Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 15 - Mendapatkan Pekerjaan

Chapter 15 - Mendapatkan Pekerjaan

Seperti apa yang Gavin katakan kemarin pada Sumiyati. Bahwa dia akan membantu Amara agar bisa menerima segala hal yang telah terjadi padanya.

Saat ini. Pagi-pagi sekali Gavin sudah berada di depan rumah Amara. Bukan dengan pakaian kerja. Melainkan dengan pakaian casual yang selalu dia gunakan saat di luar jam kerjanya.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pintu yang dia buat membuat Amara yang baru saja rapih langsung menoleh ke belakang. Mengambil tas dan handphonenya.

"Tumben banget balik lagi. Bukannya tadi udah nganter sarapan?" tanya Amara pada dirinya sendiri sembari melangkah untuk membuka pintu sekaligus untuk pergi dari rumahnya.

But, Amara mengira Sumiyati yang datang. Itu sebabnya dia berkata seperti itu.

"Ad--"

Wajah Gavin yang pertama kali dia lihat tepat setelah membuka pintu membuat Amara langsung menurunkan tangannya dari gagang pintu.

"Selamat pagi, Nona Amara," sapa Gavin dengan senyuman.

"Pagi. Ada apa? Sepertinya saya tidak memanggil Dokter pagi ini. Kenapa datang kemari?" tanya Amara tanpa senyuman. Wajahnya datar seakan tidak menyukai kedatangan Gavin.

"Saya datang ke sini bukan sebagai Dokter. Tapi sebagai teman kamu, Amara," ucapnya.

"Sejak kapan kita berteman? Saya tidak pernah merasa pernah berteman dengan Dokter Gav--"

"Sebelumnya kita memang bukan teman. Tetapi sekarang kita teman--"

Amara mengerutkan kening. Sejak kapan pertemanan bisa dipaksakan? Kenapa Gavin seakan memaksa Amara untuk menjadi temannya. Aneh.

"--Dan pagi ini. Sebagai teman saya ingin mengajak kamu untuk pergi ke suatu tempat," ucap Gavin.

Amara menghela napas kasar sembari menatap ke arah lain. Lalu kembali menatap Gavin. "Saya enggak bisa. Pagi ini saya ada interview disalah satu perusahaan."

"Kamu ingin bekerja dalam kondisi mengandung seperti ini?" tanya Gavin dengan raut wajah yang sangat berbeda dengan tadi.

"Kenapa? Ada masalah?"

Gavin menghela napasnya. "Jelas ada. Ibu hamil tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang akan membuatnya kelelahan, dan bekerja disebuah perusahaan itu adalah hal yang sangat melelahkan Amara."

"Saya tau itu, Dok. Saya tau bekerja akan mempengaruhi kehamilan saya. Tapi, saya tidak mungkin hanya berdiam diri di rumah ketika saya membutuhkan banyak uang untuk biaya persalinan."

"Untuk biaya persalinan? Saya pikir kamu tidak perlu bekerja. Untuk biaya persalinan biarkan saya yang menanggungnya."

Amara tersenyum miring. Sedikit terkekeh tepat setelah Gavin selesai berbicara, dan jelas hal itu membuat Gavin langsung mengerutkan kening karena bingung.

"Kamu ingin membuat saya memiliki hutang budi kepadamu?" Amara kembali menatap Gavin dengan wajah datar. "Saya tau bagaimana pria sepertimu, Dok. Kamu melakukan ini karna ingin mengenal saya lebih jauh, kan? Tapi saya harap, kamu bisa berhenti melakukan itu. Karena saya tidak akan pernah terkecoh dengan semua ucapan manis yang kamu ucapkan."

Gavin terpaku. Dia tidak merasa tersinggung sama sekali dengan ucapan Amara. Melainkan rasa yang sangat sulit didefinisikan, lah yang saat ini ada di kepalanya.

"Dan satu hal lagi. Ini hidup saya. Apapun yang akan saya lakukan sudah saya pikirkan matang-matang. Jadi, Dokter Gavin tidak perlu repot-repot ikut memikirkan hidup saya. Oke?" ucap Amara.

Lagi-lagi membuat Gavin tidak bisa mengatakan apapun. Hal itu membuat Amara kembali menghela napas berat.

