"Permisi."
Sumiyati mengadahkan wajah. Kedua manik matanya melihat seorang pria berpenampilan rapoh berdiri tepat di depan pagar rumah.
Sumiyati beranjak mendekat pada lelaki muda itu dengan tatapan heran. "Iya? Ingin bertemu dengan siapa? Kebetulan yang tinggal disini hanya ada saya, sementara saya tidak mengenal kamu."
Laki-laki yang sudah mencari rumah Sumiyati kesana kemaripun tersenyum tipis. "Saya Gavin. Saya dengar wanita yang bernama Amara Maharani tinggal di rumah Ibu. Apa itu benar?"
"Oh, Amara ... Iya dia tinggal dirumah saya. Jika boleh tahu Nak Gavin ini siapanya Amara ya?" tanya Sumiyati ingin tahu.
Karena selama Amara tinggal di tempatnya tidak pernah ada orang yang datang bahkan hanya sekedar menanyakan Amara pun tidak ada.
"Emm ... Saya dokter yang tadi memeriksa dia di pos yandu, Bu. Kebetulan tadi di sana ada sedikit kesalah pahaman antara saya dan Amara karena itu saya datang kesini untuk meminta maaf dan meluruskan semuanya," jelas Gavin.
Sumiyati diam untuk beberapa saat. Lalu tersenyum sambil menatap pria muda di depannya.
"Iya. Tadi Amara juga sempat cerita pada saya dan ..." ucapan Sumiyati menggantung. "Saya tahu pasti Amara marah padamu yang mungkin tidak kamu ketahui sama sekali maksud dari ucapannya. Karena itu maaf jika mungkin tadi ada perkataan Amara yang menyinggung hati," ucap Sumiyati meminta maaf atas nama Amara.
"Tidak, Bu. Tidak ada," ucap Gavin dengan senyuman. "Tidak perlu meminta maaf. Karena kesalah pahaman tadi sepenuhnya salah saya."
Sumiyati tersenyum tipis. Bukan hanya tampan namun lelaki muda di depannya juga mempunyai sifat yang begitu baik.
"Baiklah. Kalau begitu mari ikut dengan saya," ucap Sumiyati membuat Gavin langsung mengangguk patuh.
Gavin mengikuti Sumiyati yang berjalan di depannya. Langkahnya terhenti saat keduanya sampai di pintu rumah Amara.
Tok. Tok. Tok.
"Raa! Ini ada tamu!" teriak Sumiyati setelah mengetuk pintu.
Tidak lama setelah memanggil nama Amara. Pintupun terbuka menampakan seorang wanita yang tadi pagi bertemu dengan Gavin di pos yandu.
"Ada apa, Nek?" tanya Amara sambil menatap Sumiyati.
Dia tidak melihat bahwa ada seorang pria yang saat ini berdiri tepat di sampingnya.
"Ada tamu," jawab Sumiyati.
"Tamu?" Amara berkata dengan wajah heran.
Siapa tamu yang di maksud Nenek Sumiyati. Apa jangan-jangan Raza atau kedua orang tuanya yang datang?
Sumiyati mengangguk dengan senyuman lalu menunjuk Gavin dengan matanya. Membuat Amara langsung berbalik.
Dia. Sedang apa dia disini? Dengan rasa kesal yang masih ada dalam hati Amara bertanya. "Mau apa kamu kemari? Belum cukup kamu mempertanyakan kehamilanku tadi?" Amara bertanya dengan nyinyir.
"Jangan salah paham dulu, Nona. Saya datang kemari hanya untuk me--"
"Me apa, hah?" bentak Amara.
"Amara."
Amara mengalihkan tatapan pada Sumiyati. "Jangan seperti itu. Dia datang kemari karena mempunyai tujuan yang baik. Bukan untuk menghinamu," ucap Sumiyati.
Tanpa menunggu jawaban Amara. Sumiyati masuk dan melebarkan pintu. Lalu tersenyum. "Mari, Dok. Silahkan masuk."
Gavin pun tersenyum lalu masuk ke dalam rumah itu. Membuat Amara menatap dua orang yang sudah duduk dengan tatapan tidak percaya.
Namun tatapannya berubah saat Sumiyati memberikan tanda agar dia juga ikut duduk dengan ekspresi.
Amara mendengkus lalu ikut duduk di samping Sumiyati. Mau bagaimana lagi? Dari pada kena marah nanti. Lebih baik menuruti perintah.
