Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 10 - Tidak Sebanding

Chapter 10 - Tidak Sebanding

"Setelah itu aku hidup sendiri. Orang tuaku tidak menerimaku lagi di rumah mereka. Karena aku mempunyai empat adik yang masih butuh biaya untuk sekolah sementara saat itu ayahku hanya bisa menafkahi adik-adikku saja.

Saat itu, aku juga merasa tidak ingin hidup lagi. Baru saja berniat untuk meloncat dari atas jembatan tapi tiba-tiba ada tangan yang menahanku membuat pikiranku kembali tersadar. Dia adalah pria yang juga tidak bisa mempunyai anak.

Pria itu juga yang memberikanku kehidupan sampai sekarang, dialah suamiku yang saat ini sudah tidak ada di dunia," ucap Sumiyati mengakhiri kisah hidupnya dengan senyuman saat mengingat masa-masa bersama suami terakhirnya.

Lalu mengalihkan tatapan pada Amara yang saat ini sedang menatapnya sendu. "Pelajaran apa yang bisa kamu ambil dari kisahku ini, Amara?" tanya Sumiyati.

Amara hanya diam. Tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Karena cerita Sumiyati berhasil membuatnya membandingkan dengan kehidupannya sendiri.

"Anak yang ingin kamu akhiri hidupnya adalah anak yang diinginkan orang yang mandul dan masalah yang saat ini kamu hadapi mungkin belum tentu seberapa bagi orang yang diberikan cobaan lebih besar oleh Tuhan," ujar Sumiyati menjawab pertanyaannya sendiri karena ingin menyadarkan wanita di depannya itu.

"Raa." Sumiyati memegang tangannya. "Masalah yang sedang kamu hadapi. Itu akan mudah kamu lalui jika kamu mensyukuri, menerima dan memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kamu. Karena tidak ada ketengangan yang sempurna jika kamu menyimpan amarah untuk orang lain," ucap Sumiyati lalu tersenyum tipis.

Amara tersadar. Dia mulai tahu bagaimana caranya menjalani kehidupan ini. Kisah Nenek tua di depannya ini benar-benar meng-inspirasi.

Dengan tangan satunya Amara memegang tangan Nenek Sumiyati erat. Dia benar-benar merasa sangat beruntung karena telah di pertemukan dengan orang baik seperti wanita tua didepannya.

"Terimakasih. Entah bagaimana lagi caraku untuk berterimakasih kepadamu, Nek. Orang tuaku saja tidak pernah memberikanku pelajaran seperti ini. Thank you so much, Nek," ujar Amara menahan air mata yang terasa seperti ingin menetes kembali.

Bukan karena merasa sakit tapi merasa haru. Sumiyati telah berhasil membuat hatinya tenang. Hanya dalam waktu sekejap.

"Tidak perlu berterimakasih. Ini sudah menjadi bagian dari tugasku. Aku hanya ingin meminta. Jangan pernah berpikir lagi untuk mengakhiri hidup anak yang sama sekali belum lahir. Mengerti?" tanya Sumiyati dengan tatapan hangat.

Amara mengangguk kecil dengan senyuman haru. Lalu beralih memeluk Sumiyati dengan hangat. Menyalurkan rasa cinta yang sudah muncul dihati hanya dalam kurun waktu empat hari.

"Jika ada yang sedang menganggu pikiranmu ceritalah padaku. Anggap sebagai Ibu untukmu dan Nenek untuk anakmu." Sumiyati berkata di tengah pelukan mereka.

Amara tersenyum. "Terimakasih, Nek. Terimakasih banyak," ujar Amara sambil mempererat pelukannya.

****

Seperti perkataan Sumiyati semalam. Saat ini Amara tengah membantu Sumiyati menyiapkan pesanan pelanggan di warung yang tidak besar itu.

Dengan penampilan seadanya. Amara melayani setiap pembeli dengan senyuman ramah. Semangat dalam bekerja di warung pemilik rumah yang dia singgahi.

"Jadi berapa?" tanya wanita seumuran Lidia sambil mengambil barang belanjaannya di tangan Amara.

"Empat puluh ribu, Bu."

Amara mengambil uang yang di ulurkan padanya lalu tersenyum. "Terimakasih," ucapnya lalu menaruh uang itu di laci kecil.

"Oh iya, Amara. Besok akan ada Dokter yang datang ke kampung ini untuk memeriksa Ibu hamil. Jika kamu mau, besok kamu datang ke pos yandu untuk di periksa ya," ucap Ibu itu.

