"Sayang, bagaimana keadaan cucu papa? Apa baik-baik saja?" tanya Tara saat laki-laki itu sampai di rumah. Tara mendapati pesan dari Kania dengan puluhan panggilan tidak terjawab dari puterinya itu. wajar Genta panik.
Kania menganggukkan kepalanya. "Sudah. Ternyata efek imunisasi. Aku terlalu panik ketika dia menolak untuk meminum Asiku."
"Papa minta maaf tadi papa ke pabrik. Ponsel memang papa nonaktifkan."
Kania menganggukkan kepalanya. "Ada Abi tadi yang ngantar aku untungnya."
Tara menghembuskan nafasnya. Ia melirik pada cucunya yang berada dalam gendongan Kania. Memeriksa kening puteri kecil itu yang memang panas. "Kalau butuh apa-apa panggil papa oke?!"
Kania menganggukkan kepalanya. "Papa kalau mau makan aja. aku udah tadi."
"Papa juga udah. Genta masih belum pulang?" tanya Tara.
"Dia di kamarnya," bisik Kania masih kecewa pada Genta. Tapi Tara yang tidak tahu apa-apa hanya menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, papa mau mandi dulu. Takutnya panas di luar nempel pada Mikaela makin membuat dia panas."
Kania menganggukkan kepalanya. Membiarkan ayahnya itu pergi. Tapi Kania mendengar langkah lagi. "Enggak apa-apa, Pa. Kania bisa kok. Mandi aja," ujar perempuan itu yang menduga Tara kembali.
Ternyata saat perempuan itu menoleh wajah Genta yang ada disana. Kania mengalihkan pandangannya. Dia tidak ingin menangis kali ini untuk Genta. "Biar saya saja. Gantian. Kamu pasti lelah menggendong Mikaela dari tadi." Anak mereka itu tidak mau diletakkan dalam box bayinya. Pasti langsung menangis. Maunya ditimang saja dalam dekapan ibunya. Mungkin karena kondisi badannya yang panas. Ditimang membuatnya lebih nyaman.
"Enggak perlu. Mungkin anaknya tante Mila enggak ada yang jaga. Om kesana saja. dia butuh Om pasti." Kania mengeluarkan kata sakartis yang menancapkan ribuan jarum pada dada Genta.
"Ka'. Saya minta maaf." Genta menggigit bibirnya. dia tahu, kesalahannya tidak bisa diampuni dengan kata maaf saja.
"Kali ini Om benar-benar harus minta maaf sama Abi. Tanpa dia aku tidak tahu gimana jadinya Mikaela."
Genta menganggukkan kepalanya. "Ya, lain kali kalau bertemu saya sampaikan ucapan maaf dan terima kasih saya pada dia."
Kania roboh juga pada akhirnya. Perempuan itu menangis. "Apa aku terlalu berlebihan untuk marah kali ini?"
Genta menggelengkan kepalanya. "Tidak. Saya tahu kamu menelepon saya yang pertama. Saya pikir kamu hanya menyuruh cepat pulang. Tidak, bahkan jika kamu menyuruh cepat pulang saya tidak seharusnya mengabaikan."
Genta mengambil anaknya dari Kania. "Maafkan papa sayang," bisik Genta tulus pada puteri kecilnya itu.
"Aku harap Om benar menyesal!" ujar perempuan itu keluar kamar menjauh dari Genta karena kesal melihat wajah laki-laki yang jarak usianya jauh darinya itu.
***
Kania terbangun ketika jam masih menunjukkan tengah malam. Ia melihat Genta yang sudah terkantuk dengan bayi mereka dipangkuannya. Kania merasa terenyuh. Kania mudah marah pada laki-laki itu tapi juga mudah memaafkannya dalam waktu yang berdekatan.
Kania menghampiri dua orang itu. Memeriksa panas Mikaela yang sudah turun kemudian mengambilnya dari pangkuan Genta. "Ssst, biar aku coba tidurkan dia di keranjang bayi," bisik Kania pada Genta yang terbangun ketika sesuatu bergerak di pangkuannya.
Genta menurut juga turut memeriksa badan anaknya dan sedikit menghembuskan nafas lega. "Maafkan papa, nak!" bisik Genta lagi untuk kesekian kalinya.
"Udahlah, Om! Mikaela mungkin sudah memaafkannya. Asal jangan diulangi lagi!"
