Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 13 - Niatan Untuk Membantu

Chapter 13 - Niatan Untuk Membantu

"Jika Pak Dokter tidak keberatan bisakah kamu duduk di rumah saya terlebih dahulu? Saya ingin berbicara dahulu dengan Amara setelah itu saya akan menjelaskan kenapa Amara bisa seperti itu. Agar Dokter bisa mengerti keadaannya," jelas Sumiyati.

Gavin diam untuk beberapa saat lalu tersenyum tipis sambil mengangguk kecil. "Baiklah. Saya akan menungu. Karena saya juga ingin tahu kenapa bisa wanita itu bersikap demikian padahal perkataan saya jelas-jelas tidak berdasar niatan buruk," ucap Gavin.

"Karena itu saya ingin menjelaskannya pada Dokter agar Dokter bisa mengerti dan mungkin bisa membantu menyembuhkan sikis Amara."

Gavin hanya mengangguk-angguk kecil. Sepertinya memang kondisi yang dialami Amara ini sangat serius. Sehingga membuat Sumiyati merasa Gavin bisa membantu Amara.

****

Gavin terdiam. Merenungi cerita Sumiyati yang saat ini masih berlanjut. Ternyata. Alasan mengapa Amara terlihat marah saat Gavin berbicara jelas mempunyai alasan yang tertentu.

Gavin bisa mengerti. Kalau Amara bersikap demikian karena ada luka yang terpendam dalam hatinya. Jelas Gavin sangat menyesali apa yang telah dia ucapkan pada Amara.

Karena bagaimana pun. Kondisi mental setiap orang itu berbeda tidak ada yang sama. Ada yang kuat dan ada yang lemah. Mungkin Amara mempunyai mental yang tidak kuat.

Hal itu membuat ia sangat tertekan dengan masalahnya. Sehingga membuat dirinya mudah sekali marah saat ada yang bersangkutan dengan rasa masalah yang dia hadapi.

"Begitulah, Dok. Saya harap Dokter bisa paham dan mengerti. Mengapa Amara bisa memberi respon seperti itu pada Dokter," ucap Sumiyati mengakhiri ceritanya.

"Tentu saya bisa mengerti, Bu. Seseorang yang sedang di hadapkan pada sebuah permasalahan. Sangat wajar jika memberi respon seperti itu saat di tanya yang bersangkutan dengan masalahnya." Ada jeda di sana.

"Saya akan membantu Nona Amara agar bisa menerima segala hal yang telah menimpa dirinya. Itu pun jika Ibu Sumiyati mengizinkan," ucap Gavin sopan.

Semoga saja niatannya ini tidak dicampur dengan niatan terselubung. Hanya untuk mengenal lebih jauh seorang Amara dan dekat dengannya.

Sumiyati tersenyum. "Tentu saya akan mengizinkannya, Dok. Saya tidak mungkin menolak niat baikĀ  Dokter Gavin ini," ucap Sumiyati terdengar semangat.

Gavin tersenyum. Menunjukan rentetan gigi putih yang berjejer rapih. "Terimakasih dan ... Ibu tidak perlu memanggil saya Dokter Gavin. Panggil saya Gavin saja, Bu. Karena panggilan Dokter hanya berlaku saat saya sedang bekerja saja," ucap Gavin lalu kembali tersenyum.

Sumiyati juga ikut tersenyum. "Baiklah. Senang bisa mengenalmu."

"Saya juga, Bu. Perkenalan saya dengan Ibu juga Amara akan memberikan saya banyak pelajaran baru dalam hidup ini."

Sumiyati tersenyum lembut. Tidak mengira. Selain tampan, berpendidikan juga kaya. Gavin juga ternyata memiliki hati dan pikiran yang sangat baik.

***

Amara duduk bersandar di teras rumah. Keheningan malam seakan membuat pikirannya ikut tenang. Setidaknya, saat ini dia juga bisa berpikir jernih di tengah pekatnya malam.

Tidak seperti saat siang hari. Udara panas dan omongan orang tentang Amara membuat Amara sulit berpikir jernih. Sehingga mudah sekali salah menyikapi sesuatu. Seperti tadi siang.

"Aku merindukan kalian, Ma, Pa," gumam Amara.

Tentu ada kerinduan yang tersimpan dihati. Apalagi untuk dua sosok yang sangat dia cintai dalam hidup ini. Meskipun mereka telah membohongi Amara. Tapi mereka tetaplah orang tua Amara.

