Dengan cepat Altezza ikut lari mengejar keduanya. Namun beruntung pasangan ini sudah tidak bisa kabur karena gerbang rumah sakit ditutup rapat oleh security lain. "Terima kasih, mas." Ucap Altezza saat security yang ada bersamanya memonitor kawannya untuk segera menutup pintu gerbang.
Risa dan Daniel pun tidak bisa lari lagi, mereka dikepung oleh beberapa orang.
"Bee, aku pusing." Lirih Risa mengadu. Namun Daniel tidak mendengarnya karena ia sedang sibuk mencari jalan keluar.
"Risa!" panggil Altezza bergegas lari dan saat ini Risa sudah selamat di pangkuannya. Risa pingsan, beruntung Altezza memperhatikan wajahnya dan segera menangkapnya.
Disini menjadi pengalaman pertama baginya menatap wajah lawan jenis dengan jarak yang sangat dekat, ia pun menggenggam erat tangan lembut milik Risa. Tapi dengan cepat ia tersadar ketika Daniel merebut paksa tubuh lemah Risa dari sandaran Altezza, ia memarahinya dan mengancam akan menghabisinya jika kembali bermain-main dengan kecemburuannya. Tapi, apakah Daniel benar-benar merasa cemburu? Hanya dirinya yang mengetahui itu.
"Astaghfirullah," lirih Altezza saat menyadari apa yang sudah terjadi.
Lantas ia pun segera masuk mengikuti Risa yang digendong Daniel menuju ruangannya lagi. Altezza beranggapan jika Risa masih sangat lemah, dan itu terlihat dari wajah pucatnya tadi.
"Gue ada urusan, ingat! Lo gak boleh macam-macam sama Risa." Kecam Daniel dengan sedikit meninju perut Altezza, kemudian ia berlalu pergi tanpa rasa bersalah.
Altezza masih mematung dengan menahan rasa sakit di perutnya, meskipun Daniel memukulnya dengan tidak berlebihan, tapi pukulannya itu sangat tepat sasaran mengenai uluh hatinya. Ia pun memilih duduk dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
Ancaman Daniel tadi membuatnya berpikir keras, padahal ia tidak melakukan hal aneh ketika sedang bersama Risa. Ia hanya menolong teman sekelasnya agar selamat dari kejadian kemarin, karena jujur ia enggan melihat lagi wanita yang melukai dirinya sendiri karena efek dari permasalahan keluarga.
Ketika dirinya duduk di bangku SMP kejadian seperti ini benar-benar terjadi di kelasnya, Altezza yang diamanahi sebagai ketua kelas merasa bersalah karena dirinya tidak bisa menjalankan amanah dengan baik. Akhirnya sekarang ia tidak akan lagi membiarkan Risa terluka karena permasalahan keluarganya.
"Astaghfirullah," Altezza terkejut saat wajahnya dihantam sesuatu. Itu adalah Risa yang yang melempar bantalnya ke wajah Altezza yang sedang melamun.
"Dari tadi gue ngomong sama lo. Lo budek, ya?!" geram Risa dengan wajahnya yang sangat berkerut.
Bukannya menjawab, Altezza malah tersenyum sambil melihat wajahnya sekilas. Membuat Risa kembali mendecih dan melempar wignya. "Bukan senyum, Jawab." tegurnya.
Altezza pun meminta Risa untuk mengulang pertanyaannya, karena tadi pendengarannya sedang tertutup oleh lamunannya.
"Gue tanya, kenapa lo selalu membuat gue kesal? Kenapa lo harus nolongin gue dan membawa gue ke rumah sakit? Lo gak punya niat lain, 'kan?!" tanyanya beruntun.
Altezza pun mendaratkan pandangannya ke tas yang disimpan di pangkuannya. "Karena sesama muslim itu harus saling menolong, terlebih aku diamanahi oleh sekolah menjadi ketua kelas." Jawab Altezza dengan senyumannya yang meneduhkan. Tiba-tiba Risa hanyut dalam tatapannya, entah kenapa melihat pria kuno dihadapannya membuat hatinya merasa tentram.
"Risa?!"
Tatapannya kembali runtuh saat Altezza memanggilnya, ia kembali memasang wajah masam dan mengerutkan kedua alisnya. "Hanya itu?!" tanyanya.
"Gue tau lo punya maksud dari kebaikan lo itu. Jadi, gue harap sih lo jangan menyembunyikannya dari gue." Lanjutnya.
