Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir!

dqrtaa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9.9k
Views
Synopsis
Berawal dari salah pilih suami karena dipaksa menikah dengan laki-laki pilihan sang Papa. Amara Inez Maheswari harus memendam rasa malu dan perihnya hidup saat berakhir sebagai seorang single perent dari seorang pria yang sangat pandai berpura-pura dalam kondisi mengandung bayi berusia empat bulan. Bukan hanya itu. Pernikahan kedua Amara yang juga gagal padahal dia telah melahirkan putri dari suami keduanya itu membuat dia merasa kapok dalam urusan pernikahan. Namun, hal itu berubah saat Amara bertemu dengan seorang CEO tampan saat dia hendak meninggalkan Jakarta.
VIEW MORE

Chapter 1 - Terpaksa Menerima Malam Pertama

Ingat. Aku menerima pernikahan ini hanya karena Papa yang meminta."

Wanita cantik dengan iris mata hitam itu masih terus menatap pantulan dirinya sendiri dicermin besar. Gaun putih yang didesain khusus oleh perancang baju terkenal di kota metropolitan itu membuat sang pemakai merasakan sesak di dada.

Berbeda dengan wanita yang biasanya merasakan kebahagian saat pesta pernikahannya berlangsung, gadis itu malah merasa tersiksa atas pernikahan yang terjadi karena terpaksa ini.

Pernikahan ini terjadi karena sebuah rasa cinta pada orang tua dari--Amara Inez Maheswari yang merupakan seorang pemilik perusahaan ternama di kota Jakarta, karena Papanya adalah seorang pria yang buta akan harta.

Melihat Raza Argantara yang sedari awal memperkenalkan diri berkata bahwa dia mempunyai perusahaan ternama di Jerman membuat Papa Amara merasa akan diuntungkan jika putrinya menikah dengan Raza. Dan Amara tidak tahu akan hal ini.

Setelah pesta usai. Amara langsung berlari tanpa suaminya ke dalam kamar, tidak memperdulikan tatapan para tamu yang keheranan. Membuat Raza langsung mengikutinya agar para tamu tidak berpikir macam-macam.

"Aku tahu itu. Secepatnya aku akan membuatmu menerima sepenuhnya pernikahan ini."

Laki-laki yang berbicara di sofa itu berdiri. Memeluk tubuh Amara dari belakang mengacuhkan Amara yang bertingkah tidak nyaman lalu kembali berkata sambil menatap mata tajam istrinya dari pantulan cermin.

"Kamu tahu? Aku adalah pria yang tidak bisa melihat wanita membenciku terlalu lama."

"Namun. Kamu juga perlu tahu. Bahwa aku tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa itu dari hatiku. Mulutmu yang terus saja membanggakan dirimu sendiri membuatku merasa tidak nyaman denganmu."

Raza menyunggingkan senyuman lalu semakin mempererat pelukannya. "Jangan bicarakan itu sekarang. Malam ini adalah malam yang indah. Aku mohon jangan hancurkan itu."

Amara berdecih dalam hati. Jika saja Papanya tidak meminta hal ini dengan air mata maka Amara tidak akan pernah mau menikah dengan lelaki yang mempunyai paras yang tidak seberapa itu. Sangat tidak sebanding dengan wajahnya yang selalu terlihat menawan.

"Apa yang kamu inginkan?"

Meskipun sudah tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran pria berusia empat tahun lebih tua darinya Amara masih tetap bertanya.

"Emm ... Aku kira kamu sudah tahu apa yang aku inginkan. Hal yang sering orang lakukan di malam pertama. Bukankah kamu juga menginginkan itu?"

Perkataan dan smirk Raza membuat Amara merasa jijik luar biasa. Tapi, ajaran yang sudah di dapat membuat dirinya berpikir. Tuhan tidak suka jika seorang istri menolak perintah suaminya. Walau bagaimanapun. Amara harus bisa menerima semuanya.

Seiring berjalannya waktu. Semuanya pasti akan membaik jika Amara mencoba menerima segalanya dengan baik.

Dia menghela napas berat sembari memejamkan mata. "Lakukanlah. Bukan karena saya ingin. Akan tetapi karena saya sadar. Bahwa itu sudah menjadi bagian dari tugas seorang istri. Saya juga tidak ingin jika Tuhan yang sudah memberikan saya segalanya marah."

Mendengar jawaban Amara. Raza langsung tersenyum penuh kemenangan. Amara adalah wanita yang sangat smart pasti mengerti akan sebuah tugas.

Raza membalikan tubuh Amara lembut lalu segera melakukan hal yang membuat Amara meringis dalam hati karena hal yang dilakukan mereka saat ini benar-benar tidak diinginkan hatinya.

***

"Bagaimana malam kalian? Indah?"

Perkataan Lidia ibu dari Amara membuat wanita yang sedang menyantap sarapan langsung menaruh sendoknya di meja. Bukan merasa malu. Akan tetapi merasa jijik saat mengingat kejadian semalam.

"Tentu sangat indah, Mom. Bahkan Amara sangat menikmatinya." Raza memegang tangan istrinya. Membuat Amara yang baru saja berdecih dalam hati karena mendengar ucapan Raza tadi langsung mengalihkan tatapannya. "Benar begitu, kan, Honny?"

