Bukan hanya rasa tenang. Tapi Amara juga merasakan sebuah semangat baru untuk melanjutkan hidup dalam diri.
Kuat untuk anak yang ada dalam kandungan adalah tujuannya hidup saat ini. Karena apa yang Nenek Sumiyati katakan itu sangatlah benar.
"Thank you. Terimakasih atas nasihatnya, Nek," ujar Amara lalu tersenyum manis.
"Sama-sama," ucap Nenek Sumiyati dengan senyuman lalu mengulurkan nampan berisikan makanan pada Amara. "Makan dulu, yuk. Kasihan anakmu. Pasti kelaparan."
***
Amara duduk sambil terus meremas jari jemari saat HRD memeriksa data dirinya di depannya. Hatinya terus berharap, semoga lamaran yang dia ajukan dapat di terima.
"Kamu sedang hamil?"
Amara diam beberapa detik lalu memberi jawaban setelah mengangguk. "Benar, Bu."
Wanita yang beberapa tahun lebih tua dari Amara menghela napas berat lalu kembali menatap wanita cantik itu.
"Di sini saya dapat melihat bahwa kamu mampu bekerja dengan baik karena kamu adalah mahasiswi terbaik saat kuliah bahkan mungkin jika kamu sedang tidak hamil kamau mampu bekerja dengan sangat baik. Tapi ...."
"Tapi kenapa?"
"Tapi sayang. Perusahaan kami tidak mempekerjakan wanita yang sedang hamil. Karena kehamilannya akan mengganggu kinerja si karyawan sat bekerja," jelas wanita itu.
"Saya bisa bekerja dengan baik meski saya sedang mengandung, Bu. Bahkan Ibu tidak akan mengeluhkan apapun nanti," ucap Amara mencoba membuat wanita itu mempertimbangkan keputusannya.
"Maaf. Tapi saya tidak bisa mengubah keputasan saya karena ini sudah menjadi bagian dari peraturan perusahaan kami."
Amara menghela napas berat. Ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang dia pikirkan saat masih bersama sang Papa. Dia memejamkan mata untuk beberapa detik. Mencoba tenang dan berkata pada dirinya sendiri. Tenang Amara, kamu harus percaya bahwa nanti akan ada perusahaan yang menerima lamaranmu oke!
"Yasudah, Bu. Tidak apa-apa." Amara bangkit dari duduknya. "Terimakasih," ucap Amara diikuti senyumannya.
***
"Tapi maaf, perusahaan kami tidak menerima wanita yang sedang hamil. Karena itu akan mengganggu kinerja si karyawan nanti."
Lagi-lagi. Amara yang baru saja berpindah ke perusahaan lain. Harus menerima penolakan lagi. Seakan HRD itu tidak melihat Amara yang sudah letih karena bepergian kesana kemari.
Tapi hasilnya tetap sama ditolak mentah-mentah hanya karena alasan kemahamilan.
Amara bangkit dari duduknya sambil memasang tasnya ke pundak. Bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis yang di paksakan.
"Terimakasih, Bu."
***
Amara menarik napasnya dalam-dalam. Sebelum masuk ke ruang HRD dengan surat lamaran yang masih setia dicekalnya.
Hatinya terus meminta pada Tuhan semoga kali ini lamarannya dapat diterima. Sehingga dia mampu bekerja dan menghasilkan uang untuk dirinya sendiri.
Perlahan dia membuka pintu masuk ke dalam ruangan itu dan berdiri tepat di depan HRD. Amara tersenyum tipis.
"Selamat siang, Bu."
Wanita yang disapanya mengadahkan wajah. Menatap Amara yang saat ini masih berdiri.
"Selamat siang. Silahkan duduk."
Amara mengangguk kecil lantas menuruti perintah wanita itu. Duduk di depannya lalu mengulurkan lamaran yang dia bawa.
Beberapa menit ruangan itu hening. Tak ada suara karena HRD sedang asik memeriksa surat lamaran Amara. Setelah selesai, wanita itu kembali menatap Amara yang sedang duduk dengan dada yang berdebar kencang.
"Kamu mempunyai bakat dan nilai yang cukup bagus di sini. Tapi, jika boleh saya tahu alasan kamu melamar kerja untuk apa? Padahal saya lihat dari penampilan kamu. Sepertinya kamu lahir dari keluarga yang mampu." Wanita itu bertanya.
