Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 9 - Ingin Menggugurkan Kandungan

Chapter 9 - Ingin Menggugurkan Kandungan

Amara melempar tasnya ke sembarang arah. Rasa semangat yang semalam dibangkitkan oleh Nenek Sumiyati seakan hilang begitu saja. Dia mengacak rambutnya prustasi sambil mendudukan diri di atas kasur.

Ingatan saat Amara mengetahui tentang kebohongan Raza dan kedua orang tuanya seakan muncul kembali dan hal itu benar-benar sangat menyesakan hati.

Rasa letih, sakit dan tertekan seakan bercampur menjadi satu dalam diri. Membuat Amara terus saja menunduk dengan air mata yang terus menetes deras.

Prengg!

Amara melempar pas bunga yang ada di nakas ke lantai dengan napas memburu akibat menahan amarah dalam dada.

"Kenapa! Kenapa Tuhan harus menghadirkan Raza dalam hidupku! Jika saja dia tidak hadir maka hidupku akan baik-baik saja!" jerit Amara protes pada Tuhanya diikuti isakan tangisnya.

Teriakannya ini juga yang membuat Nenek Sumiyati yang kebetulan ingin mendatangi Amara. Langsung berlari dan membuka pintu kamar Amara dengan cemas.

"Amara." Sumiyati mendekat pada Amara lalu memeluk wanita yang penampilannya sudah acak-acakan hangat.

Membiarkan Amara untuk menangis dalam pelukannya. Saat ini, suara tangisan Amara terdengar sampai ruang tamu rumah yang tak luas itu. Sumiyati tahu. Seseorang yang sedang dilanda masalah akan sulit mengontrol emosinya.

Apalagi jika orang itu sedang hamil. Maka akan lebih buruk dari orang yang biasanya. Karena wanita yang sedang hamil hormonnya dapat naik turun. Sama halnya dengan Meera saat ini.

Sumiyati mengelus punggung Amara lembut. Mata Sumiyati terhenti pada amplop lamaran yang tergeletak di lantai.

Tidak butuh waktu lama. Bagi Sumiyati untuk memahami semuanya. Dia melepaskan pelukannya dan menatap Amara hangat sambil menghapus air mata wanita di depannya.

"Jangan seperti ini. Kemana perginya semangat yang telah aku berikan kepadamu? Hilang begitu saja? Jangan seperti ini, Raa. Kamu harus tetap menjadi wanita yang kuat."

"Kenapa mereka tidak menerima lamaranku, Nek. Hanya karena aku sedang hamil mereka menolak mentah-mentah lamaranku bahkan ada yang berniat memberikan aku sumbangan hanya karena merasa kasihan."

"Seumur hidup aku tidak pernah di kasihani oleh orang lain dan sekarang. Orang lain mulai mengkasihani aku. Nenek tahu bagaimana rasanya sungguh menyakitkan," ujar Amara lalu menatap perut buncitnya dengan tatapan tajam.

"Ini semua gara-gara dia. Jika saja dia tidak ada dalam diriku maka akan jauh lebih mudah bagiku mendapatkan pekerjaan," ucap Amara kesal pada bayi yang sama sekali belum lahir itu.

Membuat Nenek Sumiyati harus menahan tangan Amara saat wanita itu berniat memukul perutnya sendiri berniat menggugurkan kandungannya.

"Lepaskan! Lepaskan aku, Nek! Biarkan aku mengakhiri hidup anak dari Raza ini!" ujar Amara sambil terus menarik tangannya dari Sulasih.

"Tidak! Aku tidak akan pernah membiarkanmu membunuh bayimu sendiri!" tegas Nenek Sumiyati sambil mempererat tangannya.

"Lepaskan!" Amara masih terus menarik tangannya sambil terus menatap perutnya sendiri tajam.

Tidak disangka cekalan yang di lakukan wanita tua di depannya sangatlah kuat. Meski tangannya sudah menunjukan urat-uarat yang mulai terlihat tapi cekalan yang di lakukannya hampir mirip dengan cekalan seorang pria.

"Sadar Amara!" Nenek Sumiyati melepaskan cekalannya beralih memegang bahu Amara. "Sadar! Anak yang ada dalam kandunganmu bukan hanya anaknya Raza tapi juga anakmu."

Lagi-lagi Amara merasakan rasa sakit dalam hati. Pikirannya terbuka kembali saat wanita tua itu berkata. Matanya kembali menangis membuat tangannya menumpu wajah dan menangis terisak-isak.

