Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 5 - Kebenaran Perihal Pengkhianatan

Chapter 5 - Kebenaran Perihal Pengkhianatan

"Kamu ini amnesia atau bagaimana, hah." Amara menghela napas kasar. "Baiklah. Aku akan mengingatkanmu akan tujuanmu menikahiku."

"Tujuanku menikahimu adalah untuk mendapatkan cintamu. Apalagi selain itu."

Tangan Amara sudah terasa gatal untuk menampar pipi laki-laki penipu di depannya, yang saat ini sedang berdrama di depan orang tuanya. Namun, rasanya percuma. Itu hanya akan mengotori tangannya saja.

"Kamu ini telah melakukan kecurangan untuk mendapatkan kekayaan keluargaku. Saya sudah mengetahui semuanya. Kamu ini tidak mempunyai satu perusahaanpun apalagi sampai mempunyai perusahaan di Jerman dan pernikahan kita itu tidak tercatat dalam Negara. Karena kamu masih mempunyai seorang istri yang bernama Jessica dan dia tadi datang kemari untuk menghinaku habis-habisan. Jadi sekarang tidak perlu melakukan drama di depan saya juga keluarga saya," ungkap Amara, menjelaskan segalanya dengan sangat rinci.

"Jessica?" Raza berkata tanpa rasa gugup sama sekali. "Jessica hanyalah wanita yang terobsesi padaku, Raa. Dia ingin pernikahan kita hancur jadi dia mengaku-ngaku sebagai istriku."

Jawaban Raza membuat Amara menyunggingkan senyuman malas. "Bagaimana bisa saya mempercayai ucapanmu."

"Mungkin apa yang Raza katakan itu benar." Lidia kini bersuara dan mendekat pada keduanya. "Apalagi Raza adalah pria yang mempunyai harta yang berlimpah jadi banyak wanita yang ingin menjadi istrinya. Seharusnya kamu mengerti. Tidak perlu sampai memfitnah suamimu seperti ini."

"Ya. Itu benar, Ra. Papa juga sama seperti Raza tapi Mama kamu bisa mengerti itu tidak seperti kamu yang bertindak di luar batas," ucap Brama membuat Amara menatapnya.

Anak kandung Lidia dan Brama ini sebenarnya Amara atau Raza. Mengapa dia lebih mempercayai Raza dibanding putrinya sendiri.

"Kamu dengar itu, Ra?" Raza mendekat dan memegang bahu istrinya. "Kamu harus percaya. Bahwa Jessica hanya mengaku-ngaku dan kamu harus percaya itu," tambah Raza.

Amara melepaskan tangan Raza dari bahunya karena merasa risih dan kembali menatap Raza tidak suka. "Tapi sayang. Saya tidak akan percaya padamu sedikitpun. Apakah Mama dan Papa ingin melihat bukti yang ku bawa agar kalian dapat mempercayaiku?"

Bukti. Raza diam membisu tak tenang. Saat Amara berkata. Lain hal dengan Brama dan Lidia, mereka saling menatap tanpa ekspresi. Amara merogoh tasnya lalu mengulurkan dua buku yang di tinggalkan Jessica di meja.

"Ini adalah buku nikah laki-laki ini dengan wanita yang bernama Jessica," ucap Amara ia sekilas menatap Raza yang kini sedang diam tanpa ekspresi dengan senyuman puas.

Kali ini Raza tidak akan bisa mengelak lagi dan kedua orang tua Amara juga akan mempercayai ucapan Amara. Namun, realita tidak seindah ekspetasi. Dengan kesal, Lidia mengambil buku itu lalu melemparnya ke tong sampah.

Hal itu tentu membuat Amara bingung tak mengerti. "Apa yang Mama lakukan? Kenapa Mama membuangnya? Itu adalah bukti bahwa apa yang aku ucapkan itu benar adanya."

Lidia berdiri tepat di depan Amara. Menatap Amara tajam. "Sudah. Cukup! Sudah cukup kamu bersikap seperti ini. Mama dan Papa tidak akan pernah mempercayaimu meskipun kamu menunjukan buku itu."

"Tapi buku nikah itu benar, Ma. Wanita itu yang membawanya kemari dan aku juga sudah mengeceknya dan ternyata benar. Buku nikah itu valid dan buku nikahku yang palsu."

"Amara!" bentak Brama. "Jaga sikapmu itu! Jangan sampai Papa mengangkat tangan Papa padamu. Mengerti!"

