Hafshah tersenyum, "Kamu bisa, Al. Berikan warna indah yang kamu miliki kepada mereka yang tidak memiliki warna indah sepertimu. Umi yakin jika kamu bisa menyelesaikan tantangan ini. Doa umi, abi, adikmu, dan abah selalu menyertaimu, nak." Meski berat, Hafshah terus menyemangati anaknya yang merasa tidak kuat menjalani hari.
"Umi akan di sini selama dua minggu untuk menemanimu, jadi untuk malam ini sedihnya jangan berlarut-larut, ya, nak." Lanjutnya.
Altezza yang terpandang kuat karena terlihat seperti tidak ada beban, nyatanya ia memiliki keluhan yang sangat dalam kepada ibunya. Ia tidak bisa mencurahkan keluhannya itu kepada siapapun kecuali ibunya.
"Makasih, mi." Kini Altezza sudah merasa lebih tenang.
Di keesokan harinya Risa terkejut ketika melihat ada seorang ibu-ibu yang sedang membaca Al-Quran di sofa ruangannya. Ia sedikit menyipitkan matanya untuk melihat wajahnya dengan jelas, "Siapa dia?" tanyanya. Ia pun kembali mengingat apakah sebelumnya pernah bertemu dengannya?
"Alhamdulillah, kamu sudah bangun ternyata. Mau shalat? Biar umi bantu," ucap wanita ini.
"Umi?!" Risa malah semakin bingung dengan wanita ini.
Melihat Risa yang bingung akhirnya wanita ini memperkenalkan dirinya, "Saya ibu kandung Altezza, dia sudah menceritakan semuanya di malam tadi. Dan maaf, Altezza tidak bisa datang ke sini hari ini karena sedang sakit. Jadi sebagai gantinya saya yang menggantikannya, kamu tidak perlu takut." Ucap Hafshah.
Di malam tadi, Altezza meminta kepada ibunya untuk menjaga dan merawat Risa yang masih ada di rumah sakit karena ia sendiri belum bisa menghampirinya langsung.
"Gimana, mau shalat subuh sekarang?" tanya Hafshah lagi.
"Shalat?! Apa itu? Aku tidak mau shalat, aku mau minum." Jawab Risa datar.
Hafshah pun tersenyum, lantas ia langsung bangkit dan mengambilkan segelas air putih yang sudah tersedia di sana. Tapi setelah Hafshah memberikannya kepada Risa, Risa menolak itu dan hampir saja gelasnya jatuh. Hafshah berusaha sabar dengan sikap teman anaknya yang sangat tidak sopan ini, beberapa kali ia membuang nafasnya dengan panjang. "Lalu kamu ingin minum apa?" tanyanya.
"Whiskey! Minuman yang menenangkan, dan semalam Alteza malah merampasnya dariku." kesal Risa.
Karena Hafshah tidak terlalu tahu akan minuman Whiskey, akhirnya ia mencarinya di google. "Astaghfirullah, nak. Kamu tidak boleh meminum minuman seperti itu, itu tidak sehat. Lebih baik air putih saja, ya?!" syok Hafshah saat mengetahui whiskey itu adalah jenis minuman yang memabukkan.
Risa semakin merasa jengah dengan adanya Hafshah, ia ingin kembali ke apartemennya dan menghirup dunia malamnya lagi. Tapi ia tidak bisa apa-apa, ia masih harus di sini sampai dokter memberinya izin untuk pulang.
"Ternyata semua ibu itu sama-sama menyebalkan. Bukan hanya ibuku, tapi ibu si pria kuno itu nyatanya lebih membosankan. Huft...," Ia kembali mengacuhkan Hafshah dan membelakanginya.
Tidak masalah bagi Hafshah, yang terpenting ia sedikit merasa tenang karena Risa tidak lagi meminta minuman yang bisa membuatnya mabuk.
Di apartemen, Altezza sedang berbaring sambil menatap jarum jam yang terus berputar. Dalam lamunannya terlihat kamar Risa yang penuh dengan note-note kertas berwarna-warni, dengan cepat ia meraih handphone-nya setelah kembali sadar. Ia ingin melihat apa yang selama ini dicurahkan oleh seorang Risa, dan itu sangat membuatnya penasaran.
"Aku anak malam karena dulu mamaku sering tidak ada di rumah ketika aku sedang kesepian, dan ternyata mamaku selalu menghabiskan malamnya di tempat-tempat yang penuh dengan lampu kerlap-kerlip."
"Aku perokok karena mam dan papaku pun seorang perokok."
"Aku suka menghabiskan uang untuk membeli semua keinginanku karena aku pun sering melihat mama berbelanja tanpa henti."
