Chereads / Pernikahanku Gagal Dua Kali, Sir! / Chapter 7 - Tuduhan Dari Tetangga

Chapter 7 - Tuduhan Dari Tetangga

Dia mendudukan dirinya di kasur yang hanya cukup ditiduri satu orang sambil menghela napas berat. Matanya terus memperhatikan setiap sudut kamar itu pasrah. Tidak ada pilihan lain selain tinggal di tempat ini.

Amara mengelus perut yang sudah membuncit dengan tatapan sendu. "Maafkan Mommy, Nak. Mommy harus membawamu untuk tinggal di tempat ini. Doakan Mommy ya. Semoga bisa menjadi Ibu sekaligus ayah yang baik untukmu," gumamnya lalu tersenyum tipis.

Amara bangkit dengan lemas. Menyeret kopernya untuk memasukan semua barang-barang ke dalam lemari kayu itu.

Meninggalkan segala ke glamoran yang didapatnya sedari kecil adalah pilihan paling tepat saat ini. Sedikitpun tidak ada niatan bagi Amara untuk kembali ke rumahnya. Keputusannya sudah tidak bisa dirubah lagi.

***

Saat ini, Amara seakan sudah bisa bernapas dengan tenang. Dia sudah memindahkan semua uangnya ke dalam tabungan baru. Saat Brama memblokir tabungan lamanya maka dia juga tidak akan merasa kesusahan karena tabungannya selama ini masih aman di tangannya.

Sesudah membereskan rumah barunya Amara langsung pergi untuk mengurus perceraiannya dan Raza juga tabungannya, karena Amara tidak ingin menunda urusan ini.

Amara keluar dari angkutan umum sesudah meminta si supir untuk menghentikan laju kendaraan itu. Ini pertama kali. Pertama kali Amara naik kendaraan ini. Berdempetan dengan orang-orang yang bau badannya seakan bercampur menjadi satu.

Hari sudah menjelang sore hari. Bahkan Nenek Sumiyati sudah akan membereskan warungnya yang sudah buka sejak pagi.

Baru saja sampai di depan rumah Nenek Sumiyati sesudah melewati gang-gang sempit Amara langsung mendapatkan pertanyaan. Membuat langkahnya repleks berhenti.

"Neng Amara baru pulang?" tanya Sumiyati.

Amara tersenyum tipis. "Iya, Nek."

"Sudah makan?"

Amara hanya diam membuat Nenek itu tersenyum hangat. "Nanti Nenek bawakan makanan ke kamarmu ya. Sudah sana, istirahat. Bayimu juga perlu beristirahat, kan."

Ucapan Nenek itu membuat Amara tersenyum. Lain hal dengan Ibu-ibu yang sedang menongkrong disana. Mereka saling tatap-menatap saat Sumiyati berbicara.

"Terimakasih, Nek. Kalau begitu Amara permisi." Amara tersenyum pada orang-orang yang ada di sana lalu melangkah meninggalkan mereka.

Baru saja beberapa langkah menjauh Ibu-ibu itu berkata. Membuat langkah cepat Amara berubah menjadi pelan.

"Wanita itu sedang mengandung? Tapi kenapa tidak tinggal bersama suaminya?"

"Mungkin anak yang ada dikandungannya anak haram. Mangkanya saat hamil tidak di temani suami. Bahkan tidak ada keluarga di sampingnya."

"Hmm ... Lagipula orang tua mana yang tidak akan marah jika putri mereka hamil di luar nikah. Pasti orang tua wanita itu mengusirnya."

"Benar-benar. Gadis jaman sekarang memang tidak tahu caranya menjaga diri."

"Suttt!" Nenek Sumiyati menatap mereka tajam. "Apa kalian tidak mempunyai urusan lain selain membicarakan orang? Setiap hari kerjaannya ngegosip saja."

"Lagipula Amara mempunyai suami. Dia tidak hamil di luar nikah. Dia adalah putri dari saudaraku. Jika tidak tahu hal yang sebenarnya tidak perlu sok tahu!" ucap Nenek Sumiyati membela.

Membuat mereka semua langsung diam dibuatnya padahal apa yang Nenek Sumiyati katakan tidaklah benar. Dia hanya mengarang agar orang-orang itu dapat diam.

Namun, Amara. Wanita ini merasakan ada sebuah tusukan di hati saat mendengar omongan mereka. Ternyata sakit sekali mendengar opini miring seperti ini.