Air mata Amara sudah berada dipelupuk mata. Ini pertama kali, Brama membentaknya dan itupun hanya karena Raza. Sikap Lidia dan Brama membuat Raza menyunggingkan senyuman puas.

"Karena laki-laki ini, kalian bersikap seperti ini padaku. Aku ini anak kalian bukan dia." Amara menunjuk Raza tajam lalu menghapus air matanya kasar setelah menghela napas.

"Aku ingin bercerai dengannya. Aku akan segera mengurus perceraianku dengannya di pengadilan. Karena aku tidak ingin hidup bersama laki-laki penipu sepertinya. Terserah, kalian akan percaya atau tidak terhadap ucapanku keputusanku tidak akan pernah berubah," ucap Amara lalu berlalu pergi dari hadapan mereka dengan rasa kecewa yang menggelora dalam dada.

"Amara! Jangan pernah kamu melakukan itu! Karena Mama dan Papa tidak akan pernah menyetujui keputusanmu!" teriak Lidia membuat langkah Amara terhenti dibalik tembok dengan air mata yang terus menetes, baru saja ingin berbalik tapi suara Raza yang tiba-tiba terdengar membuat langkahnya kembali berhenti.

"Jika Amara benar-benar mengakhiri hubungan kami. Maka aku tidak akan pernah memberikan apapun pada kalian. Termasuk anak perusahaanku yang ada di Jerman. Kalian tahu betul bagaimana aku, aku tidak pernah main-main dengan ancamanku."

Suara Lidia menimpali. "Saya akan menjamin. Amara tidak akan melakukan itu. Karena saya tahu kalau dia tidak akan pernah menolak permintaan kami."

Tak lama suara juga ikut terdengar. "Ya. Kami tidak akan pernah membiarkan hubungan kalian berakhir. Meski kami tahu kalau kamu sudah mempunyai istri sebelumnya tapi kami akan tetap berusaha meyakinkan Amara bahwa itu tidaklah benar. Saya minta jangan batalkan perjanjian kita."

Kaki Amara seakan tidak bisa berpijak ke lantai. Ini kebenarannya. Ini alasan mengapa sedari tadi Brama dan Lidia tidak mempercayai ucapan Amara. Karena mereka sudah mengetahui hal ini sejak awal.

Saat ini Amara juga tahu. Kalau alasan orang tuanya memaksanya menikah dengan Raza bukan karena ingin membuat hidup Amara menjadi baik. Tapi karena mereka di janjikan sebuah harta oleh Raza. Meski Amara tahu bahwa janji-janji Raza tidak akan terjadi, tapi rasa ingin melepaskan keluarganya dari penipu itu tiba-tiba berganti menjadi rasa kecewa. Karena pengkhianatan orang tuanya ini membuat Amara sangat tersakiti.

Amara membekap mulutnya sendiri agar tangisan kekecewaan itu tidak terdengar oleh mereka. Hancur. Dunianya terasa hancur saat ini.

Orang tua yang selalu mendukungnya ternyata kini berkhianat. Mereka rela menukarkan putri mereka dengan harta dan itupun tanpa mencari tahu kebenaran tentang pria yang dinikahkan dengan putri mereka. Tidak bisa di percata.

Dia berlari menuju kamar dengan isak tangis di saksikan para pelayan yang melihatnya dengan tatapan iba.

***

Setelah memasukan semua barang-barangnya kedalam koper. Amara langsung turun ke lantai bawah. Membuat Lidia, Brama dan Raza yang sedang duduk di ruang tamu berdiri.

"Kamu mau pergi kemana?" tanya Raza setelah berdiri tepat di depan Amara.

"Menyingkir dari hadapanku." Amara melewati Raza dengan mata yang sudah sembab.

"Jangan pernah kamu berani meninggalkan rumah ini, Amara. Karena itu akan berakibat buruk pada kehidupanmu."

Langkah Amara terhenti saat Brama berkata. Dengan suara bergetar Amara menimpali. "Hidupku akan lebih buruk. Jika aku terus tinggal bersama para pengkhianat seperti kalian."

Brama dan Lidia bangkit dari duduk mereka saat putri mereka itu berkata. "Pengkhianat? Dimana etika yang sudah kami ajarkan saat kamu mengatakan kalau orang tuamu ini pengkhianat?" tanya Lidia tidak terima.