Altezza menarik nafasnya dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. "Astaghfirullah, wakafaa billaahi syahiida." Hanya itu yang keluar dari mulut Altezza. Sebuah potongan ayat Al-Quran di juz enam, ia menjadikan potongan ayat itu sebagai kekuatannya dalam berbuat baik.
Dari sini Risa benar-benar jengah dengan Altezza, ia merasa tidak nyambung mengobrol dengan pria kuno yang ada di hadapannya. Ia berkata A, Altezza berkata B. Bahkan ia menganggapnya Altezza sedang berceramah, dan tentu ia tidak membutuhkan itu.
"Gue mau pulang!" teriak Risa mengalihkan topik.
"Tapi aku tidak memberimu izin," jawab Altezza.
"Siapa lo, berani ngelarang gue?!" Tatapan Risa menusuk tajam ke arah Altezza. Tapi Altezza mematahkannya dengan kelembutan, "Aku adalah orang yang bertanggung jawab penuh atasmu di sini, dan kamu tidak bisa berbuat seenaknya lagi." ucapannya yang lembut menjadi pertanda kesombongan di pandangan Risa. Tapi meskipun begitu, entah kenapa Risa sangat sulit untuk melakukan apa yang ia mau sekarang. Jiwanya meronta ingin kabur dari hadapan pria menyebalkan ini, tapi hatinya seakan mengunci dan mengubur segala amarahnya.
Dengan cepat Risa memalingkan wajahnya dari Altezza. Ia pun membelakanginya dan mengeratkan kedua tangannya karena rasa kesal yang sudah diujung tanduk. Sedangkan Altezza mengalihkan tatapannya pada pintu yang terbuka, ia tidak menutupnya karena ingin menjaga beberapa hal yang sangat penting menurutnya.
"Ri, maaf ya, gue belum bisa balikin baju nenek lo. Nanti kalau Risa udah balik, gue langsung kasih lo ko." ucap Daniel sambil mengelap sepatu hitamnya yang siap dipakai untuk latihan balap motor.
Malam ini adalah malam yang menjadi pekan kedua terakhir untuk berlatih, jadi Daniel tidak bisa membiarkan dirinya hanyut dalam zona santainya. Ia pun mengenyampingkan urusan Risa yang masih ada di rumah sakit, beruntung Altezza sudah meminta agar Lacey dan Elisha mau menemani kesendiriannya.
"Ah, king santai saja. Baju nenekku masih banyak ko, suaminya kan selalu memanjakannya. Jadi setiap satu bulan sekali nenekku bebas berbelanja sepuasnya," jawab Rio.
"Wedehh... berarti nenek lo kaya dong, tapi gue lihat-lihat muka lo gak ada muka-muka kaya nya?!" heran Daniel.
"Yah, si king. Kakekku gitu-gitu juga jadi bandar sapi di kampungnya. Kalo aku sih memang tidak menampilkan wajah kekayaanku saja, soalnya nyari cewe yang tulus itu susah sekarang, king." ungkap Rio.
"Ye jadi curhat, lo." Ledek temannya yang lain.
Daniel pun hanya menggelengkan kepalanya dengan sedikit senyuman yang menyungging.
Berbeda dengan Daniel yang sedang bersiap untuk berlatih, Altezza justru sedang sibuk mengajar muridnya yang ada di pesantren sang kakek. Ia mengajar tahsin secara online, dan pertemuannya delapan kali selama sebulan. Selepas bekerja di sore hari hingga malam pukul delapanan, Altezza melanjutkan kegiatannya itu meski harus memantau Risa dari apa yang dilaporkan oleh Elisha.
"Jika membaca basmallah, huruf sin nya harus benar-benar bersih dan jelas karena sin memiliki sifat yang salah satunya itu adalah hams. Huruf sin juga menyerupai desisan ular, maka dari itu perbanyak latihan untuk mengetahui sifatnya." Jelas Altezza pada muridnya yang ada di layar laptopnya.
Altezza memang sudah mengajar santri dan santriawati sejak dirinya duduk di bangku SMP karena selama ia kecil, ia sering dibawa oleh kakeknya--K.H. Tamim Ibad. Tidak hanya oleh kakeknya, oleh ayahnya dan ibunya pun sering dibawa hingga dirinya ketiduran. Jika dulu dirinya mengajar dengan tatap muka, namun kini ia hanya bisa melalui aplikasi yang biasa dipakai oleh banyak orang.
"Ka Al, bagaimana caranya kita mengetahui sifat-sifat yang terkandung di masing-masing huruf?" tanya salah satu muridnya.