Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 14 - Pantang Untuk Mundur

Chapter 14 - Pantang Untuk Mundur

"Kamu masih penasaran dan masih ingin tahu kehidupan saya? Karena kamu belum mendapatkan apapun kemarin karena itu kamu datang lagi kemari, " ucap Amara.

Gavin beranjak lalu tersenyum, kemudian berkata. "Hal itu sama sekali tidak ada dalam tujuan saya, Nona. Saya pikir kamu harus mendengar alasan saya datang kemari terlebih dahulu," ucap Gavin, tidak membenarkan ucapan Amara yang dilayangkan padanya tadi.

"Untuk apa saya mendengar alasan kamu datang kemari terlebih dahulu. Bukankah hal itu percuma karena kamu hanya akan mengatakan hal yang akan memancing saya untuk bercerita tentang kehidupan saya. Lebih baik saya pergi dari sini," ucap Amara.

Sumiyati langsung beranjak dari duduknya. Menghalangi Amara yang sudah berbalik berniat keluar dari terasa rumah dan kembali ke rumahnya.

"Amara, jangan seperti ini. Kamu dengarkan dahulu tujuan Nak Gavin datang kemari. Setelah itu terserah kamu ingin pergi dari sini atau tidak." Sumiyati meminta.

Amara terdiam untuk beberapa saat, raut wajahnya sangat menunjukan bahwa dia sedang berpikir keras. Dengan berat hati dia pun akhirnya mengangguk.

"Baiklah. Ini semua hanya untuk Nenek tidak lebih."

Sumiyati pun tersenyum lalu menuntun Amara untuk duduk di samping Gavin yang juga ikut duduk setelah Amara mendaratkan bokongnya di kursi.

"Kalian berbincang saja ya. Nenek akan masuk agar kalian dapat berbicara berdua saja," ucap Sumiyati ramah.

"Mengapa harus kedalam?" tanya Amara keberatan. "Nenek di sini saja. Jangan ke dalam aku tidak ingin berdua saja dengan pria ini," ucap Amara sambil melirik Gavin sinis.

Sumiyati tersenyum. "Amara ... Jika Nenek disini. Hal itu akan menghambat perbincangan kalian dan takutnya Nak Gavin merasa malu jika Nenek terus disini."

"Tid--"

"Sudah ya. Nenek masuk, kamu disini saja." Sumiyati mengecup puncak kepala Amara lalu masuk ke dalam rumah.

"Nek! Kok gitu sih?!" teriak Amara.

Menatap punggung Nenek Sumiyati keberatan. Dia menyandarkan punggung ke kursi. Rasanya malas sekali jika harus berduaan dengan pria yang dia anggap menyebalkan ini.

Apalagi bayangan pengkhianatan Raza selalu menghantuinya saat dia berdekatan denganĀ  seorang pria. Lebih tepatnya dia takut untuk jatuh cinta lalu di khianati lagi.

"Ini untukmu."

Amara mengalihkan tatapan. Melihat sebuah kotak berwarna pink yang diulurkan Gavin padanya. Lalu beralih menatap Dokter itu sinis.

"Apa ini?" tanya Amara.

"Ambil dulu. Lalu buka. Kamu akan tahu apa yang saya berikan itu," ucap Gavin lalu tersenyum sambil terus mengulurkan kotak itu pada Amara.

Karena rasa penasaran dan terpaksa. Amara menegakan badan lalu mengambil kotak itu. Tanpa basa basi dia segera membuka kotak yang diberikan padanya.

Raut wajah kesal itu seketika berubah menjadi tanpa ekspresi saat melihat isi dari kotak yang diberikan Gavin. Sebuah pakaian bayi di tambah sepatu mungil membuat hari Amara seketika berubah.

"Kamu tahu kenapa saya memberikan ini padamu?" tanya Gavin.

Namun, Amara masih mengunci tatapannya pada pakaian itu. Namun, sebuah gelengan kecil juga jawaban singkat membuat Gavin langsung melanjutkan ucapan.

"Karena saya ingin. Agar kamu dapat menjaga anakmu itu dengan baik. Saya harap, setelah kamu melihat pakaian untuk bayi mungilmu ini kamu dapat membayangkan bagaimana nanti saat anakmu memakai pakaian ini dan saya yakin saat kamu membayangkan itu akan membuat hatimu merasa jauh lebih tenang dan damai," jelas Gavin.

