Amara datang ke pos yandu dengan perasaan cemas. Dengan tangan yang terus dicekal erat oleh Sumiyay keduanya masuk ke dalam ruangan yang sudah di penuhi wanita yang sedang hamil.
Keduanya langsung disambut dengan tatapan tajam. Bukan hanya tatapan tajam tapi juga ada orang yang mulai berbisik membicarakan Amara dengan mata yang tak lepas memandang Amara sinis.
"Duduk." Sumiyati menuntun Amara untuk duduk lalu ikut duduk di samping wanita yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri.
Sumiyati memegang tangan Amara. Membuat wanita yang sedang mengedarkan pandangan pada Ibu-ibu yang sedang membicarakannya mengalihkan tatapan pada wanita di sampingnya.
"Tidak perlu di dengarkan. Biarkan mereka membicarakanmu. Lagipula meskipun mereka membicarakan dirimu itu tidak akan membuat kamu rugi," ucap Sumiyati membuat Amara lagi-lagi merasa tenang dibuatnya.
Amara hanya membalas dengan senyuman. Lalu kembali diam tanpa raut wajah merasa terganggu sedikitpun sambil menunggu gilirannya untuk masuk ke ruang dokter.
Setelah berlama-lama duduk bersama wanita-wanita tukang gosip akhirnya nama Amara dipanggil. Dengan cepat Amara bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam ruangan itu.
Bukan semata-mata hanya untuk diperiksa. Tapi juga untuk menghindari omongan wanita yang terus membicarakan dirinya.
Memang benar apa yang di katakan orang banyak. Musuh wanita yang sebenarnya adalah wanita lainnya.
Amara duduk di depan Dokter yang sedang menulis itu perlahan. Dia kira yang akan memeriksa itu Dokter wanita tapi ternyata pria.
"Siapa namamu?" tanya Dokter itu sambil terus menulis.
"Amara Maharani," jawab Amara.
Dokter itu menaruh pulpennya di meja sambil mengadahkan wajah. Namun, dia diam beberapa saat ketika melihat wanita yang saat ini duduk di depannya.
'Cantik sekali,' batinnya bergumam.
"Ada apa, Dok?" tanya Amara saat menyadari kalau sedari tadi terus diperhatikan.
"Ada yang salah dengan wajah saya? Padahal saya tidak memakai apapun. Jadi apa yang salah?" tanya Amara sedikit sinis.
Karena setelah dikhianati oleh Raza. Hatinya terasa mati jika melihat pria. Walau pria itu setampan Dokter ini tapi tetap saja. Amara tidak merasakan apapun.
Dokter itu memejamkan mata sambil tersenyum. "Tidak-tidak." Dia kembali menatap Amara. "Tidak ada yang salah, Nona. Hanya saja saya merasa heran. Ada wanita semuda Nona yang sudah hamil," ucap Dokter itu.
Dia tidak tahu. Bahwa perkataannya bukan akan membuat Amara merasa tersipu tapi malah merasa kesal.
"Kenapa? Dokter juga mengira bahwa saya hamil di luar nikah begitu? Anak saya tidak ada ayahnya dan akan menganggap saya wanita murahan?"
Pria itu tertegun kaget. Ada apa dengan wanita ini? Apa perkataannya tadi salah?
Amara membuang napas kasar lalu beranjak dari duduknya. "Seharusnya Dokter tidak perlu mengambil provesi ini. Jika Dokter hanya ingin berkata seperti ini pada pasienmu," ucap Amara lalu berbalik dan keluar dari ruangan itu kesal tanpa permisi.
Dia terlanjur kesal saat pria itu berkata seperti tadi. Rasanya seperti ada sebuah benda yang menusuk hatinya.
Pria itu bangkit dari duduknya. Menatap pintu yang sudah tertutup setelah di banting kencang oleh wanita tadi.
"Apa perkataanku tadi membuat dia merasa sakit hati? Tapi kenapa?" tanyanya pada dirinya sendiri bingung.
***
"Amara."
Sumiyati mempercepat langkahnya mengejar Amara yang berjalan semakin cepat di depannya dengan kekesalan yang menggemuruh dalam dada.
