Dua manik mata itu terus melihat jalanan kota yang ramai dengan tatapan kosong. Dia benar-benar tidak percaya bahwa Raza bisa menyimpan kebohongan sebesar ini darinya juga Papa dan Mamanya.
Mata Amara tiba-tiba menyipit seakan tengah berusaha memperjelas pandangan saat matanya menangkap seorang pria berkemeja putih yang sedang duduk disebuah taman kota tak jauh dari rumahnya bersama pria lain yang tidak dia kenal. Dialah Raza, laki-laki itu terlihat jauh dari sebelum pergi dari rumah. Dasi yang di kesampingkan, dan kemeja dengan kancing yang terbuka satu tanpa jas hitamnya.
"Pak. Pak. Berhenti."
Cittt ....
Supir itu berbalik setelah menghentikan mobil di pinggir jalan. Lalu berbalik menatap wanita yang sedang menatap keluar kaca lalu bertanya. "Ada apa, Nyonya? Apa Nyonya membutuhkan sesuatu?"
Amara mengalihkan tatapan. "Tidak. Kamu cari tempat untuk parkir saja, saya akan turun disini untuk pergi ke taman sebentar. Nanti kamu tunggu di mobil, saya akan menelphone jika urusan saya sudah selesai."
Amara langsung keluar setelah memberi perintah tanpa menunggu jawaban dari si supir. Dia berjalan cepat mendekat pada kedua pria itu sebelum akhirnya berdiri tepat di balik pohon besar agar dia bisa mengetahui kenapa Raza bisa ada di tempat ini.
Karena dia tahu. Raza tidak akan pernah berkata jujur jika diberi pertanyaan langsung. Apalagi setelah dia mengetahui kebohongan yang di simpan oleh Raza.
Raza menyentil rokok yang sudah dimatikan ke tong sampah lalu berbicara dengan senyuman.
"Gue udah berhasil nipu Amara dan keluarganya. Dan sebentar lagi anak gue dan Amara bakal lahir, kehadiran itu anak bisa buat rencana gue semakin mudah."
"Terus gimana sama, Jessica? Lo mau cerein dia?"
"Tentu iya. Apalagi akhir-akhir ini dia sering bikin gue tertekan dengan omelan-omelannya. Lagipula, setelah gue berhasil nguasain harta itu keluarga Amara. Dengan mudahnya gue bakal punya cewek banyak." Raza berkata diikuti tawanya.
"Pokoknya kalo lo udah berhasil jangan lupa kasih gue dikit."
"Enak aja, lo. Gua yang susah masa lo yang nikmatin." Raza menatap kelain arah. "Gue juga heran. Kenapa bisa orang-orang kaya mereka gampang banget diboongin."
"Ya, karena lo emang penipu kelas kakap," ucap teman Raza diikuti tawa keduanya.
Tangan Amara mengepal kencang. Menahan amarah yang bergemuruh dalam dada saat telinganya mendengar semua ucapan mereka. Tidak bisa dipercaya. Raza bisa memainkan permain kotor semacam ini.
Dia keluar dari persembunyiannya dan berjalan mendekat pada mereka setelah berdiri tepat di belakang mereka dia berkata. "Laki-laki yang tidak tahu diri."
Raza dan temannya itu membalikan badan. Kedua mata Raza membulat lalu bangkit dari duduknya diikuti pria di sampingnya.
"Kamu pikir. Saya tidak akan mengetahui kebusukan kamu ini, hah!"
Setelah mengontrol diri agar tidak terlihat gugup Raza mendekat pada Amara lalu berkata sambil memegang bahu Amara. Namun, tangan itu langsung ditepis kasar oleh wanita yang saat ini sedang terus berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.
"Raa? Sedang apa kamu di sini? Kenapa tidak memberitahu aku dulu kalau kamu akan keluar dari rumah?"
"Penipu! Berani sekali kamu menipu saya dan kedua orang tua saya. Kamu pikir siapa kamu? Sampai berani menipu keluarga Maheswara seperti ini, hah!" teriak Amara.
Beruntung saja. Ini sudah malam hari tidak ada lagi orang yang berinteraksi disana selain mereka. Jadi, nama baik keluarganya tidak akan tercoreng saat Amara menyebutkan nama keluarganya.