"Mereka mendidikku dengan asupan-asupan yang bisa membentukku menjadi sekarang ini, aku melakukan semua yang aku inginkan karena takdir sudah tak sejalan denganku. Aku menginginkan kasih sayang papa mama yang tulus, tapi takdir tidak memberikan ini semua."
Altezza membaca beberapa kalimat yang ada di note itu, beruntung ia merekamnya ketika sedang ada di kamar Risa, jadi ia bisa leluasa membacanya dan mencerna di setiap ungkapan Risa. Kedua matanya berair saat membaca ungkapan Risa yang terakhir tadi, ia menangkap jika orang tua sangat berpengaruh besar dalam membentuk pribadi seorang anak.
"Hanya Daniel yang sekarang menjadi bahu sandaranku, aku menginginkan apapun dia selalu memberikannya kepadaku. Bahkan terkadang kita suka menghabiskan segelas wine dalam gelas yang sama, karena kita sama-sama terluka karena orang tua."
Ketika membaca ungkapan Risa yang ini, Altezza menjadi sangat penasaran akan kisah orang tua Daniel. Apakah ceritanya memang sama dengan Risa? Atau justru lebih parah?
"Tapi saat aku tidak naik kelas, aku menjadi tidak sedekat dulu. Meski memang hubungan kita masih berjalan dengan baik. Ini semua karena ada pria kuno yang ternyata satu apartemen denganku, dari sini aku akan membuatnya tidak nyaman dan menjauh dariku."
Altezza mengernyitkan kedua alisnya, "Risa menulis ini tidak lama setelah pertemuan pertama itu?" Altezza mengingat momen saat dirinya bertemu dan menarik tas Risa yang ingin kabur dari tagihan hutangnya. "Ya, ini dibuat baru-baru ini." Lanjutnya.
Dari sini ia tahu jika Risa memiliki tujuan untuk mengusirnya dari hidup wanita jutek yang sudah membuatnya penasaran. Sejak pertama tahu sikap Risa melebihi apa yang ada di benaknya, ia menjadi sangat ingin terus memantau Risa. Bukan hanya karena itu adalah amanahnya, tapi Risa juga berhasil membuat Altezza sabar dan bertahan di dunia barunya.
"Jika itu tujuanmu, aku akan menjadikanmu sebagai Risa Azkadina yang tidak akan lagi menyentuh minuman yang memabukkan. Aku akan buat dirimu lebih mencintai dirimu sendiri, dan akan membuatmu lebih menyukai keindahan yang sebenarnya." Gertak Altezza yang sudah bangkit dari tidurnya. Ia akan berusaha untuk mengokohkan bahunya untuk tetap berada di dekat Risa, meski ia tahu Daniel akan terus menghantamnya dengan kekuatan yang ia miliki.
Di hari libur ini, Altezza mengumumkan di grup kelasnya jika dirinya akan membuat geng sekolah. Geng sekolah ini akan diketuainya hingga satu periode, dan rencananya geng ini akan ada bahkan hingga mereka sudah memiliki keluarga di masa nanti.
"Geng?! Cih, anak pesantren berusaha untuk membuat geng. Rupanya dia mau mengalahkan pacar gue, ya?!" Risa mendecih saat membaca pesan yang ada di grupnya. Ia merendahkan Altezza dan langsung menghubungi Daniel untuk tetap mempertahankan kualitas gengnya dari geng baru yang akan dibuat Altezza.
Semua teman Altezza yang berbeda kelas pun ikut setuju dengan saran yang diberikan pria berkulit putih ini, bahkan mereka meminta kepada Al untuk langsung merancangnya di hari esok saat pertemuan di sekolah. Dengan rasa bahagia dan penuh semangat, Altezza memenuhi keinginan teman-temannya.
['Saran nama dari aku 'the bicycle', jika ada yang memiliki saran lagi silahkan.']
Risa tetap memantau pergerakan di grupnya, ia ingin tahu sampai mana Altezza terus berusaha mendirikan geng barunya. "Nama yang kuno! Pantas sih, orangnya juga kuno." Risa mencerca Altezza di grup itu. Altezza tidak meresponnya, ia hanya tersenyum dengan tulus sehingga wajahnya yang tampan terpancar meski kondisinya sedang sakit.
['Mountain bike, Al. Gue rasa nama ini lebih keren dari sekedar 'the bicycle'. Gimana yang lain?']
Temannya dari kelas 11c menuturkan pendapatnya, dan mereka semua pun ikut berpikir dengan nama yang diajukan oleh temannya ini.