"Tunggu." Sumiyati menarik tangan Meera membuat wanita itu berhenti dan menghadapnya. "Kamu ini kenapa? Kenapa setelah keluar dari ruangan Dokter kamu langsung pergi begitu saja? Dengan raut wajah seperti ini lagi?" tanya Sumiyati bingung.
Saat ini, mereka sudah jauh dari pos yandu. Hingga membuat Amara tidak perlu berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Untuk apa aku di sana, Nek." Amara mengalihkan tatapan ke arah lain. "Orang-orang hanya bisa mempertanyakan kesucianku termasuk Dokter itu," ucap Amara melanjutkan ucapannya.
"Maksudmu?" tanya Sumiyati semakin bingung.
Amara kembali menatap Sumiyati. "Tadi Dokter itu bilang--"
'Hanya saja saya merasa heran. Ada wanita semuda Nona yang sudah hamil.'
"--Bukan hanya wanita disana yang mempetanyakan kesucianku tapi juga Dokter yang baru bertemu denganku tadi, Nek." Amara mengalihkan tatapan dengan kesal. "Seakan-akan mereka sudah mengenalku sudah sejak lama."
Sumiyati menghela napas lalu tersenyum sambil merangkul bahu Amara. "Sudah ya. Tidak perlu di ingat-ingat. Jika kamu tidak mau kembali kesana. Nenek juga tidak akan memaksa. Kita pulang ya," ajak Sumiyati lembut.
Amara membuang napasnya lalu memaksa bibirnya untuk tersenyum tipis. Sebagai jawaban atas ajakan Nenek Sumiyati tadi.
****
Gavin Nathanio. Nama dari Dokter yang tadi mengatakan sesuatu yang berhasil membuat hati Amara tergores lagi.
Namun, kejadian tadi membuat Gavin terus dibayang-bayangi oleh wajah dan ucapan kesal dari wanita yang menurutnya kelewat cantik itu.
Gavin diam di ruanganya dengan punggung yang bersandar ke kursi kerja namun pikiran terus teringat kepada ucapan wanita yang ditemuinya tadi.
"Selamat siang, Dok."
Suara suster yang bertugas bersamanya terdengar membuat Gavin langsung menegakan tubuhnya. Menatap Suster yang di tugaskan bersamanya itu.
"Hari ini tidak ada pasien lagi. Jika Dokter ingin langsung pergi ke rumah yang sudah disiapkan saya mengantar Dokter," ucap Suster itu.
Ya, Gavin adalah Dokter yang ditugaskan pemerintah untuk mendatangi kampung-kampung di kota itu untuk melihat bagaimana cara hidup sehat yang di lakukan masyarakat di sana. Terutama pada Ibu hamil.
"Tidak. Saya ingin pergi suatu tempat terlebih dahulu," ucap Gavin.
"Kemana, Dok? Apa dokter ingin melihat-lihat kampung ini terlebih dahulu?" tanya Suster itu heran.
Karena tidak biasanya seorang Gavin ingin pergi setelah menyelesaikan tugas di kampung yang sudah jelas banyak kotorannya.
"Emm, tidak. Saya boleh tahu dimana alamat pasien yang bernama Amara Maharani?"
Dengan cepat Suster itu mengangguk. Dia segera mencari nama Amara dipapan yang ada di tangannya.
"Menurut KTP miliknya Ibu Amara tinggal di perumahan elit di daerah Jakarta Utara, Dok. Tapi setahu saya dari Ibu-ibu yang tadi ada disini. Dia tinggal di rumah Nenek Sumiyati sebagai penyewa rumahnya," jelas Suster itu.
Gavin mengangguk-angguk paham. Namun, suara Suster itu kembali membuat dirinya menatap wanita itu.
"Apa Dokter ingin jika saya antar ke sana?" Suster itu menawarkan diri.
"Tidak perlu saya bisa mencari rumah itu sendiri. Jika kamu ingin pergi lebih dulu ke penginapan, pergilah. Saya akan pergi ke penginapan nanti sendiri," ucap Gavin lalu tersenyum tipis.
"Baiklah, Dok."
Gavin kembali diam. Dia harap setelah meluruskan ucapannya tadi pada Amara pikirannya juga akan kembali tenang seperti sedia kala.
Karena sungguh. Wajah Amara yang terlihat kesal dan ucapannya tadi membuat dirinya merasa terbayang-bayangi terus menerus.