Amara berbalik menghadap keduanya yang saat ini sedang menatapnya tajam. "Kalian memang mengajariku tentang etika. Namun, kalian sudah membuktikan bahwa kalian tidak pantas di berikan rasa hormat oleh siapapun. Entah dariku ataupun orang lain."
Amarah Brama seakan berada di puncak kepala. Saat Amara berkata demikian. "Amara! Jaga ucapanmu!" ucap Brama lalu mendekat pada Amara dengan tatapan tajam. "Tidak sepantasnya kamu berkata seperti itu pada kami. Hanya karena kamu salah mengartikan sesuatu kamu menjadi seperti ini. Kami adalah orang tuamu, ka--"
"Apa? Orang tua? Orang tua mana yang rela menikahkan putrinya hanya untuk sebuah harta?! Apakah orang tua itu masih pantas disebut orang tua?" tanya Amara setelah memotong ucapan Brama seraya terus menahan air mata yang seakan memaksa untuk turun.
Ucapannya membuat wajah Brama dan Lidia seketika berubah. Mereka tidak mengira bahwa Amara akan mengetahui semuanya? Darimana dia mengetahui ini.
"A-Apa yang kamu katakan? Itu tidaklah mungkin Amara," ucap Lidia masih mencoba menutupi semuanya.
"Cukup, Ma! Sudah cukup kalian membohongiku selama lima bulan ini. Aku tidak ingin diperdaya lagi oleh kalian. Aku akan pergi dari rumah ini. Sedikitpun aku tidak mengira. Orang tua yang sangat aku percaya dapat melakukan ini kepadaku," ucap Amara lalu menghapus air matanya kasar.
Matanya beralih pada Raza yang saat ini berdiri diam tak jauh darinya. "Secepatnya saya akan mengirim surat perceraian kita kepadamu. Silahkan lanjutkan rencana awalmu menikahiku setelah hubungan kita berakhir. Meskipun saya tahu orang tua saya yang akan dirugikan. Namun, saya tidak akan peduli lagi."
Seakan ada petir yang menyambar hati Lidia dan Brama. Ada sedikit rasa percaya terhadap putri mereka namun apalah daya. Keinginan Untuk mempunyai harta yang semakin berlimpah seakan menutup rasa percaya itu.
"Ma, Pa. Aku tahu kalian tidak akan pernah mempercayai ucapanku karena kalian hanya memikirkan perihal harta bukan perasaan putri kalian. Rasa kecewa yang ada dihatiku pada kalian itu tidak akan hilang dengan mudah. Aku pergi," ucap Amara lalu membalikan badannya berjalan keluar rumah seraya terus menghapus air mata.
"Jika kamu terus melangkah. Maka Papa akan menjamin bahwa kamu tidak akan pernah mempunyai uang sepeserpun di luar sana." Brama mengancam. Namun, Amara malah tersenyum seraya terus melangkah.
"Ingat, Amara. Kamu sedang mengandung, bagaimana nasib anakmu jika dia lahir tanpa seorang ayah?" ucap Lidia.
"Iya, Anak. Pikirkan anak kita. Aku yakin kamu tidak akan sanggup membesarkan anak kita seorang diri dan apa kata orang nanti jika kamu hamil tanpa suami di sampingmu," ucap Raza dan ucapannya berhasil membuat langkah Amara kembali terhenti.
"Ku mohon turunkan egomu itu. Dan coba berpikir positif, bahwa apa yang kamu dengar, lihat dan saksikan itu tidaklah benar. Cobalah mempercayai kami." Raza melanjutkan ucapannya sambil terus menatap punggung ringkih milik Amara.
"Akan aku jamin, anakmu ini tidak akan pernah bertanya tentang ayahnya. Karena aku akan menjadi Ibu sekaligus ayah untuknya. Kalian tidak perlu repot-repot memikirkan diriku, aku bisa hidup sendiri tanpa kalian atau siapapun," ucap Amara membalas setiap ucapan orang-orang di belakangnya.
Dia melanjutkan langkahnya keluar dari rumah megah itu tanpa rasa ragu sedikitpun. Tidak ada cinta di dalam pernikahannya dengan Raza dan kebohongan Lidia dan Brama membuat keputusan yang diambil Amara terasa lebih mudah. Lidia menjatuhkan dirinya ke atas sofa merasa berat saat putrinya keluar dari rumah.