Membuat Amara mengerutkan kening bingung. Sebelumnya tidak ada HRD yang bertanya seperti ini padanya. Pertanyaan ini terdengar seperti ke ranah pribadi.
"Emm ... Saya hanya orang biasa, Bu. Alasan saya melamar kerja untuk mencari penghasilan agar saya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk biaya melahirkan nanti, Bu," jawab Amara lalu tersenyum.
Wanita itu menatap Amara kaget. "Jadi kamu sedang mengandung? Kenapa tidak suami kamu saja yang bekerja kenapa harus kamu?" tanyanya.
Amara diam untuk beberapa saat. Kenapa wanita di depannya ini harus membuat Amara mengingat Raza? Padahal setiap kali mengingatnya hati Amara terasa sakit.
"Saya sudah berpisah dengan suami saya. Karena itu saya harus membiayai hidup saya sendiri, Bu," jawab Amara tanpa menatap mata wanita di depannya.
"Berpisah di saat kamu sedang hamil." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak bisa dipercaya. Seharusnya kalian menunggu anak kalian lahir terlebih dahulu baru memutuskan untuk berpisah. Jika seperti ini kasihan padamu juga anak yang ada dalam kandunganmu."
Amara menghela napas kesal. Wanita didepannya ini kenapa? Sebenarnya dia ingin meng-interview Amara atau ingin ikut campur dalam kehidupan Amara.
Seumur hidup. Amara baru tahu ada HRD yang berani bertanya dan berkata perihal hal pribadi saat meng-interview.
"Sudahlah. Tidak perlu membahasnya. Jadi bagaimana? Apakah lamaran yang saya bawa diterima?" tanya Amara mengakhiri pembicaraannya dengan wanita itu.
Membuat wanita itu tersadar dan kembali membahas topik awal. "Tadinya saya akan menerima lamaran kamu. Tapi setelah mengetahui kalau kamu sedang hamil." Dia diam beberapa detik. "Mohon maaf. Kami tidak bisa memperkerjakan wanita yang sedang hamil disini."
"Tapi tadi Ibu bilang kasihan pada saya dan anak saya tapi kenapa lamaran saya ditolak?" tanya Amara tidak terima.
Wajar jika Amara tidak terima. Wanita depannya sudah berani bertanya tentang masalah pribadinya. Tapi lamaran yang dia bawa ditolak mentah-mentah.
Sama halnya dengan yang dilakukan HRD di perusahaan lain padannya. Wanita di depannya sudah mengetahui Amara hamil tapi dia tetap tidak menerima lamarannya.
Seakan dia tidak melihat. Amara yang sudah kelelahan dengan keringat yang sudah menetes karena terus berpergian kesana kemari dan itupun dalam kondisi hamil.
Dimana kata yang diucapkannya tadi. Menghilang dan tidak berbentuk sama sekali.
"Ya. Saya memang merasa kasihan. Tapi rasa kasihan saya tidak bisa merubah peraturan perusahaan kami," ucapnya lalu mengulurkan surat lamaran yang dibawa Amara.
Amara menundukan wajah. Dia sudah merasa letih karena terus mendapat penolakan. Kenapa lamaranya terus saja di tolak hanya karena kehamilannya?
Memangnya ada apa dengan wanita hamil sehingga mereka tidak bisa memperkerjakan wanita yang sedang hamil.
"Terima ini."
Amara mengadahkan wajahnya kembali saat wanita itu kembali bersuara. Keningnya mengerut saat melihat amplop cokelat yang diberikan wanita itu padanya.
"Apa ini?" tanya Amara.
"Ambillah. Ini sedikit uang dari saya. Sebagai bentuk bantuan untuk membeli susu hamil."
Bukan bantuan yang dilihat oleh Amara. Melainkan seperti melihat penghinaan besar saat dirinya di berikan uang sebagai bentuk bantuan oleh orang lain yang sama sekali tidak dikenal.
Dia bangkit dari duduknya dan menatap wanita itu datar. "Saya tidak terbiasa mengambil uang sumbangan. Jika Ibu tidak bisa memberikan saya pekerjaan tidak perlu memberikan ini. Saya permisi. Terimakasih," ucap Amara lalu mengambil tas dan surat lamarannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan wanita yang saat ini menatap punggungnya dengan tatapan heran.
"Di beri bantuan tidak mau. Yasudah. Itu tidak masalah bagi saya," gumam wanita itu.