Altezza langsung menjawabnya, "Pertama, kita memang diharuskannya belajar untuk mengetahui sifatul huruf. Kedua, setelah mempelajari itu praktikan dengan cara mematikan setiap huruf yang kita sebutkan. Misal, kita mengucapkan huruf sa. Maka, gantilah harakatnya menjadi sukun, bunyinya jadi 's." Altezza pun mencontohkannya lebih dari itu, membuat semuanya mengangguk dan mengikutinya beriringan.
Malam yang penuh keberkahan baginya bisa membagi ilmu kepada sesamanya, ia pun sangat ingin mengenalkan tahsin Al-Quran kepada teman-teman yang ada di SMAN 01 Cempaka Merah, namun ia masih mencari orang yang ingin diajaknya kerjasama.
Selepas mengajar, Elisha menghubunginya untuk meminta bantuan. Dan bantuan itu tidak bisa ditolak Altezza karena berasal dari Risa. Risa memintanya untuk membawakan tumbler bertuliskan 'MINE' di kamarnya. Namun Altezza tidak ingin masuk ke kamar Risa sebelum Risa sendiri yang memintanya.
Tidak berlama-lama Risa langsung menghubunginya lewat sambungan video call, "Oke!" ucap Altezza saat wajah Risa yang cemberut sudah terlihat di layar handphone-nya. Sedangkan Risa mendecih melihat wajahnya yang dibuat-buat agar terlihat tampan. Padahal nyatanya Altezza memang tampan. Hidungnya mancung dan kulitnya putih, ia juga menjadi cucu seorang kyai yang sekarang tinggal di arab dan memang keturunan asli arab.
Altezza merasa sedikit lega ketika melihat suasana kamar dan ruangan tengahnya nampak bersih. Ia merasa tidak sia-sia membereskan semua itu dengan pantauan Lastri. Dan ia pun tidak lupa menyelipkan catatan untuk Risa di note yang di tempel di setiap dinding agar selalu menjaga kebersihan apartemennya.
"Nah, itu! Itu yang warna hitam," tunjuk Risa dengan tatapannya.
Altezza pun meraih tumblernya yang ada di atas nakas, lalu ia pun kembali membalikkan tubuhnya untuk segera pergi. Tapi sesuatu hal menghentikannya, ia melihat puluhan note yang tertempel di dinding kamarnya. "Perasaan note-note ini kemarin tidak ada di sini, deh." Gerutunya. Sadar sambungan video callnya masih tersambung, ia pun mematikannya sepihak.
Altezza membaca sebagian tulisan yang ada di note itu dengan teliti, ia pun sampai mem-videonya karena tidak mungkin ia membaca semuanya sekarang karena ia harus pergi ke rumah sakit.
"Apaan sih isinya? Sampai se-niat itu ingin dibawakan," tanya Altezza saat dirinya sudah memberikan tumbler itu ke tangan Risa.
Dengan santainya Risa menjawab, "Whiskey." Tanpa menoleh sedikit pun Risa terus membuka tumbler itu. Namun dengan cepat Altezza merebutnya dari tangan Risa. "Istighfar, Risa. Kamu tidak boleh meminum minuman seperti ini. Ini sangat dilarang," Altezza sangat marah, tapi ia berusaha berbicara dengan nada yang rendah agar tidak menyakiti hati Risa.
Bukan hanya Altezza yang syok, kedua sahabat Risa pun sangat terperanjat kaget. Mereka tidak tahu jika Risa suka meminum minuman yang dapat memabukkan.
"Al! Gue mau itu, udah lama gue gak minum." teriak Risa.
Altezza menggeleng, ia sangat tahu kandungan alkohol yang lumayan tinggi di dalam minuman yang berjenis whiskey ini. "Kamu tidak akan pernah meminum minuman seperti ini lagi, Ris." tekannya sebelum akhirnya ia berlalu dengan hati yang merasa hancur.
Kenapa Altezza yang merasa hancur saat Risa ingin meminum whiskey? Padahal kan dia tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli whiskey itu. "Maafkan aku, Ris. Ini demi kebaikanmu sendiri," Altezza membuang whiskey yang ada di dalam tumblernya. Sedangkan Risa mengamuk dan semakin merasa kesal kepada Altezza karena sudah melarang apa yang sudah menjadi kemauannya.
"Bee, pria kuno itu melarang aku meminum whiskey. Kamu tahu kan aku tidak bisa meninggalkan itu?!" Risa langsung menghubungi Daniel. Ia tidak perlu merasa kasihan jika nantinya Altezza akan dihabisi oleh kekasihnya yang sangat jago bela diri.
