"Minggu depan kamu harus menikah!" Ucapan Alex yang terdengar tegas meski diucapkan dengan pelan, mampu membuat Anxel tersentak kaget. Lelaki itu menatap papanya dengan mengerjapkan mata berkali-kali, tiba-tiba otaknya nge-bug dengan ucapan yang lebih terdengar seperti sebuah perintah.
"Papa sehat?" tanya Anxel.
"Wal afiat," jawab Alex tanpa beban.
"Kalau sehat, kenapa tiba-tiba nyuruh aku nikah?" tanya Anxel tak senang.
"Karena jodohmu sudah sampai." Lagi-lagi Alex menjawab ringan, seringan kapas.
"Jodoh?" Anxel benar-benar tidak mengerti maksud ucapan papanya. Entah memang otaknya hari ini sedang tidak berfungsi dengan baik.
"Iya, dia jodohmu." Alex menunjuk ke arah Amira dengan manganggukkan kepalanya. "Pilihan Papa," lanjutnya.
"Wanita ini?" Tatapan Anxel terkesan meremehkan Amira.
"Iya, kenapa?" Alex balik bertanya.
"Apa gak ada wanita lain selain dia? Dan kenapa harus dia, sementara ada pacarku yang bisa menjadi pilihan terbaik?"
"Kamu tidak akan restui menikah dengan siapa pun selain dengan Amira!" tegas Alex tanpa ingin menjelaskan kenapa dirinya memilih Amira, sementara ada Arabella—kekasih putranya.
"Papa tau, kan aku udah punya pacar?" tanya Anxel ingin memastikan pengetahuan papanya.
Anxel yakin, tidak ada yang tidak diketahui Alex tentang dirinya. Papanya itu seperti mbah google yang tahu segalanya. Tanyakan apa pun pada Alex, maka ia bisa menjawabnya dengan benar. Bahkan, lelaki itu bisa memberikan opsi lain sebagai jawaban.
"Tau, Arabella Gresea—seorang model papan atas yang terkenal karena kucuran dana darimu," jawab Alex dengan senyum miring menyebutkan profesi Arabella dan kesuksesan wanita itu karena bantuan dana dari putranya yang bodoh.
Alex memang tahu tentang Anxel dan jalangnya dan berapa banyak uang yang dihabiskan oleh putranya untuk menghidupi sang jalang. Kenapa Alex menyebut Arabella dengan sebutan jalang? Hanya Alex yang tahu dan ia tidak berniat memberitahukan apa pun pada putranya, selain membatalkan pernikahan yang Anxel rencanakan bersama wanita itu.
Ya, Anxel memang berniat menikahi Aarabella—wanita yang terus mendesaknya untuk menikah mengingat usia mereka yang sudah sangat matang.
See! Javier Alex Sanjaya tahu segalanya. Jadi, dia bisa mengantisipasi hal-hal yang tidak dinginkannya. Dan Amira-lah yang akan menjadi tamengnya kali ini untuk melindungi sang putra dari wanita ular seperti Arabella.
"Lalu, kenapa Papa meminta aku menikahinya, kalau tau aku bersama Ara?!" geram Anxel menatap tajam papanya, tetapi jari telunjuknya tertuju pada Amira yang sejak tadi bersama sang mama hanya diam menjadi penonton drama keluarga Sanjaya.
Meski diam, Amira menggerutu kesal di dalam hatinya karena Alex dan Anxel menggibahi dirinya. Bayangkan saja, Amira menjadi topik pembicaraan antara papa dan anak itu. Dan mereka berbicara semaunya, sementara orang yang dibicarakan ada di sana—di dekat mereka. Tidak bisakah kedua lelaki berbeda generasi itu berdebat di tempat lain? Setidaknya, untuk menjaga hati Amira agar tidak tersinggung.
"Karena dia yang terbaik untukmu!"
"Arabella jauh lebih baik dari dia, Papa!"
"Papa tidak mau tau, kau harus menikah dengannya!" tegas Alex penuh tekanan dan paksaan. "Jika tidak—"
"Jika tidak, harta Papa akan Papa berikn semuanya ke panti sosial!" todong Anxel memotong ucapan papanya.
Kata-kata yang sama Alex gunakan setiap kali mencoba membuat Anxel patuh dengan semua perintah yang bertentangan dengan kemauan sang putra.
"Nah, itu kamu tau," sahut Alex tanpa beban dan senyuman tanpa dosa. "Tenang aja, semuanya sudah Papa atur. Kamu dan Amira hanya perlu menghadiri akad dan pesta pernikahan aja," ucap Alex.
