Pompaan dada seorang siswi SMAN 01 Cempaka Merah–Carrisa Azkadina–terus berpacu cepat karena ia sedang berusaha mencari jalan keluar agar dirinya terbebas dari kejaran seorang pria bertubuh kekar yang semalam meminjamkan uangnya untuk membeli minuman di bar. Belum lagi jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 06.56 yang itu berarti Risa memiliki sisa waktu empat menit lagi untuk menembus gerbang sekolah yang siap ditutup.
"Sial! Pagi-pagi seperti ini dia masih bisa memikirkan uang itu," gerutu Carrisa Azkadina terengah-engah. Ia terus berlari menembus keramaian, yang mana mereka juga sibuk pergi menuju tempat tujuannya masing-masing.
Awal bulan yang sangat menyebalkan bagi Risa, bagaimana tidak?! Mobilnya disita, uang jajan di-take down, dikejar-kejar orang bak seorang buronan, dan parahnya lagi Risa tidak bisa menghubungi pacarnya--Daniel--untuk dimintai pertolongan. Jika bisa menghilang seperti jin di dalam film, dirinya akan lebih memilih itu untuk menyelamatkan hidupnya sekarang.
"Jangan lari kamu!" teriak pria bertubuh kekar itu yang terus mengejar Risa.
Seragam Risa sudah terlihat lusuh dan basah karena keringat, sejak ia turun dari apartemennya pria bertubuh kekar ini terus menagih uang itu dan tidak memberikan waktu lagi kepada Risa untuk membayarnya.
Di sisa-sisa menit terakhir, kedua mata Risa menangkap seorang siswa bertopi putih yang sedang mengayuh sepeda menuju sekolah yang sama. "Terpaksa gue harus lakuin ini," lirihnya merasa capek. Ia kuatkan pergelangan kakinya dan berlari mengejar siswa itu dengan kecepatan maksimal, keringat dan rasa lelahnya sudah tidak lagi diperhatikan. Yang terpenting ia bisa terlepas dari pria bertubuh kekar ini.
"Al …, Altezza. Plis, stop! Plis ba-bantuin gue," ucap Risa yang semakin terengah-engah. Ia menahan stang sepeda yang sedang dipegang oleh Altezza--teman sekelas Risa yang tidak pernah ia sukai dan selalu ia hindari. Tapi kali ini, cuma Altezza harapan satu-satunya untuk Risa bisa terlepas dari kejaran pria bertubuh kekar tadi.
Kedua alis Altezza mengernyit hebat, ia sedang mencerna apa yang terjadi dengan teman sekelasnya itu. "Uang, mana uang?" tanya Risa yang sudah tidak memperdulikan lagi rasa malu.
Bukannya memberikan uang, Altezza malah memberikan botol minum. "Kalo cape itu minta minum bukan uang," ucapnya dengan nada yang sangat lembut.
"Ini belakangan, sekarang gue minta uang Lo. Mana?!" Risa mendorong botol minum itu dan terus meminta apa yang ia inginkan. Risa mengerjap beberapa kali, rasa lelahnya ini sudah ada di ujung tanduk. Lelah, sangat lelah.
Dengan polos Altezza mengeluarkan uang ratusan ribu dari saku seragamnya, dan dengan cepat juga Risa menarik uang itu lalu menggenggamnya kuat. "Dapat!" mata Risa terlihat sangat berbinar.
"Eh, mau diapain uangku?" Altezza kebingungan, tapi ia tetap berada di atas sepeda dengan posisi seperti tadi.
"Jangan banyak bicara, Al. Suaramu terlalu sayang jika di …,"
"Hei, diam di sana kau!" ucapan Risa terpotong dengan teriakan pria bertubuh kekar tadi. Dengan sisa tenaganya pria ini berlari dan berhenti tepat di hadapan Risa.
Risa tidak lagi ketakutan seperti tadi, kini ia mendekatinya dan menatapnya dengan tatapan sombong. "Ini kan yang kamu inginkan?" Risa mengangkat uang itu. "Ambillah, sekarang hutangku lunas!" Risa memasukkan uang itu di saku kemeja pria bertubuh kekar ini.
