"Please."
Amara tersenyum kecil lalu duduk di kursi yang sudah disediakan sang suami. Raza juga segera duduk di depan Amara setelah mempersilahkan Amara untuk duduk lebih dulu.
Salah satu restaurant yang selalu didatangi orang-orang kayalah yang saat ini menjadi tempat dimana hal yang tidak diduga akan terjadi.
Raza sengaja mengajak Amara pergi setelah menyelesaikan masalah dengan wanita yang berbicara dengan Amara kemarin. Dan sebagai perayaan atas Meera yang sudah mendapatkan nilai tertinggi dalam jurusan bisnis.
"Langsung to the point saja." Amara menaruh tasnya di atas meja. "Untuk apa kamu mengajakku kemari?"
Raza tersenyum lalu bersiap untuk menyantap makanan yang sudah dipesannya. "Seorang suami tidak memerlukan alasan jika ingin mengajak istrinya pergi dinner bukan? Kita jadikan hal ini sebagai perayaan karena kamu sudah mendapatkan nilai tertinggi di kampus."
Amara hanya diam tidak berniat menjawab ucapan itu. Raza menghela napas lalu menatap Amara dengan tatapan lembut. "Makan dulu, ya. Bukankah kamu belum makan apapun sejak tadi siang?"
Amara mengangguk kecil lalu menampilkan senyuman yang tak kalah kecil. "Iya."
Beberapa menit. Tidak ada obrolan apapun diantara mereka. Keduanya hanya dia sembari menyantap dengan pokus makanan yang mereka pesan.
Raza yang sedari tadi sudah mempersiapkan dialog di otaknya. Akhirnya mulai mengadahkan wajah. "Ra," panggil Raza.
"Ya?" Amara mengambil minum setelah menjawab.
"Tujuanku mengajakmu kemari bukan hanya karena aku ingin merayakan kesuksesanmu, Ra. Tapi karena aku ingin membuatmu menyadari. Bahwa tidak baik jika kamu terus menutup rapat-rapat hatimu untukku."
Deg. Amara menatap Raza tanpa ekspresi. Apa yang Raza katakan tadi berhasil membuat Amara bimbang. Rasa ingin membuka hati untuk pria di hadapannya karena apa yang baru saja dikatakan Raza itu benar dan rasa tidak suka yang masih menggerogoti hati.
Lalu? Apa yang harus Amara lakukan sekarang?
Raza memegang tangan kiri Amara membuat wanita itu langsung tersadar dari lamunannya. Dia menatap tangan yang tengah digenggam itu lekat. Pikirannya merasa keberatan. Tapi hatinya merasa harus segera menerima hubungannya dengan Raza. Sama seperti apa yang Raza katakan tadi.
"Ra. Tak ada yang lebih menenangkan jika saling berbagi dengan pasangan. Aku tahu kamu juga menginginkan hal ini. Aku mengatakan ini, bukan semata-mata hanya untuk diriku. Tapi juga untukmu. Aku juga ingin kamu bahagia dengan pernikahan ini." Raza berkata dengan penuh kelembutan.
Wanita mana yang tidak akan terbuai dengan ucapan seperti ini. Begitupun Amara. Ucapan itu benar. Dirinya memang sangat ingin mempunyai pernikahan layaknya pasangan lain.
Apakah ini sudah waktunya bagi Amara membuka hati dan menerima kehadiran Raza disisinya. Meskipun dia baru menjalani pernikahan ini selama dua minggu, tapi rasa bosan karena terus bersikap dingin itu membuatnya sudah tidak tahan lagi.
"Kita jalani pernikahan ini layaknya sepasang suami istri yang lain. Dengan saling mencintai sambil menunggu hadirnya seorang malaikat kecil," lanjut Raza lalu tersenyum dengan tangan yang masih setia memegang tangan Amara.
Beberapa detik. Amara terdiam. Lalu berkata. Setelah berpikir panjang. "Sungguh, aku juga menginginkan hubungan layaknya sepasang suami istri yang lain." Amara mengangkat pandangannya. "Aku akan mencoba membuka hatiku. Dan aku mohon. Setelah diriku membuka hati jangan hancurkan harapanku untuk memiliki pernikahan layaknya orang lain."
Tanpa menjawab ucapan Amara. Raza bangkit dari duduknya dia memeluk Amara erat setelah meminta Amara untuk berdiri. Amara mencoba membalas pelukan itu dengan sepenuh hati.