Lacey dan Elisha menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali, mereka tahu jika Daniel sudah kesal, maka pemilik mata elang itu tidak akan membuat mangsanya lari meski ke ujung dunia. Elisha yang khawatir akan kondisi Altezza itu langsung mengirimkan pesan agar hati-hati sebelum Daniel benar-benar menghajarnya.
"Sial, Altezza gak aktif. Gimana ini?" Elisha semakin merasa cemas.
Risa yang masih hanyut dalam emosi mengabaikan kedua sahabatnya dan memalingkan tubuhnya dari mereka. Meskipun mereka kesal akan sikap Risa yang selalu tidak menghargai kehadiran mereka, tapi mereka berusaha sabar karena sudah diminta untuk tetap menemaninya.
Daniel yang sedang latihan pun langsung mengarahkan motornya ke jalan raya untuk mengejar Altezza yang diprediksikan masih ada di sekitar rumah sakit. Ternyata benar, Altezza sedang menepi di pinggir jalan sambil menatap kendaraan yang berlalu lalang.
Bugh! Bugh! Bugh!
Tanpa banyak bicara Daniel dan kedua temannya menghajar Altezza habis-habisan. Altezza yang berusaha melawan tetap tidak bisa karena kedua lengannya dicekal oleh teman-teman Daniel. "Udah gue bilang lo jangan macam-macam sama cewe gue!" Daniel terus menghantam perut Altezza tanpa ampun. Ia pun sedikit melayangkan tangannya yang mengepal itu ke wajah Altezza, sehingga sudut bibir Altezza mengeluarkan darah.
"Jangan pernah ulangi kesalahan seperti ini lagi, ustadz Al. Gue gak akan segan untuk memberi lo pelajaran lebih dari ini. Ingat itu!" ketiganya meninggalkan Altezza yang sudah terkapar lemah dengan tangan yang memegang perutnya.
Karena merasa sudah tidak kuat lagi, ia bangkit dan mendorong sepeda ontelnya menuju apartemennya. Ia harus segera membersihkan lukanya dan mengompresnya.
"Umi?!" Altezza terkejut saat melihat ibunya ada di apartemennya. Tapi yang lebih terkejut di sini adalah Hafshah, karena ibu kandung Altezza ini melihat dengan jelas kondisi anaknya yang babak belur.
"Al?!" Hafshah langsung merengkuh wajahnya dengan kedua tangannya. Ia sangat sedih melihat wajah sang anak jadi lemah seperti itu.
"Kenapa kamu bisa begini, nak? Siapa yang sudah melakukan ini?"
Tidak mau berbohong Altezza pun menceritakan semuanya dengan detile, sampai-sampai ibunya ini tidak menanyakan hal yang tidak dimengertinya. Ia paham karena suasana di luar tidak sama dengan suasana di pesantren.
"Umi kenapa bisa di sini?" tanya Altezza yang sedang dibersihkan lukanya oleh Hafshah.
"Umi sangat merindukan anak umi, jadi umi datang tanpa memberi kabar dulu. Umi pikir kamu ada di sini, tapi rupanya kamu ...," Hafshah tidak melanjutkan kata-katanya karena merasa teriris setiap kali mengingat kisah yang anaknya ceritakan.
Hafshah pun membatin jika dirinya meminta maaf kepada Al karena sudah memindahkan sekolahnya dari pesantren ke sekolah non pesantren, ia dan suaminya sudah sepakat jika anak laki-laki mereka akan dilatih untuk tinggal di luar lingkungan pesantren. Mereka ingin membiarkan anak laki-lakinya hidup mandiri dengan lingkungan yang sebenarnya. Di tengah masyarakat yang tentunya akan sangat mendewasakan kepribadian Al sebagai penghuni baru. Tidak hanya itu, mereka pun ingin melihat kewibawaan anak laki-lakinya dalam menghadapi masalah yang menderanya di luar pesantren.
"Umi, ujian Al di sini sangat berat, mi. Al terbiasa dengan aturan, Al terbiasa dengan hukuman, Al pun terbiasa dengan lingkungan yang sudah pasti Al tahu dan Al bisa merasakan kenyamanannya. Tapi di sini Al harus membiasakan diri untuk menyeimbangkan dengan kehidupan yang Al sendiri belum paham sepenuhnya." ungkap Al pada Hafshah.