Air matanya juga sudah tidak bisa ditahan. Membuat kakinya kembali melangkah dengan cepat. Masuk ke dalam rumah untuk menangis seorang diri.

***

Tok. Tok. Tok.

Cklek!

Tangan yang sudah menampakan urat-urat yang sudah terlihat itu membuka pintu secara perlahan. Karena sedari tadi di ketuk tidak kunjung ada yang membuka.

Keningnya mengerut saat kedua matanya melihat ruang tamu yang kosong. Namun, suara tangis dari kamar membuatnya langsung melangkah dan membuka pintu kamar cemas.

Dia menemukan Amara yang sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Sumiyati menaruh makanan yang dibawanya di meja lalu memegang tangan Amara setelah berjongkok.

Membuat Amara langsung mengadahkan wajah. Menampakan mata sembab juga pipi yang sudah di basahi oleh air mata.

"Tidak perlu dengarkan apa yang mereka katakan. Mereka memang seperti itu suka ikut campur dalam masalah orang lain." Sumiyati menghapus air mata yang membasahi pipi wanita itu dengan lembut.

"Tapi ... Jika kamu membutuhkan seseorang untuk di jadikan sebagai sebuah sandaran Nenek siap untuk menjadi pendengarmu. Karena Nenek tahu. Kamu tidak bisa memendam rasa sakit itu sendiri tanpa membaginya dengan orang lain," ucap Nenek Sumiyati dengan tatapan hangat.

***

"Saat ini. Rasanya hidupku sudah hancur, Nek. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain dikhianati oleh orang tua sendiri. Bahkan saat ini, aku harus membesarkan anak seorang diri. Karena bagaimana lagi. Aku juga tidak ingin hidup bersama suami penipu sepertinya," ucap Amara mengakhiri ceritanya.

Saat ini mereka sedang duduk di atas kasur. Amara menceritakan yang terjadi malam lalu dengan air mata yang terus menetes di pipi.

"Nenek tahu. Saat ini, kamu bukan hanya merasa tersakiti oleh orang tuamu tapi juga oleh suamimu. Tidak bisa dipungkiri. Mungkin kamu tidak mencintai suamimu tapi Nenek tahu ada sedikit rasa sayang di hatimu untuknya. Dan itu, membuat hatimu bertambah sakit," ujar Sumiyati sambil menatap Amara yang sedang menatap kosong ke depan.

Sumiyati memegang tangan Amara. Membuat Amara langsung mengalihkan tatapan padanya.

"Nenek tidak akan memaksamu untuk memaafkan mereka. Nenek hanya ingin mengatakan padamu. Jika seseorang memendam amarah terlalu lama untuk orang lain. Maka yang akan di dapatnya adalah sebuah rasa tak tenang. Lepaskanlah amarah itu, Nak. Cobalah memaafkan mereka karena itu akan membuatmu merasa lebih tenang menjalani kehidupan ini," ucap Sumiyati memberi solusi.

"Lalu bagaimana dengan orang-orang di luar sana, Nek?"

"Manusia tidak akan bisa terlepas dari omongan manusia lain. Kita tidak bisa membuat mulut mereka berhenti membicarakan kita. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah menenangkan diri kita sendiri."

"Jika ada orang yang membicarakanmu dan kamu mendengarnya. Katakan pada dirimu sendiri, sudahlah mereka tidak tahu apa-apa tentang diriku. Lagipula mereka juga belum tentu lebih baik dariku," lanjut Sumiyati.

Amara diam meresapi setiap perkataan Sumiyati tadi. Memang benar, jika kita sedang terpuruk cobalah meminta pendapat dari orang yang mempunyai pengalaman lebih darimu. Entah itu orang yang lebih muda darimu ataupun yang lebih tua.

Karena sejatinya. Manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain untuk men-suport diri mereka.

Sumiyati mengelus tangan Amara membuat wanita itu kembali menatapnya. "Tetap kuat. Jangan menyerah. Kamu akan menjadi seorang Ibu. Bangkit dan tetap kuat menjalani hidup untuk anakmu," ucap Sumiyati sambil menatap mata Amara hangat.

Lewat tatapan. Sumiyati menyalurkan energi positif untuk Amara. Wanita itu juga merasakan sebuah rasa tenang dalam diri saat menatap mata Nenek tua ini.