Dengan uang yang sudah terkumpul dari teman sekelasnya, Altezza dan beberapa perwakilan dari temannya yang lain berangkat bersama menuju kosan Monara dan rumah Gino. Mereka akan menjenguk dan melihat kondisi dua temannya yang tidak masuk sekolah.
"Harusnya kita jenguk si Altezza juga, tapi dia superhero sih, jadi masih kuat sekolah." ejek teman Altezza yang ikut menjenguk keduanya.
Beberapa teman yang lain ikut tertawa, mereka salut dengan kesungguhan Altezza dalam bersekolah. Wajah yang babak belur dan kondisi tubuh yang kurang fit masih mampu bersekolah dengan baik. Mereka menyebutnya pemimpin kelas yang teladan.
Altezza hanya tertawa saja ketika teman-temannya meledeknya seperti itu, entah kenapa hatinya sedikit bersedih karena Risa tidak mau ikut menjenguk Monara dan Gino. Padahal ini juga akan menjadi kesempatan baginya untuk meminta maaf kepada Monara dan Gino atas apa yang sudah diperbuat.
Di apartemen, Risa justru sedang menonton film. Ia merentangkan kedua kaki dan tangannya karena terasa pegal setelah membersihkan banyak WC yang ada di sekolahnya. Berbagai cemilan terlihat memenuhi mejanya, semua cemilan itu pemberian dari umi Altezza yang semakin memperhatikannya. Perlahan ia sadar jika umi Altezza tidak hanya mengasihaninya, tapi lebih ke memberi perhatian dan kasih sayang sebagai seorang ibu. Sekarang Risa bisa menerimanya dengan senang hati.
"Gue jadi penasaran sama cewe yang jadi selingkuhan papa. Dia itu terlihat masih gadis, pas datang pagi-pagi ke sini pun dia pakai seragam cream. Apa dia salah satu murid dari sekolah SMAN 8 Pusaka, ya?!" gerutu Risa saat tiba-tiba ia mengingat wanita muda yang sedang bersama papanya di salah satu diskotik beberapa malam yang lalu.
Dengan cepat Risa menghubungi salah satu teman malamnya, Arlin. Arlin bersekolah di SMAN 01 Bratajaya. Sekolahnya lumayan dekat dengan SMAN 8 Pusaka, dan ia harus menggalinya secepat mungkin.
"Lin, Lo pasti tahu seragam berwarna cream itu anak mana. Kalau gue tebak sih itu pasti dari sekolah SMAN 8 Pusaka, deket sekolah Lo." oceh Naya tanpa basa-basi.
Wajahnya berubah drastis ketika Arlin membenarkan ucapan Risa, ia akan menunggu info kelanjutan dari Arlin dan ia akan menyiapkan rencana lain untuk mempermalukan gadis selingkuhan ayahnya. Ia ingin ayahnya berhenti dari kebiasaan buruknya, karena itu ia terus ketergantungan dengan minuman. Setiap ia merasa stres, bawaannya ingin minum dan pergi ke tempat hiburan malam.
Kelima teman malam Risa, berbeda-beda sekolah. Arlin dari SMAN 01 Bratajaya, Devi dari SMAN JatiAsih , Anya dari SMK Pertiwi, Celyn dari SMAN 5 Trindari, dan Syeril dari SMK 13 Putra Bangsa. Mereka berkenalan di club malam dan menjalin pertemanan hingga sekarang. Risa merasa kelima temannya ini selalu ada di saat dirinya membutuhkan, karena hubungannya dengan Viollet sahabatnya sejak dulu sudah tidak terlalu dekat lagi karena ia yang tertinggal di kelas 11.
"Jelek banget nasib gue. Punya papa yang terus-terusan main cewe, punya mama juga yang gak perhatian. Sekarang gue gak tau kemana perginya mama, nanya kabar lewat chat aja gak pernah. Nomornya pun gak aktif, dan sekarang gue gak tau harus apa lagi. Gue bener-bener ngerasa sendiri. Coba kalau gue gak dilahirin, gue gak akan pusing tuh sama namanya kehidupan." omel Risa sambil menatap dinding apartemen yang kosong.
Saat Risa hanyut dalam lamunannya, tiba-tiba handphone-nya berdering memberitahu jika ada pesan masuk. Risa langsung meraihnya dan kedua matanya membulat saat mengetahui siapa yang mengiriminya pesan. "Guru BK?!" kejutnya. Tanpa berlama-lama ia pun membukanya, lalu membacanya.
['Selamat siang, dengan ini saya selaku guru BK akan menyampaikan dan meminta saudari Risa Azkadina dari siswi kelas 11 A untuk mendatangi ruang saya tepat di jam delapan pagi. Saya tidak memberikan izin kepada saudari Risa untuk beralasan tidak dapat hadir tepat waktu. Sekian dan terima kasih.']