"Jika saja Mama dan Papa tidak melakukan ini padaku. Hal ini tidak akan terjadi."

Dia memejamkan mata diikuti air mata yang juga ikut menetes. Hatinya memang sangat sesak namun rasa rindu yang ada saat ini seakan menggantikan rasa sesak karena benci menjadi sesak karena rasa rindu.

****

"Selamat pagi, Nek," sapa Amara dengan senyuman.

Yang di sapa tersenyum sambil mengerutkan kening. Saat melihat Amara datang dengan sebuah mangkuk di tangannya. Apalagi senyuman yang terukir dipipinya membuat Amara terlihat seperti sedang sangat bahagia.

"Apa ini?"

Amara menaruh mangkuk itu di meja lalu menatap Nenek Sumiyati. "Ini bubur buatanku. Tadi, aku mencoba membuat bubur ayam agar nanti setelah bayiku lahir dan tumbuh besar aku tidak perlu membeli bubur untuk makannya," jelas Amara.

'Ada apa dengan Amara? Apakah dia sudah mulai menerima semua hal yang telah terjadi padanya?' pikir Sumiyati. Namun, tetap menunjukan senyuman di depan Amara.

"Sini Nek, duduk." Amara menarik tangan Sumiyati lembut.

Menuntunnya untuk duduk dikursi teras agar wanita itu dapat mencicipi bubur buatannya. Meera memberikan mangkuk pada Sumiyati.

"Cicipi," pinta Amara lalu berdiri tegak dengan senyuman.

Amara bersikap seakan sedang berkompetisi saja. Membuat Sumiyati harus menahan tawa karena melihat tingkah Amara.

Sumiyati memasukan sesendok bubur kedalam mulut. "Emm ..." Sumiyati menatap Amara exaitid.

"Ini sangatlah enak, Amara. Baru pertama kali kamu membuat ini juga sudah sangat enak. Nenek jamin. Anakmu nanti tidak akan meminta untuk membeli bubur dari orang lain."

"Seriously?"

Sumiyati mengangguk mengiyakan. Amara memintanya untuk berdiri lalu memeluk Sumiyati dengan erat.

"Sungguh, Nek. Aku tidak pernah memasak sebelumnya. Karena itu aku sangat senang saat masakan pertamaku di anggap enak," ucap Amara sambil mempererat pelukannya.

"Itu semua karena kamu adalah gadis yang sangat pandai. Bisa memahami sesuatu dengan cepat," ucap Sumiyati lalu melepaskan pelukan Amara dan menatap hangat.

Keduanya saling menatap dengan senyuman. Bahkan, jika ada oang lain yang melihat ini mereka tidak akan mengira jika mereka tidak mempunyai hubungan apapun.

"Terus seperti ini ya. Jadi Amara yang ceria, positif juga semangat. Terima masa lalumu karena itu adalah kunci agar kamu dapat bahagia di masa depan," ucap Sumiyati penuh kehangatan.

"Selamat pagi."

Amara membalikan badan saat suara tegas milik seseorang tiba-tiba terdengar. Senyuman Amara hilang saat melihat manusia yang kemarin bermasalah dengannya berdiri tepat di depannya.

Gavin. Jika bukan dia siapa lagi orangnya. Pria itu kini tengah memamerkan senyuman tampannya sambil menatap kedua wanita yang berbeda usia itu.

"Selamat pagi, Bu Sum, Amara," sapa Gavin ramah.

"Selamat pagi!" jawab keduanya kompak.

"Silahkan masuk, Nak Gavin."

Gavin hanya mengangguk lalu masuk dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki oleh Sumiyati. Diikuti Sumiyati yang juga ikut duduk di kursi satunya.

"Nak Gavin mau beli sarapan kemari?" tanya Sumiyati basa-basi.

Padahal dia sudah tahu tujuan Gavin datang kemari adalah untuk menemui Amara. Sumiyati sengaja bersikap seperti ini karena dia tidak mau Amara marah padanya. Karena walau bagaimana pun Amara masih menyimpan rasa marah untuk Gavin.

"Tidak, Bu. Tujuan saya datang kemari bukan untuk itu tetapi untuk menemui Amara."

"Untuk apa kamu ingin menemui saya?"

Suara Amara membuat Gavin dan Sumiyati langsung mengalihkan tatapan pada wanita yang saat ini menatap Gavin dengan tajam.