Mobil mewah yang dikendarai oleh Bima dan ditumpangi Amira bersama Alisha—mamanya berhenti di depan rumah yang belum 24 jam disita oleh bank. Rumah itu juga belum 24 jam ditinggalkan oleh kedua wanita malang itu setelah drama pengusiran yang dilakukan oleh dua preman—suruhan pihak bank.
"Kita sudah sampai," ucap Bima memecahkan lamunan Amira dan Alisha yang masih menatap bingung pada bangunan yang saat ini sudah tidak menjadi milik mereka lagi.
Tatapan Amira tertuju pada rumah yang menyimpan banyak kenangan bersama keluarganya, lalu beralih menatap Bima. "Kenapa kami dibawa ke sini? Bagaimana kalau para preman itu kembali menyeret kami keluar?" cecar Amira saat Bima membawa dirinya dan sang mama kembali ke rumah
"Mereka tidak akan berani mengusir pemilik rumah itu," sahut Bima datar. Lelaki itu keluar dari mobil, memebukakan pintu mobil untuk Amira yang duduk di belakangnya sebagai pengemudi.
"Pemilik," gumam Amira dengan raut bingungnya, keluar dari mobil dan langsung menodong Bima dengan banyak pertanyaan. "Rumah ini sudah ada pemiliknya? Lalu kenapa kami di bawa ke sini? Bagaimana kalau pemilik barunya lebih galak dan jahat daripada para preman tadi?"
Bima menghela nafas mendapati rentetan pertanyaan dari wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri dari tuan mudanya. Itu berarti, Amira akan menjadi nona mudanya. Bima berharap, Anxel—tuan mudanya mampu menghadapi kecerewetan Amira.
Tanpa mengatakan apa pun, Bima kembali membuka mobil bagian kemudia mobil dan meraih sebuah amplop berwarana coklat yang terletak di dashbord mobil. Kemudian, memberikan amplop itu pada Amira. Malas menjelaskan apa pun, membiarkan calon nona mudanya itu membaca sendiriapa yang tertulis di sana.
"Apa ini?" tanya Amira tidak langsung mengambil amplop tersebut dari tangan bima, hanya melihatnya sekilas sebelum menatap lekat pada lelaki itu, menuntut jawaban.
"Hah." Bima lagi-lagi menghela nafas, tetapi lebih keras hingga bisa didengar oleh Amira dan mamanya. "Baca saja dulu, Nona. Kalau ada yang tidak mengerti baru bisa tanyakan ke saya," ujar Bima menahan kekesalannya.
Amira pun membuka amplop itu, sedangkan Alisha yang baru keluar segera mendekati putrinya dan ikut membaca isi kertas putih yang ada di dalam amplop. Di sana tertera jelas, 'SURAT KETERANGAN TANAH DAN BANGUNAN'.
"I—ni." Amira tercekat, tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Iya, Tuan Alex memberikan rumah ini untuk Nona Amira sebagai hadiah pernikahan," ujar Bima. "Mari, Nona. Saya antarkan ke dalam," imbuhnya membawa koper milik kedua wanita malang yang menjadi korban utang Andrew.
Amira dan Aliha tidak langsung mengikuti langkah kaki Bima, mereka sejenak berpandangan dengan haru hampir mengeluarkan air mata penuh kebahagiaan. Kemudian, keduanya saling berpelukan.
"Rumah ini jadi milik kita lagi, Ma," ucap Amira.
"Iya, Sayang. Kita gak jadi hidup gembel," sahut Alisha dengan air mata yang menetes di ekor matanya.
Amira terkekeh mendenga ucapan sang mama, bisa-bisanya di saat haru begitu malah melucu. Merusak suasana. Amira melerai pelukannya dari sang mama dan membawanya memasuki rumah yang kini sudah menjadi miliknya.
Bima berpas-pasan dengan Amira dan Alisha di tangga, lelaki itu langsung turun setelah meletakkan koper di depan pintu kamar."Saya permisi pulang, Nona," ucap Bima sopan.
"Gak minum dulu?" tanya Alisha ramah.
"Gak perlu, Nyonya. Terima kasih," tolaknya secara halus.
"Baiklah, hati-hati dan sampaikan rasa terima kasih kami pada Tuan Alex," sahut Alisha.