"Aku berjanji tidak akan pernah membuat harapan yang telah kamu berikan padaku hancur Amara. Karena aku begitu sangat menyayangimu." Raza mempererat pelukannya.
Amara menaruh kepalanya di bahu sang suami lalu berkata. "Terimakasih," ucap Amara lalu tersenyum.
Sedikitpun Amara tidak menyadari bahwa keputusan yang di ambil ini akan membuatnya jatuh ke dalam suatu hubungan yang akan menghancurkan hidupnya.
***
Setelah malam itu. Perlahan sikap Amara pada Raza berubah menjadi lembut. Layaknya seorang istri yang selalu membantu suaminya mempersiapkan segalanya. Itu juga yang kini dilakukan Amara.
Bukan karena sudah adanya cinta. Namun, karena dia sudah mempunyai rasa hormat pada Raza. Apalagi saat ini dia sedang mengandung anak pertama mereka yang sudah berusia lima belas minggu.
Hal ini tidak dipungkiri. Atas perilaku Raza yang sangat baik pada Amara. Dia memperlakukan Amara layaknya seorang ratu.
Wanita itu memberikan tas kantor suaminya dengan senyuman. "Jika sudah sampai kabari aku," ucap Amara mengingat kebiasaan mereka akhir-akhir ini.
"Tentu sayang." Raza mengecup puncak kepala istrinya. "Kamu baik-baik ya. Jika ada apa-apa segera telphone aku. Aku akan segera pulang."
Amara mengangguk tanpa senyuman lalu kembali berkata menghentikan Raza yang tadinya akan keluar dari kamar. "Mas."
"Iya ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Raza dan kembali berdiri di depan Amara.
"Sejak awal kita menikah. Kamu tidak pernah mengajakku ke kantormu. Jika boleh. Sekarang aku ingin ikut bersamamu. Aku ingin melihat diruangan mana, kamu sering ketiduran karena letih."
Ini adalah pertama kalinya Amara meminta hal semacam ini pada Raza. Namun, ekspresi yang ditunjukan Raza jatuh dari ekspetasi Amara.
"Aku tidak akan pernah mengajakmu kesana."
"Kenapa?" tanya Amara heran.
Raza menempelkan tangannya dipipi Amara. "Karena aku tidak ingin karyawan-karyawanku melihat wajah istriku yang cantik ini. Biarkan aku saja yang bisa melihatnya," ucap Raza lalu tersenyum.
"Tapi, Mas--"
"Sayang. Ku mohon mengerti. Aku sudah pernah bilang padamu, kan. Bahwa saingan bisnisku ada dimana-mana. Jika salah satu dari mereka ada yang melihatku membawa istriku ke kantor, otomatis mereka akan langsung mengenali istri dari Raza Argantara. Maka hidupmu dan bayi kita akan terancam. Dan aku tidak ingin mengambil resiko," jelas Raza.
Saat pernikahan Raza dan Amara. Memang hanya beberapa tamu penting saja yang datang. Karena saat itu Raza bilang ingin menjaga privasinya. Memang sangat tidak lazim. Namun, Papa dan keluarga Amara sepakat untuk menyetujui. Meski saat itu Amara tak sedikitpun merasa setuju.
Dia menghela napas berat dan tersenyum. "Baiklah. Aku mengerti akan kekhawatiranmu, Mas," ucapnya.
"Terimakasih karena susah mengerti. Aku pergi ya." Raza mencium puncak kepala istrinya lagi dan berlalu pergi meninggalkan Amara dikamar seorang diri.
"Sudah, Raa. Jangan banyak menyimpan keraguan pada suamimu. Itu tidak baik." Amara menghela napas lagi sebelum akhirnya tersenyum.
***
Tingnong. Tingnong. Tingnong.
Bel rumah terus mengeluarkan suara. Membuat seisi rumah menjadi bising karenanya. Entah, dimana para pekerja di rumah mewah itu sehingga membuat putri dari rumah itu harus berjalan cepat untuk membuka pintu.
"Kemana mereka ini? Kenapa tidak ada yang membuka pintu. Apa jika ada tamupun harus aku yang membuka." Amara geram sambil terus melangkah ke arah pintu.
Cklekkk!
Pintu besar itu terbuka. Menampakan seorang wanita dengan raut wajah marah dan napas memburu sedang berdiri disana. Tanpa ragu wanita itu masuk dan mendorong tubuh Amara dengan kasar.