Genta menganggukkan kepalanya. "Biar aku yang jaga Mikaela, Om tidur aja. nanti Om sakit juga lagi."
"saya kuat, Ka'. Tidak mungkin sakit."
"Tapi besok ngantor. Tidur aja disini jika takut ke kamar. Maksudku jika om takut bolak-balik demi memeriksa keadaan Mikaela. Hanya malam ini." Kania berkata yang membuat Genta menganggukkan kepalanya. Kania menggoyang-goyangkan box bayi anaknya itu. Mikaela tidak merengek lagi hingga Kania memutuskan untuk menaiki tempat tidur juga menyambung tidurnya.
"Aku benar-benar panik tadi," ujar Kania sambil menyuruk ke dada Genta. Untungnya obat dari dokter membawa pengaruh baik pada Mikaela. Bocah kecil itu bisa tertidur pulas melewati tengah malam. Kania terduduk dengan sedikit menguap. Ia menyanggul rambutnya sebentar. Selanjutnya dia merabai dahi puterinya yang sudah tidak terlalu panas lagi. Kania melakukan cek suhu untuk memastikan. Benar, beberapa detik kemudian sudah menunjukkan suhu yang sedikit normal.
Kania beralih pada Genta. Pria itu harus ke kantor. "Om," Kania menggoyangkan tubuh Genta yang dibungkus dengan selimut seperti kepompong itu. Berharap Mikaela nantinya tidak meniru sifat Genta yang seperti ini karena terlihat menyeramkan.
"Om, bangun!" Kania menggoyangkan lagi tubuh Genta. Kali ini lebih keras. "Udah mau jam delapan. Kalau macet di jalan bisa siang sampai kantornya," ujar Kania menambahkan.
Genta mengerang kecil. Pria itu terduduk sedikit berdehem membasahi kerongkongannya yang terasa mengering. "Mikaela udah baik-baik saja?" tanya Genta. Kania menganggukkan kepalanya.
"Panas demamnya sudah turun. Semoga enggak naik lagi. aku benar-benar panik. Padahal aku berusaha keras jaga makan dan kesehatan agar Mikaela enggak sakit karena nutrisi dari aku. Ke depan akan lebih aku perhatikan." Kania sebagai seorang ibu sangat khawatir pada puteri yang semakin hari semakin bisa diterimanya itu.
Genta menganggukkan kepalanya. Pria itu tersenyum kecil, berniat berdiri tapi tiba-tiba Genta terhuyung membuat Kania menangkap badan suaminya. Genta sangat jangkung dan berat. Jika saja Genta memasrahkan semua tubuhnya sudah pasti mereka berdua akan bedebam menyentuh lantai.
"Badan Om kok panas gini?" tanya Kania dengan kening mengkerut. Ia kemudian berjinjit menjangkau kening Genta yang memang panas.
"Enggak apa-apa kok. Mungkin karena baru bangun tidur." Genta berdehem lagi. kerongkongannya benar-benar kering rasanya. Dia juga merasakan panas nafasnya tapi dia berbohong agar Kania tidak terlalu khawatir.
"enggak, enggak, enggak," Kania menggelengan kepalanya tegas. "Ini panas Om. Telepon Tiara. Undur aja deh Om ke kantor untuk hari ini." Kania memberikan keputusannya berusaha menarik Genta lagi.
"Tidak sayang, saya hanya panas sedikit." Ia mencoba berjalan lagi dan memang pusing. Genta mengerang kecil. Ia menyumpahi tubuhnya yang terasa lemah.
"Ehm, bandel!" delik Kania. "Udah deh, Om. Enggak usah sok-sokan maksain diri dekat aku. katanya kalau sama aku manja, tapi ini apa sama aja kayak Om dengan yang lainnya."
"Kan saya sudah sakit, Ka'. Masa masih diomelin sih?" lirih Genta.
"Makanya kalau isteri ngomong itu didengarin." Kania mencebik kesal sambil membantu Genta kembali ke tempat tidur.
"Isteri?" ulang Genta sambil tersenyum.
Wajah Kania memerah. "Om, udah sakit juga. Enggak boleh usil, enggak boleh jahil. Bentar aku minta tolong bibi untuk buatin Om bubur."
Kania turun ke bawah setelah meletakkan Genta di tempat tidurnya. Setelahnya perempuan itu kembali dengan obat penurun panas. "Memangnya minum obat sebelum makan itu bisa?" tanya Genta.