"Apa yang akan terjadi padanya jika berada diluar sana seorang diri? Tuhan ... Ku mohon jaga Amqra saat diriku tidak ada disisinya," gumam Lidia dan ucapannya tidak terdengar oleh Brama yang saat ini sedang sibuk berbicara pada Raza agar dia tidak membatalkan janjinya.
Seakan tidak perduli pada Amara yang saat ini sedang hancur karena mereka. Orang tua macam apa dia ini.
***
Wanita dengan iris mata hitam itu terus menyeret koper besarnya dengan langkah gontai. Sepatu sneakers dari brand ternama itu terus menyusuri pemukiman kumuh kota Jakarta, mencari kontrakan yang bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bagi si empu.
Seakan tidak memperdulikan sepatu putih branded yang telah kotor karena menginjak setiap genangan air yang dilewati.
Mata itu juga terus melihat kesana kemari dan terhenti pada sebuah plang bertuliskan 'Ada kontrakan kosong.'diikuti langkahnya yang juga ikut terhenti.
Amara menghela napas berat sebelum melangkah pada sebuah rumah yang sepertinya tempat tinggal si pemilik. Tangannya terangkat mencoba mengetuk pintu itu, berharap ada orang yang membuka di tengah malam seperti ini.
Tok. Tok. Tok.
Setelah menunggu beberapa detik, pintu itu terbuka menampakan seorang Nenek berusia lima puluh tujuh tahun yang sedang mengucek mata. Terlihat bahwa dia habis bangun tidur.
Dia melihat Amara dari atas sampai bawah. Penampilan Amara yang saat ini memakai dress selutut berwarna biru dengan rambut terurai indah juga matanya yang sipit membuat Nenek tua itu mengerutkan kening.
"Orang korea kok bisa nyasar ke pemukiman ini?" tanyanya keheranan.
Mungkin jika Amara sedang dalam keadaan senang dia akan tertawa mendengar ucapan Nenek tua ini. Namun, saat ini hatinya sedang tidak baik-baik saja. Membuat bibirnya langsung berkata tujuannya mengetuk pintu.
"Maaf, Nek. Menggangu waktunya malam-malam. Saya membaca plang yang ada di depan. Apakah benar disini ada kontrakan yang kosong?"
"Oh ... Mau cari kontrakan. Eh, tapi tunggu. Eneng ini orang korea ya?" tanya Nenek itu seakan masih ingin tahu.
"Bukan, Nek. Saya orang indonesia asli hanya saja ketika orang tua saya mengandung saya dia senang melihat oppa korea jadi seperti ini," jawab Amara lalu tersenyum kecil.
Dia yakin jika tidak diberi jawaban Nenek tua ini akan terus bertanya padanya.
"Jadi apakah disini benar ada kontrakan kosong?" tanya Amara lagi.
"Ada-ada. Tunggu sebentar ya." Nenek itu masuk ke rumahnya kembali hanya sekedar mengambil kunci. "Mari ikut saya."
Amara hanya menjawab dengan anggukan kecil lalu mengikuti Nenek itu dari belakang menuju rumah kecil yang berada di belakang rumah si Nenek.
Pintu rumah kecil itu terbuka. Amara masuk ke dalam memperhatikan setiap inci rumah itu. Entah ini rumah atau hanya sebuah kamar. Ukurannya hampir sama dengan kamar Amara di rumahnya dulu bahkan lebih besar kamarnya dari pada rumah ini.
"Ini kontrakannya. Kamu bisa membayar uangnya sekarang ataupun nanti Nenek tidak akan mempermasalahkannya."
Amara tersadar dari lamunannya lalu segera mengambil amplop cokelat dari tasnya dan menaruhnya di tangan Nenek itu. Membuat si Nenek mengerutkan kening lalu melihat isi amplop itu.
"Saya membayar sekarang saja."
"Ini cukup untuk membayar uang sewa satu tahun. Apa kamu masih punya uang untuk kebutuhanmu?"
"Ada. Saya sengaja membayar untuk satu tahun karena saya tidak tahu nanti saya akan memilki uang atau tidak."
Nenek itu mengangguk. Lalu tersenyum. "Kamu terlihat seperti wanita yang sangat baik. Oh iya, panggil nama saya Sumiyati," ucap Sumiyati lalu mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Amara Inez Mah--" ucapan itu menggantung. "Amara Maharani," lanjut Amara lalu tersenyum.