Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal memcahkan lamunan Amira. Gadis ini melihat sebuah foto begitu menjijikkan masuk ke dalam galeri miliknya. Itu, foto Anxel dengan seorang wanita di club malam. Dan, yang mengirimkan foto itu adalah Dion, sahabat Amira.
Selang beberapa waktu, sebuah panggilan masuk.
"Iya Dion?"
"Kamu sudah lihat kelakuan calon suamimu itu, Mir?"
"Biarlah, aku tak cukup kuasa untuk marah. Aku belum ada hak," jawabnya.
"Tapi ini gak bisa dibiarkan, Mira!" Dion memang sudah geram sejak Amira menceritakan semua ini kepadanya.
Setiap melihat wajah Anxel, bawaanya ingin sekali dia hajar. Kalau saja Amira mengijinkannya.
"Dion, cukup! Lebih baik sekarang kamu pulang ini sudah malam, besok temani aku ke supermarket, aku butuh teman," pinta Amira.
"Siap! Kamu tidur ini sudah malam."
Tut—
Meski terlihat tegar, hati Amira benar-benar hancur. Lebih baik dia tidak tahu, daripada tahu tapi harus berpura-pura untuk menjaga keadaan tetap baik-baik saja.
***
Cahaya matahari mulai masuk ke dalam sela-sela kamar Amira, dan berhasil menyakiti kulit mulus miliknya sampai membuatnya terbangun. Matanya langsung tertuju ke arah jam dinding, pukul 06.00 pagi. Semalam dia tidur terlalu malam, untung saja tidak kesiangan pagi ini. Gadis itu langsung melompat dari ranjangnya, keluar dari kamar untuk menemui mamanya yang mungkin kini berada di dapur memasakkan makanan untuknya.
Aneh, aroma masakan yang biasanya bisa dia rasakan sejak keluar kamar, kini tidak lagi bisa dia rasakan. Gadis itu mempercepat langkahnya, menuju ke meja makan. Tidak ada apa pun, di mana mamanya dan semua masakan yang seharusnya terhidang di hadapannya?
"Ma! Mama! Mama!"
Panggilannya tak mendapat sahutan sama sekali. Ke mana mamanya sepagi ini, bahkan tanpa meninggalkan makanan untuknya.
"Mama mau anaknya kelaparan apa gimana sih!" cetus Amira kesal.
Gadis itu memegangi perutnya, sambil mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dia makan. Hanya ada satu mie instan di dalam almari dapur.
"Daripada kelaparan, gapapa deh," gumamnya.
Dirinya sibuk membuat mie itu, tak lama mendengar suara mamanya memanggil-manggil dirinya dari luar rumah. Amira tampak malas, masih kesal karena mamanya pergi tanpa pamit dan membiarkan dirinya kelaparan.
"Amira!! Lihat apa yang Mama bawa." Sang mama menunjukkan satu kantong plastik penuh entah apa yang ada di dalamnya, Amira tak tahu.
"Ini, kamu tahu ini apa?"
Amira menggeleng cepat.
"Ini itu minyak goreng! Lagi ada promo, banyak banget orangnya yang antri, untung Mama kebagian tadi. Kamu harus bersyukur, Mama dapat banyak ini bisa buat beberapa minggu ke depan nanti," ucapnya.
"Loh, kamu kenapa makan mie? Amira pagi-pagi gak sehat!"
"Lah emang Mama masak? Amira kelaparan tahu!" cetusnya kesal.
Mamanya baru sadar, karena panik takut kehabisan promo dia sampai lupa tidak membuatkan sarapan untuk anaknya.
"Aduh, maafin Mama ya, lupa, saking paniknya tadi soalnya kata temen Mama promonya terbatas," jawab sang mama.
Amira memutar bola mata malas. Kesal, tapi tidak bisa jika dengan mamanya sendiri.
"Ma, hari ini Amira mau belanja ke supermarket," ucapnya kemudian.
"Mama sudah belanja, sayang," potong sang mama.
"Ya udah, Amira yang belanja buat kebutuhan Amira sendiri," sahutnya tak mau kalah.
Sebenarnya ini hanya alasannya saja, agar nanti saat Anxel datang untuk menjemputnya foto pre-wedding dia tidak ada di rumah. Entah mengapa, Amira rasa masih belum siap bertemu dengan lelaki itu, apalagi setelah melihat foto yang Dion kirimkan semalam. Jijik, juga kesal semuanya bercampur aduk menjadi satu.