"Apa yang kamu katakan sayang? Apa yang kamu katakan itu tidaklah benar."
"Cukup!" Amara mundur selangkah. "Cukup mengeluarkan kata-kata manis dengan mulut kotormu itu."
Raza menelan salivannhq. Saat menyadari posisinya sudah dalam bahaya. Dia melangkah lalu memegang tangan Amara lembut. "Sayang--"
Namun, lagi-lagi tangannya kembali ditepis oleh wanita itu. Dia benar-benar jijik. Jijik pada laki-laki di depannya ini.
"Jangan pernah menyentuh saya oke!" tegas Amara. "Setelah saya mengetahui ini. Jangan harap kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau, mengerti!"
Amara berbalik dan pergi meninggalkan Raza yang sedang cemas luar biasa sambil terus menyeka air mata di pipinya. Laki-laki seperti Raza tidak pantas untuk ditangisi oleh wanita manapun.
Tepukan dipundak Raza membuat laki-laki yang sedang cemas bukan kepayang itu langsung mengalihkan tatapan pada temannya yang merupakan si pelaku. "Lo tenang aja. Meera enggak akan bisa ngegagalin rencana lo. Karena harta keluarganya bukan milik dia tapi punya bokapnya."
Riza diam sejenak sebelum akhirnya kembali tersenyum licik saat otaknya memahami maksud teman lamanya itu.
"Kamu tidak akan bisa melakukan apapun, Meera."
***
Plak!
Suara tamparan yang dilayangkan pada Amara terdengar disetiap penjuru ruangan. Membuat Amara langsung memegang pipinya yang sudah merah karena tamparan yang dilayangkan Mamanya sembari menatap Lidia dengan mata membulat.
"Apa kamu tidak malu menuduh suamimu seperti itu? Wanita seperti apa kamu ini, hah! Apa Mama dan Papa pernah mengajarkan hal ini padamu?"
Bukannya percaya saat Amara mengatakan hal yang sebenarnya tentang Raza. Mama dan Papanya malah marah. Pertengkaran ini disaksikan oleh para pelayan mereka yang melihat dari kejauhan. Karena kejadian ini terjadi di ruang keluarga.
"Papa tahu, dari awal kamu memang tidak menyetujui pernikahan ini. Tapi tidak baik jika kamu menuduh suamimu seperti itu, Amara." Kali ini Brama yang berbicara.
"Tapi aku tidak menuduhnya, Pa. Raza benar-benar ingin menguasai harta kita. Dia itu pembohong besar. Sungguh, dia tidak memiliki apa yang dia katakan pada kita. Ku mohon percaya padaku. Papa dan Ma--"
"Tega sekali kamu Amara."
Wanita itu menoleh ke arah suara menatap Raza yang saat ini tengah berdiri dengan air mata palsu di ambang pintu. Hal ini tentu membuat Brama dan Lidia merasa bersalah.
Bukan hanya merasa bersalah. Mereka juga takut. Jika janji Raza yang akan memberikannya satu perusahaan di Jerman dibatalkan setelah kejadian ini.
Lain hal dengan Amara wanita itu sedikitpun tidak mengira. Bahwa laki-laki ini akan mempunyai keberanian besar untuk tetap muncul di depannya setelah kedoknya terbongkar.
Raza perlahan mendekat pada ketiganya. "Tega sekali kamu menuduhku seperti ini. Aku begitu sangat mencintaimu tapi kenapa kamu malah membalasnya dengan tuduhan yang tidak mungkin aku lakukan?" Raza berbicara dengan suara merintih seakan dialah yang menjadi korban di sini.
"Sudah cukup! Tidak perlu berpura-pura seakan-akan kamu tidak salah apa-apa di sini! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kamu, Raza!" bentak Amara, dia benar-benar sudah tidak tahan melihat tingkah Raza saat ini.
"Amara! Turunkan suaramu!" Lidia memperingati namun sama sekali tidak mengurungi tatapan tajam Amara pada Raza.
"Memang apa yang ingin aku dapatkan? Aku tidak ingin apa-apa selain dirimu, Ra. Tapi kenapa kamu malah jadi seperti ini?" tanya Raza dramatis.