Chereads / Take down / Chapter 13 - THE MOUNTAIN BIKE

Chapter 13 - THE MOUNTAIN BIKE

"Deal?!"

"Yeahh!!" semua teman Altezza yang ikut andil dalam perumusan geng barunya sepakat dengan nama 'the mountain bike'. Kehadiran mereka membuat suasana lapang sekolah menjadi riuh, padahal jamnya baru menunjukkan pukul enam pagi, bulan pun masih sedikit menampakkan wajahnya.

"Oke, aku rasa geng kita sudah terumuskan sekarang. Selebihnya kita akan bahas setelah jam pelajaran selesai. Perlu diingat, aku tidak akan mengekang kalian untuk melakukan apapun. Tapi, aku minta agar kalian tetap paham dan tetap mengikuti aturan yang sudah berlaku." Altezza mengeluarkan ultimatumnya sebelum upacara dimulai, ia pun memberikan kartu undangan yang sudah dibuatnya semalam.

Untuk perayaan hari jadi the mountain bike, Altezza pun akan mengajak anggotanya untuk pergi ke sebuah gunung yang ada di pulau jawa. Mereka akan sama-sama mendaki dengan sepeda gunung yang pastinya akan dibeli dari hasil tabungan mereka nanti, dan ide ini akan disampaikan Al ketika pertemuan di siang hari .

"Risa?!" Lacey dan Elisha terkejut saat sahabatnya itu tiba- tiba masuk kelas. Risa datang dengan tas gendongnya dan ia tidak mengikuti upacara pagi tadi.

Dengan spontan Altezza menoleh dan mengerutkan kedua alisnya. Ia tidak tahu jika Risa sudah keluar dari rumah sakit, dokter yang mengurus Risa pun tidak menghubunginya untuk itu.

['Altezza anak umi yang tampan, umi sudah melarang Risa untuk pergi ke sekolah, tapi Risa tetap kekeuh dan tidak mau mendengarkan apa yang umi katakan.']

Altezza membaca pesan yang dikirim oleh uminya, ia pun paham dan sangat tahu bagaimana sikap Risa yang keras kepala. Belum saja ia membalas pesan dari Hafshah, pendengarannya sudah ditarik oleh suara Risa yang terdengar keras di kelasnya.

"Diantara kalian siapa yang ikut masuk ke geng baru?!" tanya Risa dengan nada juteknya.

Semua tidak ada yang merespon, mereka terdiam dan menatap kakak kelasnya yang selalu bersikap seenaknya. "Gue tanya, siapa yang ikut masuk ke geng baru itu?!" suara Risa lebih terdengar menekan dan teman-teman Altezza tidak menyukai hal itu.

"Kalau ikut kenapa emang?! Lo juga mau ikut?" Gino angkat bicara. Ia sudah jengah dengan gaya Risa yang so.

"Hah?! Gak salah denger, gue?! Cewe unfriendly kek dia mau ikut gabung?! Bukannya pacarnya juga punya geng, ya? Malahan dia juga yang udah bikin wajah Al babak belur kaya gitu," sahut Monara yang lebih merasa jengkel terhadap Risa. Dengan itu ia terus meluapkan ucapan yang bisa membuatnya puas. Namun kepuasannya membuat Risa geram dan bangkit dari duduknya.

"Ngomong apa lo barusan, hah?!" Risa menjambak rambut panjang Monara.

Tidak mau kalah Monara pun bangkit dan menjambak balik rambut Risa yang panjangnya sebahu. "Kenapa?! Lo gak suka gue ngomong kaya tadi? Tapi bener, 'kan?!" Monara semakin menunjukkan taringnya.

"Heh, Risa. Jangan pikir gue itu takut ya sama lo. Jangan mentang-mentang lo itu kakak kelas yang bisa berbuat seenaknya di sini. Lo itu gak lebih dari kakak kelas yang Cuma bisa bertelur di kelas gue, hidup lo teramat berantakan karena ulah lo yang so-soan." Dalam setiap kata yang diucapkan Monara, ia pun terus menarik rambut Risa ke belakang.

Risa terdiam, kedua matanya sudah dipenuhi dengan air mata. Hatinya sangat terluka dengan ucapan Monara yang mengusik hidupnya, mencerca hidupnya dengan penuh kepuasan. "Argggh ...," Risa menarik rambut Monara dengan lebih keras, sehingga tubuhnya terbanting dan kepalanya hampir mengenai ujung kursi. Beruntung temannya yang lain melindungi kepalanya dan segera membantunya untuk kembali duduk.