"Saya harus segera pergi. Permisi." Amara menutup pintunya lalu menguncinya.

Namun, ketika dia hendak melangkah setelah melewati Gavin suara pria itu kembali menghentikan langkahnya.

"Biar saya antar ya," ucap Gavin setelah berdiri tepat di depan Amara. "Saya minta maaf atas ucapan saya tadi. Jadi, biar saya antar kamu sebagai permintaan maaf saya."

"Tidak perlu saya bisa naik angkot."

"Pagi-pagi seperti ini pasti banyak angkot yang penuh. Apa kamu mau terlambat hanya karena harus menghabiskan waktu untuk menunggu angkot?"

Apa yang Gavin katakan berhasil membuat Amara terdiam. Benar. Ini waktunya orang-orang di kota besar memulai aktivitas mereka.

"Bagaimana?" tanya Gavin membuat kesadaran Amara kembali.

Amara diam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Yasudah."

Gavin tersenyum kecil. Lalu mempersilahkan Amara untuk berjalan lebih dulu. Keduanya melangkah bersama menuju mobil Gavin yang terparkir di depan rumah Sumiyati.

***

"Bagaimana, Pak? Apa saya bisa bekerja di sini?" tanya Amara setelah beberapa menit terlewatkan ketika HRD memeriksa data dirinya.

Pria itu mengadahkan wajah. Menatap Amara yang tengah tampak was-was menunggu hasil.

"Dari apa yang saya dapatkan. Sepertinya kamu pantas bekerja di sini. Karena kamu juga lulusan terbaik dari fakultas manajemen bisnis di kampus terbaik di Negeri ini. Dan hal itu jelas membuat kami sulit jika harus menolak kesempatan untuk mendapatkan karyawan yang begitu baik sepertimu--"

Apa yang pria itu katakan membuat senyuman Amara mengembang. Bibirnya tertarik membentuk senyuman.

"--Kami juga memiliki jabatan yang cocok untuk anda, Nona. Akan tetapi yang menjadi permasalahan. Dalam kondisi mengandung seperti ini apa anda bisa bekerja dengan baik?" tanya pria itu.

"Meskipun dalam kondisi mengandung saya akan bekerja dengan baik, Pak. Saya tidak akan pernah mengecewakan Bapak dan perusahaan ini. Saya akan bekerja semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Saya bisa menjanjikan itu pada, Bapak dan saya harap Bapak bisa mempercayainya," ucap Amara berusaha meyakinkan.

Karena jelas. Dia tidak ingin ditolak lagi. Sudah cukup banyak lamarannya yang ditolak oleh perusahaan yang sepertinya diperintahkan sang Ayah untuk tidak mempekerjakan dirinya.

Sedangkan perusahaan yang Amara datangi saat ini adalah perusahaan terbesar di Negeri ini. Sudah banyak cabang perusahaan ini yang tersebar di Negara-negara besar yang ada di dunia.

Amara yakin. Perusahaan seperti ini tidak akan pernah bisa disuruh-suruh oleh sang Ayah yang menjabat sebagai pemegang perusahaan terbesar keempat.

Pria itu diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata. "Saya harap apa yang kamu katakan akan kamu tepati. Karena itu. Kami menerima anda di perusahaan ini."

Pria itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum dan tentu membuat Amara langsung menyambutnya dengan senyuman dan rasa bahagia yang tak bisa diukur oleh apapun.

"Selamat bergabung dengan PT Aditama."

"Terimakasih, Pak," ucap Amara.

Jabatan itu dilepas dengan senyuman yang masih tak kunjung menghilang dari wajah Amara. Wanita itu benar-benar bahagia.

Setelah beberapa kali ditolak akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di tempat yang terkenal kuat. Perusahaan kuat yang dikabarkan dipimpin oleh pria muda nan pintar.

Entah siapa dia. Tapi Amara benar-benar sangat berterimakasih padanya karena telah membuat perusahaan hebat yang tak bisa di perintah-perintah oleh sang Ayah.

"Kamu bisa langsung bekerja besok. Datang sesuai aturan dan nanti saya sendiri yang akan menunjukan dimana ruangan kamu."

"Baik, Pak," timpal Amara.

"Dan satu hal lagi. Surat kontraknya juga akan saya berikan besok ya."