"Hutang?!" gumam Altezza lirih.
"Hutang secuil saja dipermasalahkan. Dasar pria pelit," hina Risa tepat di depan wajah pria bertubuh kekar ini. Membuatnya geram dan siap-siap mengangkat tangannya untuk menampar Risa, "Hei kalian berdua! Mau masuk atau dihukum?" tapi tamparan pria bertubuh kekar ini melesat jauh dari pipi Risa, karena Risa sudah pergi memasuki gerbang saat Security meneriaki mereka.
"Awas!" geram pria bertubuh kekar ini mengancam. Ia mengingat-ngingat wajah Risa untuk membalas perlakuannya yang sangat tidak sopan itu.
Berhasil lolos dari pria bertubuh kekar, berhasil tidak dihukum karena terlambat, tapi belum tentu ia berhasil dari keterkaitannya dengan Altezza. Uang yang dipakai Risa itu tentu harus dikembalikan secepat mungkin, karena Altezza pun memiliki keperluan yang harus ia beli. Sedangkan Risa sangat tidak ingin berhubungan dengan pria ini, yang dianggapnya kuno dan tidak pernah terlihat gaul. Padahal Altezza adalah siswa berprestasi pindahan dari pondok pesantren.
"Tunggu! Kapan kamu akan mengembalikan uangku?" tanya Altezza saat Risa hendak masuk ke dalam kelasnya bersama kedua temannya. Kedua temannya ini sebelumnya adalah adik kelasnya, tapi karena Risa tidak naik kelas, akhirnya ia pun menggaet Lacey dan Elisha untuk menjadi sahabatnya. Sedangkan sahabat sekelasnya yang dulu--Viollet–sudah tidak begitu dekat lagi hubungannya, namun mereka masih tetap berhubungan baik.
Risa membalikkan tubuhnya saat Altezza menahan langkahnya untuk masuk, "Ternyata Lo sama saja dengan pria jelek tadi, pelit. Hitungan, duit gak seberapa pun ditagih-tagih." hinanya dengan nada tidak suka. Ia sangat terganggu dengan tagihan hutang, padahal orang yang berhutang memang harus ditagih sebelum mereka membawa hutangnya itu ke dalam keabadian.
"Risa, bukan seperti itu. Aku hanya menanyakan saja kapan kamu akan mengembalikan uangku, dalam hutang piutang tentu harus ada waktu yang disepakati." jawab Altezza dengan tatapannya yang mengarah ke sepatu Risa.
Altezza memang satu-satunya pria yang aneh menurut Risa. Ketika ia berbicara dengan lawan jenis, tidak pernah sekalipun ia menyoroti wajahnya. Jika melihat pun hanya beberapa detik saja, dan dengan segera ia palingkan lagi tatapannya ke bawah.
"Kalau ngomong itu lihat orangnya, aneh." kesal Risa yang langsung menghindar dari Altezza.
Dengan hembusan panjang Altezza membiarkan Risa pergi dari hadapannya, ia akan menanyakannya lagi setelah jam istirahat berbunyi. Ketika masuk ke dalam kelas, Altezza membuka topi putihnya dan langsung memasukkannya ke dalam tas. Semua wanita yang ada di sana kecuali Risa tentu selalu diam-diam memperhatikan Altezza yang tampan nan rupawan, namun karena Altezza tidak seperti pria lainnya, para wanita itu tidak berani untuk menggodanya dan hanya bisa berbisik membicarakan kekaguman mereka terhadap kelebihan yang dimilikinya.
"Selamat pagi, anak-anak." sapa Bu Merlin, guru matematika tercerewet di sekolahnya.
"Huh, dia lagi. Tidak bisakah hidupku damai tanpanya?" gerutu Risa saat orang lain menjawab sapaan gurunya.
"Selamat pagi, Carrisa Azkadina?!" Bu Merlin mengulangi sapaannya kepada Risa yang menjadi tetua di kelasnya.
Risa hanya menunjukkan ekspresi jengahnya dengan senyuman menyungging untuk Bu Merlin. Bu Merlin hanya menggeleng melihat sikap Risa yang semakin hari semakin memburuk.