Risa membaca pemberitahuan dari guru BK-nya. Syok, cemas, dan penasaran bercampur menjadi satu. Ia menerka-nerka apakah ia dipanggil karena aksinya berama Viollet yang mem-bully Monara? Tapi jika ia, Viollet pun akan memberitahunya.
Dan tidak lama dari sana pesan terus bermunculan, mulai dari Viollet, papanya, dan Daniel. Mereka sepakat jika mereka pun dipanggil dan diminta untuk datang di esok pagi. Yang lebih mengejutkannya lagi, papanya langsung menelponnya. Ia harus menyiapkan telinga untuk menampung semua omelannya.
"Hallo?!" Risa mengangkat teleponnya dengan malas.
"Risa! Sudah papa bilang kamu harus baik-baik di sekolah. Papa sudah berikan kemewahan kepadamu, kamu malah memberikan yang buruk pada papa." omel Marko yang teleponnya di loudspeaker-kan.
Naya menggeleng bingung, ia kesal kenapa papanya tidak menyadari apa perbuatannya. Padahal yang menyebabkannya menjadi seperti ini adalah ulah papanya sendiri yang tidak benar-benar dalam mendidiknya.
"Risa!! Kamu mau jadi jagoan, hah?! Kamu senang bisa jadi preman di sekolah?" desak Marko.
Risa menggaruk kepalanya dengan kasar, "Pah, stop!!" teriak Risa. "Jangan terus-terusan menjudge aku seperti itu, ini semua bukan salah aku sepenuhnya. Papa juga terlibat dalam pembentukan karakter ku yang bejat seperti ini, papa lupa jika seorang ayah harusnya mendidik putrinya hingga besar?! Tapi mana?! Sampai sekarang papa tidak memenuhi tanggung jawab papa, mana ATM punya aku disita lagi." lanjutnya penuh kekesalan.
Deru nafas Marko terdengar sangat cepat, "Apa maksudmu papa tidak mendidikmu? Kamu yang tidak bersyukur memiliki papa yang selalu memberikan fasilitas bagus dan berharga." elaknya merasa tak terima dipojokkan seperti itu.
"Bukannya aku tidak bersyukur, tapi papa yang membuatku seperti ini." Risa menutup panggilannya sepihak. Ia melemparkan handphone-nya ke sofa dengan sembarang.
Pertengkaran antara seorang ayah dan anak juga terjadi di rumah Daniel, Daniel dipanggil ke ruang kerja ayahnya dan ia terus diberikan beberapa pertanyaan. Pertanyaan itu diiringi dengan omelannya yang membludak. Daniel hanya bisa menunduk terdiam dan tidak bisa mengelak lagi.
"Kamu tahu bagaimana aku berusaha menyekolahkanmu? Siang malam aku berusaha mencari uang agar kamu tidak kesusahan dalam bersekolah. Kamu tidak peduli dengan kesehatanku? Sedangkan mamamu sekarang tidak tahu ada di mana, berhari-hari aku mencarinya dan sampai sekarang masih tidak ditemukan." cerocos ayah Daniel tanpa henti. Tidak biasanya ayahnya marah dan mengucapkan kata-kata demikian kepadanya. Baru kali ini ia dimarahi seperti itu.
"Maafkan aku, pah. Aku salah. Tapi papa gak usah pedulikan lagi mama ada di mana, dia pasti sedang ada bersama pria selingkuhannya. Lebih baik papa mencari wanita lain saja, aku sudah benar-benar muak dengan mama." sahut Daniel yang sudah tidak bisa tinggal diam lagi.
"Cukup, Daniel! Dia adalah ibumu. Bagaimanapun juga sikapnya, dia adalah orang yang sudah melahirkan mu. Kamu tidak bisa berkata kasar seperti itu." tegas ayah Daniel.
Daniel kembali terdiam, entah kenapa ia semakin benci kepada Risa. Penyamarannya dalam mencintai Risa sudah cukup sampai di sana, ia enggan memberikan kasih sayang palsunya dan hanya ingin melampiaskan kekesalan ibunya terhadapnya. "Aku harus menemui Risa dan memberikannya luka. Aku tidak terima ayahku terus-terusan diperlakukan seperti ini oleh mamaku sendiri."
Daniel sangat benci kepada ibunya, ia memutuskan untuk mendapatkan hati Risa karena ingin membalaskan dendamnya yang tidak bisa ia luapkan kepada ibunya sendiri. Pikirnya, semua wanita sama saja. Ia tidak akan berhenti menjerat wanita incarannya sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkan. Tujuannya memacari Risa hanyalah membalaskan dendamnya saja.
"Tunggu saja aku, Risa Azkadina." batinnya menggeram.