Amara diam untuk beberapa detik lalu tersenyum kecil. "Emm ... Iya, Bu. Terimakasih ya."

Ibu itu hanya mengangguk dengan senyuman. "Kalau begitu saya permisi."

Amara hanya tersenyum matanya terus melihat punggung wanita yang semakin jauh itu tanpa ekspresi. Namun, wajahnya sangat menunjukan rasa bingung.

"Raa. Ini makan dulu."

Suara Sumiyati yang terdengar membuat Amara langsung membalikan badan. Bibirnya tertarik membentuk senyuman saat melihat Sumiyati yang sudah menaruh bubur untuknya di meja.

Dia melangkah dan duduk di samping Sumiyati lalu mengambil bubur yang disodorkan Sumiyati padanya.

"Terimakasih."

Sumiyati hanya tersenyum tanpa melepaskan pandangan dari Amara yang saat ini mulai memakan bubur buatannya.

Namun, keningnya perlahan mengerut saat Amara hanya diam dengan tatapan kosong ke depan. Ada apa dengan gadis ini?

"Raa?" panggilnya.

Amara mengalihkan tatapan. "Iya? Ada apa Nek?" tanya Amara.

"Kamu yang kenapa?"

"Memangnya Amara kenapa?" Wanita itu balik bertanya dengan wajah bingung.

"Kamu sedang memikirkan sesuatu ya? Ada apa? Tadi ada yang datang lalu menghinamu lagi?"

Amara menaruh mangkuk di atas meja. "Tidak ada, Nek."

"Lalu?"

Amara menghela napasnya berat lalu menatap lurus kembali. "Tadi ada Ibu-Ibu yang berbelanja. Dia memberitahuku kalau besok ada pemeriksaan untuk Ibu hamil di kampung ini. Karena itu aku merasa bingung."

Dengan kening yang mengerut Sumiyati bertanya. "Bingung? Kenapa harus bingung. Kamu datang saja. Lagi pula kamu juga harus tahu bagaimana kondisi bayimu saat ini," ucap Sumiyati memberi masukan.

"Aku ingin, Nek. Tapi bagaimana jika ada yang menghinaku lagi nanti?" Amara mengalihkan tatapan. "Nenek tahu kan. Kemarin saat aku pulang sesudah mengurus berkas perceraian dengan suamiku. Mereka mempertanyakan ayah dari anakku. Bagaimana jika itu terulang kembali?" tanya Amara dengan wajah cemas.

Sumiyati tersenyum sambil menghela napas. "Itu tidak akan terjadi lagi. Tidak perlu khawatir ya. Mereka tidak akan menghinamu. Karena Nenek akan ikut bersamamu besok."

"Anakmu perlu di pastikan sehat. Agar nanti dapat menemanimu sampai tua dengan sehat," ucap Sumiyati lalu tersenyum kembali.

"Jika Nenek ikut, aku yakin mereka juga akan tetap menghinaku." Amara berkata dengan rasa cemas bercampur kesal. "Sudahlah. Aku tidak akan datang ke sana," ucapnya lalu menatap lurus.

"Apa yang kamu katakan Amara. Kamu harus datang. Apa kamu tidak mau mendengar tentang kondisi anakmu? Bagaimana jika anakmu dalam kondisi yang tidak baik," ucap Sumiyati tanpa mada lembut sama sekali kali ini dia berkata dengan penuh ketegasan.

Membuat raut wajah Amara seketika berubah. Entah mengapa saat Sumiyati berbicara. Perkataannya dapat langsung masuk ke dalam otak Amara.

"Datang. Kamu harus datang," lanjut Sumiyati.

Amara mengalihkan tatapan pada wanita itu. "Tapi, Nek. Bagaimana ji--"

"Kita memang tidak bisa membuat mulut semua orang berhenti membicarakan kita. Jika kita terus saja takut pada ucapan mereka. Kita tidak akan pernah bisa merasa damai, Raa."

Ucapan Sumiyati lagi-lagi membuat Amara langsung menghela napasnya dalam-dalam. "Sudah cukup kamu terus memperdulikan ucapan orang. Cobalah menjadi manusia yang acuh. Acuh pada hal yang menyakitkan hati. Mengerti," lanjut Sumiyati tegas.

Amara diam untuk beberapa saat untuk berpikir. Ia kembali mengadahkan wajah setelah selesai meresapi perkataan Sumiyati.

"Baiklah, Nek. Aku akan datang ke sana," ucap Amara membuat Sumiyati tersenyum tenang.

Amara tidak tahu. Kalau besok adalah awal dari kisah menyakitkan kedua dalam hidupnya.