"Amara kamu kamu disini saja ya. Nenek akan ambilkan minum terlebih dahulu untuk Pak Dokter." Sumiyati menepuk bahu Amara dengan senyuman sebelum akhirnya pergi meninggalkan keduanya di sana.
Bahkan, Amara yang sebelumnya akan menghalangi Sumiyati untuk pergi. Kembali menutup mulut rapat-rapat karena wanita tua itu langsung pergi begitu saja.
Ruangan itu kembali hening. Keduanya sama-sama diam. Bahkan Gavin yang tadinya akan berbicara tiba-tiba merasa gugup. Entah kenapa?
Gavin menarik napas dan membuangnya perlahan sebelum berkata pada wanita yang saat ini duduk dengan raut wajah kesal. Sangat memperlihatkan bahwa kedatangan Gavin membuatnya tidak nyaman.
"Nona Amara. Saya benar-benar menyesal atas ucapan saya tadi pagi. Jika saya tahu ucapan saya akan menyakiti hati Nona saya tidak akan pernah mengatakan itu," ucap Gavin.
Amara diam untuk beberapa saat. Lalu menghela napas sebelum akhirnya kembali menatap Dokter itu.
"Tidak apa-apa. Lagipula saya juga mengerti. Siapa yang tidak akan bertanya-tanya ketika mengetahui kalau saya sedang hamil," ujar Amara lalu tersenyum tipis.
Walau bagaimana pun. Amara bukanlah wanita egois yang hanya memikirkan perasaannya saja. Jika ada seseorang yang meminta maaf padanya apalagi hanya karena hal kecil semacam ini tidak mungkin jika Amara tidak memaafkannnya.
"Terimakasih."
Kini ruangan itu kembali hening. Dua orang itu sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Apalagi, Amara yang sudah sangat ingin pergi tapi entah kenapa Sumiyati tidak kunjung datang. Bagaimana bisa Amara meninggalkan tamu seorang diri.
"Maaf, Dok." Amara tiba-tiba berkata membuat Gavin kembali menatapnya.
"Ada apa?"
"Jika urusan kita sudah selesai. Apa tidak sebaiknya Dokter pergi dari sini," ucap Amara to the point.
Seakan tidak memperdulikan reaksi yang akan di tunjukan Gavin saat dia mengatakan hal itu.
"Jika itu yang Nona mau saya akan pergi dari sini. Saya tahu pasti Nona tidak ingin membuat suami Nona marah karena melihat kita berdua bukan."
Baru saja tadi meminta maaf. Kini laki-laki di depannya sudah kembali membuka lukanya. Sebenarnya dia ini datang untuk meminta maaf atau untuk menambah rasa sakitnya.
Ucapannya ini mengingatkannya kembali pada Raza yang sudah tinggal bersamanya selama lima bulan.
Amara bangkit dari duduknya. Membuat Gavin kembali kehilangan senyumannya. Bingung. Reaksi Amara membuat Gavin kebingungan.
Apa ucapannya salah lagi?
"Tidak perlu mengatakan apapun yang berhubungan dengan hubungan saya. Mengerti."
Amara berbalik. Melangkah masuk ke dalam kamarnya setelah memberi peringatan. Padahal, wajar jika Gavin berkata demikian. Karena dia tidak tahu masalah yang sedang di hadapi oleh Amara.
"Apa ucapanku salah lagi?" tanya Gavin pada dirinya sendiri.
"Maaf sedikit lama. Tadi gulanya sedikit sulit untuk di temukan," ucap Sumiyati dengan senyuman.
Namun, saat melihat Amara yang tidak ada di sana dan Gavin yang berdiri dari duduknya membuat Sumiyati melihat ke sana kemari.
"Dimana Amara?" tanya Sumiyati bingung sambil menaruh nampan di atas meja.
Dengan senyuman Gavin menjawab. "Dia sepertinya masuk ke kamarnya, Bu."
"Kenapa?"
"Tadi saat saya menyebutkan kata suami. Dia malah marah. Saya juga bingung kenapa bisa seperti itu."
Sumiyati menghela napas berat. Jika Gavin tidak di beri penjelasan tentang kondisi Amara. Dia yakin pasti Gavin akan menganggap Amara sedikit tidak waras.
Karena bagaimana pun Gavin adalah orang yang berpendidikan. Pasti akan mempertanyakan sikis yang dialami Amara.