"Risa!" Altezza mengejar Risa yang terus berlari. Ia sangat tahu bagaimana perasannya dihina seperti itu, meskipun itu adalah kesalahan Risa, tapi ia tidak bisa melihatnya rapuh seperti tadi.

Hinaan apa saja bisa saja diterima oleh Risa, tapi tidak dengan hinaan akan hidupnya karena ia sendiri pun sangat membenci hidupnya dan yang pantas menghina itu hanyalah dirinya sendiri. ia mengakui hidupnya sangat berantakan, tapi ia lebih menyalahkan kedua orang tuanya yang memang sudah memberikan dampak buruk baginya.

Kejaran Altezza terhenti saat dirinya melihat langkah Merlin yang semakin mendekati kelasnya, dengan itu ia memutuskan untuk tidak mengikuti Risa dan memilih untuk meminta bantuan kepada uminya agar mau mencarikan keberadaannya.

"Al? Kamu di sini? Ada masalah apa?" tanya Merlin yang melihat Altezza terengah-engah.

"T-tidak, bu. Tadi saya hanya ingin mengejar Risa yang lari dari kelas, tapi sepertinya saya harus mengikuti pelajaran ibu terlebih dulu."

Merlin pun menggeleng dengan aksi Risa, lalu ia segera mengajak murid kesayangannya itu untuk masuk kelas.

"Aku harap umi bisa menemukannya," batin Altezza.

"Hidup gue memang berantakan, dan kehidupan gue jauh dari kebahagiaan. Gue bukan mereka yang bisa merasakan canda tawa bersama kedua orang tuanya, gue juga bukan mereka yang terkadang diberi asupan baik untuk membentuk kepribadiannya. Gue hanya seorang Risa yang sedang membalaskan dendamnya pada takdir yang membuat hidup gue menjadi seperti ini." ungkap Risa dengan tatapan kosongnya.

Seperti orang yang tidak tahu arah, Risa memeluk kedua lututnya dengan mengabaikan lingkungannya. Taman ikan yang ada di pusat kota itu menjadi bukti jika dirinya kembali terluka, menyesali kehadirannya di dunia, dan mengharapkan ketenangan yang entah ada di mana.

Tangannya mengayuh di atas air, ia memainkannya dengan air mata yang terus berjatuhan. Berniat kembali hadir di pelajaran guru matematika yang menurutnya menyebalkan, justru ia malah kembali bolos dan akan semakin memperkeruh kepercayaan Merlin.

Tiba-tiba ia merasakan kehangatan. Tangisnya yang tersedu-sedu pun perlahan diam saat seseorang memeluknya dari belakang. "Tetaplah seperti ini, nak. Jangan pergi dari dekapan umi, umi tidak ingin melihat kamu terluka lagi." Risa memejamkan kedua matanya saat mengetahui orang yang memeluknya ini adalah ibu Altezza. Jiwanya ingin memberontak, namun hatinya menolak dan tetap ingin dalam posisi seperti itu.

"Umi memang bukan siapa-siapa, tapi izinkanlah umi untuk bisa hadir di kehidupanmu yang sangat special ini." Pinta Hafshah dengan lirih. Ia mendengar semua yang diungkapkan Risa, dan ia pun bisa merasakan kegalauan dan kesedihannya. "Karena dulu aku pun bernasib sama sepertimu, Risa." Batin Hafshah mengakui.

Hafshah adalah anak angkat K.H Tamim Ibad, ia diangkat ketika dirinya tinggal dipanti asuhan. Sang ayah yang juga suka mabuk-mabukan menceraikan ibunya yang sedang sakit parah, sehingga dirinya dibuang ke kota lain ketika umurnya beranjak 13 tahun. Beruntung K.H Tamim mau mendidiknya hingga ia memiliki suami keturunan Arab yang sekarang ikut mengajar di pondok pesantren Al-Qahtani.

Risa yang semula diam, ia mulai menoleh ke wajah Hafshah dan mentap manik cokelatnya yang sudah berair. "Apa ucapanmu itu karena merasa kasihan terhadapku?!" tanyanya. "Jika iya, lebih baik aku menjauh darimu, karena orang-orang sepertimu tidak akan mengerti sepenuhnya atas derita yang kurasakan." lanjutnya.

Risa pun melepaskan tangan seorang ibu yang melingkar di tubuhnya, ia pergi tanpa menunggu kesepakatan Hafshah yang sejak tadi memberikannya ketenangan. Hafshah terdiam, ia membiarkannya meskipun sebelumnya ia sudah meminta Risa untuk tidak pergi. "Aku harus tetap berada di dekatnya," gumam Hafshah yang langsung bangkit dan mengikuti kepergian Risa.