"Besok-besok saja, apa kamu lupa hari ini ada jadwal pre-wedding dengan Anxel?" tanya mamanya mengingatkan.
"Tidak. Hanya sebentar saja, Anxel juga gak akan datang sepagi ini," jawabnya.
"Ya sudah, kalau dia marah Mama gak mau tanggung jawab. Sama siapa kamu pergi? Dion?"
Amira mengangguk. Mamanya tentu sudah tak asing lagi dengan Dion. Lelaki itu adalah tetangga sekaligus teman Amira sejak dulu. Mereka sudah seperti kakak adik. Hanya Dion satu-satunya orang yang dekat dengan Amira di komplek itu. Hanya Dion satu-satunya teman Amira di sana.
"Cepat bersiap kalau begitu, nanti Mama telepon angkat jangan pura-pura gak tahu," suruh mamanya.
Amira memang sering melakukan itu, mengabaikan telepon dari mamanya ketika dia mencoba menghindar sesuatu. Mamanya sudah hafal betul kelakuan sang anak.
"Iya."
***
"Kenapa wajahnya ditekuk?" Dion yang sudah berada di depan rumahnya dengan motor ninja miliknya kini bertanya kepada Amira yang memasang wajah lesu di hadapannya.
"Lagi gak mood aja," jawabnya alasan.
"Pasti karena foto semalam?" Dion mencoba memastikannya lagi.
"Gak usah dibahas bikin mood hancur aja, ini masih pagi. Ayo berangkat," ajaknya.
Amira memegang pundak Dion, naik ke atas motor itu. Keduanya berlalu meninggalkan rumah Amira. Anxel yang baru saja memasuki komplek perumahan milik Amira, langsung menghentikan mobil melihat gadis yang hendak dia jemput rupanya pergi keluar komplek bersama dengan pria lain.
"Siapa pria itu! Berani sekali dia pergi dengan Amira. Kalau saja bukan papa yang nyuruh malas sekali aku mengurusi hal seperti ini," geram Anxel.
Anxel memutarbalikkan mobilnya, mengejar motor yang dinaiki Amira dan Dion. Dia sengaja memperlambat jalannya, karena tak mau Amira mengetahui bahwa dirinya mengikuti gadis itu. Anxel ingin melihat ke mana mereka akan pergi sampai Amira melupakan foto pre-wedding dengannya.
Motor itu, berhenti di depan sebuah supermarket. Gadis itu turun bersama seorang pria yang kini membukakan helm untuknya. Keduanya benar-benar terlihat dekat. Anxel memanfaatkan momen ini, untuk mengambil gambar agar dirinya bisa memperalat Amira untuk menolak perjodohan ini sebelum semua terlambat.
"Dapat! Jangan berani-berani mencari masalah dengan seorang Anxel jika kamu mau hidup tenang!" ucap lelaki itu sangat puas.
Anxel berjalan menuruni mobil, menghampiri Amira dan Dion yang hendak masuk ke dalam supermarket itu. Dengan cepat tanpa aba-aba sekalipun, dia menarik tangan Amira membuat gadis itu menoleh karena terkejut.
"Tuan Anxel!!!"
"Ngapain kamu di sini? Bukannya hari ini jadwal kita pre-wedding?" tanyanya dengan satu alis terangkat.
"Saya kemari untuk belanja," jawabnya lantang.
"Siapa dia?" Anxel melirik ke arah lelaki yang terdiam berdiri di samping Amira.
"Dion."
"Saya tidak tanya namanya, kalian ada hubungan apa?"
"Teman," jawab Amira cuek.
"Amiraa!!!" geram Anxel memperkuat genggamannya membuat gadis itu merintih kesakitan.
Tentu saja, Dion tak bisa tinggal diam melihat sahabatnya diperlakukan kasar tepat di depan matanya. Tangannya mengepal kuat, seolah siap mendaratkan pukulan bertubi-tubi yang mematikan kepada Anxel, lelaki yang ada di hadapannya kini.
Sudah lama dia ingin menghajar lelaki itu, karena Dion sangat tahu bagaimana caranya menyakiti Amira sejak dia tahu akan dijodohkan dengan Amira.
Bersambung ....