Amara tertegun, lalu mengadahkan wajah menatap Gavin tanpa ekspresi. "Kenapa kamu melakukan ini? Apakah ini adalah bagian dari rencanamu agar kamu dapat mengetahui kehidupanku?"

Meskipun tatapannya tak lagi sinis. Tak bisa dipungkiri ternyata Amara masih bisa berbicara sinis seperti ini pada Gavin. Karena rasa jengkel memang tidak bisa dihilangkan dengan mudah bahkan saat orang itu sudah berbuat baik pada kita.

"Tugas seorang Dokter bukan untuk ikut campur dalam masalah pribadi si pasien. Tapi untuk memberikan motivasi juga kekuatan agar pasien itu bisa hidup sehat terutama untuk Ibu hamil. Jadi, apakah salah jika saya melakukan tugas yang di berikan pada saya?" tanya Gavin namun masih mempertahankan senyumannya.

Sepasang kedua mata itu saling bertemu. Keduanya menyalurkan rasa yang ada dalam hati masing-masing. Tapi Gavin, seakan merasakan bahwa rasa kesal yang saat ini ada dalam hati Amara sudah hilang.

Amara mengalihkan tatapan ke depan lalu tersenyum tanpa arti. "Seharusnya kamu tidak perlu melakukan ini semua." Amara menaruh kotak itu kembali di meja teras. "Saya tahu kamu sedang melakukan tugas sebagai dokter dikampung ini. Tapi, saya tidak butuh suport ataupun hal lain dari Dokter atau siapapun," ucap Amara lalu tersenyum tipis.

"Terimakasih sudah repot-repot membawakan ini untuk saya," lanjutnya.

"Saya melakukan ini bukan hanya karena saya ingin melakukan tugas saya, Nona. Tapi karena saya ingin meminta maaf lagi untuk kejadian kemarin."

Amara menyunggingkan senyuman. "Sudahlah. Tidak apa-apa. Saya tidak ingin mengingat hal yang sepele semacam itu."

Mulutnya berkata sepele. Namun hatinya berkata. Hal yang menyangkut rasa sakitnya bukanlah hal yang sepele. Terutama ucapan Gavin kemarin.

"Tapi saya tidak bisa jika seperti itu. Karena itu, izinkan saya agar bisa menebus semua kesalahan saya," ucap Gavin.

Kali ini bukan dengan senyuman tapi dengan tatapan dan raut wajah memohon atau sering di sebut melas.

"Menebus? Dengan cara apa kamu bisa menebus ucapanmu kemarin?" tanya Amara kembali dengan tatapan sinis, seperti tadi awal.

"Dengan cara apapun. Saya akan menebus segala kesalahan saya dengan cara apapun. Karena saya tidak terbiasa jika membuat orang berlarut-larut membenci saya."

Amara menghela napasnya. Lalu beranjak dari duduknya namun tetap dengan pandangan lurus ke depan. "Saya akan memberikan kesempatan itu. Lakukan apa saja yang bisa kamu lakukan jika kamu benar-benar mampu," ucap Amara.

Lalu melangkah pergi meninggalkan Gavin yang saat ini menatap punggung Amara yang sudah menghilang. Wanita sama sekali tidak perduli jika Gavin tidak menyukainya.

"Siapkan mental ya, Nak Gavin."

Suara Sumiyati yang tiba-tiba terdengar membuat Gavin langsung mengalihkan tatapan. Tanpa disadari ternyata wanita tua ini sudah duduk sedari tadi tepat setelah Amara pergi dari sana.

"Mental yang kuat sangatlah penting untuk menghadapi Amara. Jika Nak Gavin ingin mundur juga tidak apa-apa. Ibu tidak akan memaksa kamu untuk membantu Amara."

"Jika hal ini sudah di mulai. Maka pantang bagiku jika harus mundur kembali," ucap Gavin lalu mengalihkan tatapan pada Sumiyati.

"Ibu tenang saja. Saya pasti akan membantu Ibu agar Amara bisa segera menerima kenyataan hidup dalam dirinya sendiri," lanjutnya.

Sumiyati hanya diam dengan senyuman tipis. Dia sangat berharap agar kedatangan Gavin dalam kehidupan Amara saat ini dapat mengobati luka yang disebabkan pengkhianatan dari orang-orang terdekat.