah Anxel permainkan, hatinya harus benar-benar dia siapkan kali ini, karena tidak ada kamera yang merekamnya sehingga dia tidak bisa meminta tolong ke kamera dengan angkat tangan.
Tak lama mereka berada di butik itu, seorang pelayan kembali menghampiri keduanya dengan sebuah tas berisi baju pengantin yang Amira pesan. Anxel merogoh sakunya, mengambil dompet mengeluarkan sebuah kartu untuk pembayaran.
***
"Saya langsung pulang." Keduanya sampai di depan rumah Amira, dan kata-kata itu yang pertama Anxel ucapkan padanya.
"Mau ketemu sama wanita itu?"
Menyesal. Amira sungguh keceplosan, mengatakan hal itu kepada Anxel.
"Bukan urusanmu." Anxel berlalu pergi meninggalkannya.
"Malu-maluin gila! Amira kamu kenapa sih, lagian bukan urusan kamu kenapa nanya segala lihat sekarang dicuekin juga, 'kan?" omelnya pada diri sendiri.
Anxel tersenyum puas penuh kemenangan melihat reaksi Amira yang panas akan tingkahnya. Itu artinya, satu rencananya untuk menyakiti Amira sudah berhasil dia lakukan. Hanya tinggal melakukan itu terus-menerus sampai Amira menyerah dan memilih untuk bercerai dengannya nanti. Dengan begitu, dia akan tetap mendapat warisan karena yang menggugat cerai bukanlah dia, melainkan Amira!
Brakk!!
Amira menutup pintu dengan kasar, sampai sang mama yang tengah berada di dapur terkejut mendengarnya.
"Kenapa sih? Anxel lagi?" tanya sang mama melihat wajah Amira ditekuk sedari tadi.
Gadis itu membuka kulkas untuk mengambil air minum dan kembali duduk di kursi dekat mamanya.
"Mama tahu, wanita simpanan Tuan Anxel itu banyak," jawab Amira.
"Iya tahu, kamu bukannya juga sudah tahu?"
"Iya, Amira tahu tapi tetap saja ini berat. Dia mengangkat telepon dari wanitanya di depan aku Amira, calon istrinya, Ma!" jawabnya.
"Tahan sayang, cinta tumbuh karena terbiasa. Sayangi Anxel sepenuh hati, Mama yakin hatinya akan luluh kamu yang bisa merubahnya, jangan mau kalah sama wanita simpanannya, kamu itu calon istrinya," jelas sang mama.
"Tapi berat, Ma! Nahan cemburu seperti ini. Ini belum seberapa, mungkin setelah menikah nanti bisa lebih menyakitkan lagi," sahutnya.
"Apa pun yang terjadi, jangan sampai kamu menggugat cerai Anxel, dengar itu. Jangan sampai itu terjadi, jika kamu tak mau menambah masalah lagi," tutur mamanya.
Lagi-lagi Amira dipaksa kuat oleh keadaan, dia hanya bisa pasrah menjalani takdir ini. Amira sendiri tak tahu, bagaimana akhir ceritanya, bahagia bersama dengan Anxel, atau menahan sakit hati sampai dirinya benar-benar tak kuat lagi.
"Tenang Amira, cerita ini baru mulai jangan menyerah dulu masih banyak rasa sakit yang belum kamu rasakan," ucapnya menyemangati diri sendiri.
"Sudah, Mama tahu kamu kuat ada Mama di sini. Sekarang kamu istirahat, besok jadwal kamu dan Anxel foto pre-wedding tadi Tuan Alex sudah bicara dengan Mama," jelas sang mama.
"Ma, sebenarnya pernikahan Amira jadi lusa? Apa gak terlalu cepat?"
"Ini sudah keputusan Tuan Alex, Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Ikuti saja ya Nak, demi Mama," pintanya.
Gadis ini tak mungkin menolaknya, mamanya sendiri sampai memohon padanya. Amira mengangguk pelan, meski sedikit terpaksa. Demi mamanya, apa saja pasti dia lakukan hanya tinggal mamanya saja, harta berharga yang dia miliki kini. Amira bahkan tak memikirkan papanya lagi untuk saat ini, karena dia sadar tidak semua bisa dia pertahankan, kadang memang harus dia ikhlaskan untuk pergi. Seperti papanya ini, sekuat apa pun dia menahan tetap mustahil membuat papanya kembali bersamanya dan ibunya.
***
"Asal papa tahu, Amira tersiksa seperti ini. Amira tidak benci papa, Amira hanya ingin menanyakan satu hal. Papa pernah bilang sayang kepada Amira, ini yang papa namakan sayang?" Gadis itu menghapus air matanya, mengamati foto keluarganya yang terpasang di dinding kamarnya kini.
Bersambung ....