"Cih," anxel berdecih sinis. "Siapa juga yang mau menyibukkan diri mempersiapkan pernikahan dengannya. Ini bukan pernikahan yang aku inginkan. Ngapain aku sibuk-sibuk?" gerutu Anxel berjalan menaiki tangga meninggalkan sang papa dan kedua wanita yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarganya.
Anxel masih menggerutu hingga masuk ke dalam kamarnya. Alex selalu membuatnya dalam kesulitan. Memaksakan kehendaknya pada Anxel, meski tahu itu bertentangan dengan kemauan sang putra.
"Adakah papa lain yang sama atau lebih menyebalkan dari dia?" Anxel menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang besar yang terletak di dalam kamar yang di donimasi oleh warna abu-abu, memberikan kesan klasik.
"Belum lama ini Ara mengajakku menikah, sekarang malah Papa yang memaksaku menikah," gerutu Anxel lagi. "Akhhh!" Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi.
Pernikahan tidak pernah masuk dalam kamus kehidupannya. Ia hanya ingin menikmati bebasnya hidup tanpa harus dikekang oleh sebuah status, apalagi makhluk bernama wanita.
"Terserahlah, jangan harap aku akan menjauhi semua wanita-wanitaku setelah menikah nanti!" gumam Anxel dengan rahang yang mengeras. "Wanita yang tidak ada menarriknya sama sekali itu tidak akan bisa menghalangi kesenanganku."
Anxel masih belum puas berkelana mencari dan menjamah setiap wanita yang ditemuinya. Rasa penasarannya tentang wanita belum benar-benar terjawab, meskipun sudah tak terhitung dengan jemari wanita bayarannya, belum lagi wanita yang dengan suka rela ditiduri tanpa bayaran
Padahal, papa dan mamanya yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah hampir setengah abad, berulang kali melarang Anxel bermain wanita. Kalau bisa diibaratkan, mungkin mulut kedua orang tuanya sudah berbusa memberikan nasihat kepada Anxel agar tidak lagi mempermainkan wanita.
Namun, Anxel sama sekali tak mempedulikan larangan dari kedua orang tuanya. Lelaki itu masih saja bermain perempuan, gonta-ganti sana-sini. Wanita mana yang tidak mau serbuk berlian seperti Anxel. Terlebih lagi ia kaya-raya.
Pernikhan paksa ini juga tersirat harapan yang besar dari Alex dan istrinya. Mereka berharap, Amira akan menjadi wanita yang membuat Anxel berhenti dari pencariannya.
"Lihat aja, apa yang akan aku lakukan padamu. Kau tidak akan meraih kebahagiaan, selain kesengsaraan setelah menikah denganku!" ucap Anxel dengan senyum jahatnya. "Anggap aja sebagai balasan karrena kau menerima perjodohan konyol ini!" imbuhnya.
Sementara itu, Amira dan Alisha masih berada di ruang tengah bersama dengan Alex.
"Maaf, Tuan. Apa kami sudah boleh pergi?" tanya Alisha sopan.
"Mau ke mana kalian?" selidik Alex memicingkan matanya.
"Kami hanya ingin mencari kontrakan untuk tempat bertduh, Tuan," jawab Alisha.
"Kenapa mencari kontrakan?" tanya Alex tak senang , membuat kedua wanita yang ada di depannya kebingungan.
'Apa-apaan pertanyaannya itu? Apa kami tidak boleh mencari kontrakan? Apa kami harus tidur di jalanan atau di kolong jembatan?' gerutu Amira dalam hati.
"Kalau kalian ngontrak, bisa jatuh harga diri saya. Mau di letakkan di mana muka saya ini?" ujar Alex.
"Rumah kami sudah disita bank . Kami juga tidak punya uang untuk menyewa tempat elit, hanya mampu menyewa sebuah kontrakan kecil, Tuan," lirih Alisha menunduk dalam. Sangat malu mengatakan itu, mengingat dulu dirinya termasuk orang berada.
"Bima!" panggil Alex.
Beberapa saat kemudian, datanglah lelaki yang tadi membawa Alisha dan Amira ke kediaman Sanjaya. Ternyata, lelaki itu bernama Bima.
"Antarkan mereka!" perintah Alex, membuat kedua wanita itu kembali mengkerutkan alis mereka. Bingung.
Mau diantar ke mana lagi? Pikir keduanya.
Hari yang melelahkan, di-over ke sana-sini seperti bola.