Amara tidak menjawab. Wanita itu malah lebih memilih kembali memakan sarapannya tanpa adanya keinginan untuk menjawab ucapan yang benar-benar menjijikan itu.

"Sepertinya Amara malu. Tapi tidak apa-apa. Mama juga seperti ini saat hari pertama menikah. Namun, berbeda. Karena bukan orang tua Mama yang bertanya tapi Mama mertua." Lidia berkata diikuti senyuman suaminya dan Raza.

"Oh iya, Raza. Jadi, kapan kamu akan membawa Amara ke Jerman?"

Beberapa detik Raza terdiam. Amara menoleh padanya. Merasa aneh karena pria itu terlihat seperti tengah menutupi sesuatu.

"Raza tidak akan membawa Amara ke Jerman, Pa, Ma."

Ketiga orang itu mengerutkan kening. Perkataan Raza saat ini benar-benar berbeda dengan apa yang dia katakan di acara pertunangan.

"Bukankah waktu itu kamu bilang--"

"Raza lupa memberitahu kalian perihal berubahnya keputusan Raza saat itu, Pa. Begini, Raza akan membangun rumah sendiri di Jakarta dan itu memerlukan waktu sekitar beberapa bulan ke depan. Jika tidak keberatan ... Raza juga Amara akan tinggal dulu di sini sampai pembangunan rumah kami selesai." Raza memotong ucapan Brama.

"Apa? Lupa? Lupa memberitahu hal sebesar ini? Dan bagaimana bisa aku tinggal di sini saat aku sudah menikah?" Amara bertanya dengan nada kesal.

"Maafkan aku, Sayang. Jika kamu tidak ingin tinggal di sini kita akan menyewa apartemen untuk beberapa waktu. Bagaimana?"

"Tidak-tidak." Lidia menyela. "Kalian akan tetap tinggal di sini. Mama tidak akan membiarkan kalian tinggal di apartemen yang luasnya tidak seberapa."

"Tapi, Ma--"

"Sudahlah, Amara. Apa yang Mamamu katakan tadi adalah benar," potong Brama.

Amara menghela napas berat saat Papanya berkata. Sebenarnya bukan karena dia ingin tinggal berdua dengan pria yang tidak dia cintai ini. Tapi karena, dia tidak akan pernah bisa melawan suaminya saat tinggal bersama kedua orang tuanya terus.

Karena Amara tidak ingin Brama dan Lidia mempertanyakan didikan yang sudah mereka berikan padanya. Membuat hati kedua orang tua sedih adalah hal yang tidak ada dalam kamus hidup wanita itu.

Karena rasa sayang pada mereka adalah hal yang membuatnya terpaksa terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.

***

Beberapa hari terlewati. Namun, Amara masih belum merasakan benih-benih cinta terhadap suaminya. Padahal saat ini, Amara sudah sadar bahwa dia harus segera menerima Raza dalam hidupnya agar hatinya bisa merasakan kebahagian menjadi seorang istri. Hari ini adalah hari dimana dia akan diwisuda. Gelar S1 yang selama ini dia perjuangkan akhinya berhasil didapat.

Amara memasukan handphone dan beberapa barang-barang penting ke dalam tas dengan senyuman yang terus merekah di pipi.

Drett! Drett! Drett!

Suara telphone Raza di atas meja membuat Amara repleks langsung mengambilnya dan menekan tombol hijau sebelum akhirnya di tempelkan di telinga.

"Hall--"

"Kemana saja kamu? Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah?!"

Keningnya mengerut bingung. Saat suara wanita yang terdengar di seberang sana. Suara itu terdengar marah. 'Siapa wanita ini?' batin Amara bertanya.

Baru saja ingin menimpali. Namun, tiba-tiba saja Raza langsung mengambil paksa handphone itu dan mematikan panggilannya.

"Kenapa tidak memanggilku saat ada yang menelphone?" tanya Raza sembari memasukan handphonenya ke saku celana.

"Siapa wanita itu? Selingkuhanmu?" Amara balik bertanya dengan wajah datar yang selalu dipasang saat berbicara dengan Raza.

"Selingkuhan? Maksudmu?"

"Ya, selingkuhan. Dia pasti selingkuhanmu, kan sampai-sampai kamu langsung memutuskan telphone itu?"

Raza tersenyum, lalu menarik pinggang Amara. Membuat Amara lagi-lagi dibuat tidak nyaman. "Kamu sudah mencintaiku?"

"Apa?" Amara tersenyum jengkel. "Tidak mungkin."

"Tidak perlu malu-malu. Bilang saja jika kamu sudah mencintaiku."

Amara mendorong tubuh Raza sehingga cekalan di pinggangnya terlepas lalu mengambil tasnya di atas kasur. "Jangan terlalu kepedean. Saat ini dan seterusnya. Aku tidak akan pernah memiliki perasaan apapun padamu." Amara berkata dengan tajam lalu berlalu pergi dari kamar.

Meninggalkan Raza yang langsung merubah ekspresinya saat istrinya itu keluar dari kamar. Wajahnya berubah menjadi kesal.

"Terlebih dahulu aku akan mengurus wanita itu. Aku tidak ingin rencanaku yang sudah berjalan ini hancur hanya karena dia."