"Apa yang kamu pikirkan Amara? Nenek tahu kamu sedang tertekan tapi jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup anakmu sendiri."

"Anak yang ada dalam kandunganmu adalah sebuah anugerah. Anak yang tidak kamu inginkan adalah harapan bagi setiap wanita yang mandul. Kamu tahu itu? Jadi syukuri apa yang kamu miliki saat ini," lanjut Nenek Sumiyati sambil terus menahan air mata agar tidak menetes di depan Amara.

Tangisan Amara semakin menjadi-jadi. Hatinya menyesali apa yang dilakukannya tadi tapi pikirannya masih terasa tertekan karena kondisi yang menyakitkan ini.

Membuat Sumiyati yang mulai tidak tahan melihat Amara menangis langsung menenggelamkan wanita itu dalam pelukannya.

"Setelah ini. Tidak perlu mencari pekerjaan diluar lagi. Kamu bantu saja Nenek mengurus warung. Nenek tidak mau melihat dirimu seperti ini hanya karena mendengar perkataan orang," ucapnya.

Amara melepaskan pelukannya. Menatap Sumiyati dengan mata sembabnya. Dengan isakan dia mulai berkata. "Kenapa Nenek melakukan semua ini untukku? Kamu bukanlah siapa-siapaku. Tapi kenapa kamu begitu baik kepadaku?"

"Saat semua orang berpikir negatif tentangku. Kenapa Nenek tidak melakukan hal yang sama? Kenapa Nek? Apakah kamu melakukan ini karena kasihan?" tanya Amara.

Ruangan itu hening untuk beberapa saat. Keduanya sama-sama dian saat Amara selesai mengajukan pertanyaan.

Sumiyati menghela napasnya. "Bukan karena kasihan. Tapi karena aku juga pernah mengalami hal yang sama seperti dirimu. Bedanya, kondisiku saat itu lebih buruk darimu," ucap Sumiyati

Membuat Amara repleks berhenti menangis karena merasa heran dengan isakan yang masih terdengar Amara kembali berkata. "Ma-Maksudnya?"

Sumiyati diam lagi. Tangannya melepaskan cekalannya dari tangan Amara dan duduk lurus kedepan. Bayangan masa lalu yang sudah dilupakannya selama bertahun-tahun kini hadir kembali.

Dia a mengalihkan tatapan pada Amara yang saat ini menatapnya dengan mata sembab. Rasa ingin menyadarkan wanita ini hadir dalam hatinya.

Membuat bibirnya kembali terbuka kembali untuk menceritakan masa lalu yang sangat menyakitkan sambil menatap lurus ke depan.

"Delapan belas tahun lalu. Tepatnya saat usiaku masih tiga puluh sembilan tahun aku masih tinggal bersama suamiku yang umurnya hanya berbeda satu tahun dariku.

Sudah hampir lima tahun kami bersama tapi Tuhan tak kunjung memberikan kami keturunan dan hal ini membuat keluarga suamiku merasa takut. Keluarga mereka tidak akan punya pewaris.

Setelah itu. Aku dan suamiku memutuskan untuk check ke dokter. Dokter bilang kalau aku tidak bisa mempunyai anak karena aku mandul.

Suamiku marah besar karena enantiannya selama ini ternyata sia-sia, di hari yang sama aku di usir keluar olehnya dan kedua orang tuanya." Sumiyati menundukan wajah sambil menghela napas.

Amara yang melihat Sumiyati seperti ini merasa tidak enak. Karena sudah membuka luka Sumiyati yang sudah sembuh. Amara menghapus air matanya sendiri lalu memegang tangan Nenek tua itu iba.

"Sudah, Nek. Tidak perlu di lanjutkan."

Sumiyati tersenyum tipis lalu kembali menatap kedepan. "Luka ini terlanjur terbuka. Walaupun aku berhenti bercerita rasa sakit ini akan tetap ada." Sumiyati mengalihkan tatapan kembali pada Amara. "Nenek harap. Setelah kamu mendengar cerita ini, kamu bisa tersadar."

Amara semakin merasa tidak enak hati. Ternyata bukan hanya dia yang mendapatkan rasa sakit di dunia ini tapi juga ada orang lain.

Salah satunya adalah Sumiyati. Wanita tua yang saat ini duduk menatap ke depan dengan tatapan kosong.