Bima hanya mengangguk sebelum benar-benar keluar dari rumah calon nona mudanya.
"Ma, Rara ke kamar dulu, ya. Mau istirahat bentar, capek," ujarnya meminta izin pda sang mama.
Seharian mengalami berbagai hal ringan sampai hal berat, tentu saja menguras banyak tenaga juga emosi Amira. Begitupun dengan Alisha, wanita itu juga merasakan kelelhan yang dirasakan poutrinya.
"Iya, Sayang," sahut Alisha. "Mama juga mau istirahat." Alisha langsung masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Berbeda dengan mamanya, Amira tidak langsung beristirahat setelah memasuki kamarnya. Wanita itu malah tiba-tiba menangis setelah terduduk di lantai, menumpu kepalanya pada pinggiran ranjang. Mengeluarkan emosi yang sejak tadi ia tahan karena tak ingin menunjukkannya di depan siapa pun terutama sang mama.
Sejak ia menerima tawaran Alex, Amira sudah tidak lagi merasa hidupnya miliknya. Ia harus menjalani kehidupan untuk orang lain, untuk kebahagiaan mamanya. Bahkan mungkin, hidupnya sudah tidak menjadi miliknya sejak sang papa dengan tega menggadaikan dirinya pada Alex.
"Kenapa papa tega menukar kebahagiaanku dengan uang?" lirih Amira dengan air mata yang sudah membanjiri pipi dan membasahi ranjangnya. "Apa hanya segitu harga diriku di matamu?"
Tak pernah Amira bayangkan dirinya akan mengalami nasib buruk seperti saat ini karena ulah papanya sendiri. Papa yang selama ini ia bangga-banggkan di depan semua orang, tega menghancurkan hidupnya.
Pernikahan impian, lelaki impian, rumah tangga impian … semua impiannya sudah dihancurkan oleh sang papa. Tidak lagi tersisa impian untuknya. Bahkan, Amira sudah tidak berani memimpikan apa pun untuk kehidupannya di masa mendatang mengingat hidupnya sudah tidak menjadi miliknya lagi.
Entah sudah berapa lama dan berapa banyak air yang tumpah dari pelupuk mata indah milik Amira, wanita itu pun tak tau. Bahkan, ia tak sadar tertidur dalam posisi duduk.
Alisha yang berada di kamarnya tiba-tiba teringat putrrinya, ia yakin kalau sang putri saat ini tidak baik-baik saja setelah apa yang mereka alami seharian ini. Wanita itu pun memutuskan menemui sang putri dan mencoba menghiburnya.
Alisha membuka pintu kamar Amira yang tidak terkunci, ia masuk perlahan saat melihat Amira terduduk dengan posisi membelakanginya. Ia kira, Amira hanya duduk, ternyata sang putri sudah tertidur.
Pelan-pelan Alisha duduk di pinggir ranjang, mengelus pipi Amira yang masih basah bekas air mata. "Ini pasti berat buatmu, Sayang," lirih Alisha hampir berbisik. "Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucapnya tulus. Benar-benar berharap kebahagiaan untuk putri yang berbesar hati mengorbankan hidup demi dirinya.
Alisha mengambil selimut dan menyelimuti Amira, khawatir sang putri kedinginan karena tertidur di lantai. Kemudian, ia keluar dari kamar sang putri setelah meninggalkan kecupan hangat di puncak kepala sang putri.
Alisha kembali ke kamarnya dan membereskan barang-barang yang ada di kopernya. Saat sedang berkemas, Alisha mendapati album poto keluarga yang memang sempat dibawanya untuk kenangan. Alisha membuka labum poto itu dan mengelus sebuahpoto yang menampakkan senyum penuh kebahagiaan di wajahnya, wajah sang putri juga suaminya.
"Ke mana kamu, Andrew?" tanya Alishamenatap lekat wajah sang suami yang terlkihat tampan di dalam poto itu. "Kenapa tega sekali membiarkan aku dan Amira menanggung semua beban ini? Dibandingkan aku atau pun kau, Amira-lah yang paling tersiksa."
Alisha mulai terisak, "Kau menghancurkan hidup putri kita!" lirihnya sarat emosi.