"Umi, bisa tolong temani Altezza?!" pintanya pada saat ia kembali ke apartemennya.
Hafshah yang kebingungan mempertanyakan tujuan kemana anaknya ingin pergi, dengan satu kali anggukan Hafshah pun bangkit dan keluar menuju apartemen Risa. Ia memencet belnya sambil menoleh ke arah anaknya yang terlihat cemas. Ia sendiri pun belum tahu kenapa anaknya seperti ini, dan ia akan mengetahuinya karena Altezza memintanya untuk menemani hingga selesai perbincangan.
"Umi?!"
"Umi?!" batin Altezza saat mendengar Risa memanggil Hafshah dengan panggilan umi. Tapi dengan cepat ia mengenyampingkan masalah sepele itu dan kembali ke tujuan utamanya.
"Risa, aku mau bicara. Tapi ditemani sama umi, ya. Boleh?" Altezza meminta persetujuan.
Risa menggeleng tidak mau, ia memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu Altezza apalagi mengobrol.
"Risa, ini penting banget. Plis, ya?!" bujuk Altezza yang menatapnya lekat. Tatapannya yang lekat membuat Risa merasakan gemericik aneh, "Tak biasanya dia bersikap seperti ini, ketakutan. Biasanya juga dia memalingkan tatapannya saat mengobrol denganku, tapi sekarang? Ada apa dengan pria ini?" batinnya yang hanyut dalam tatapan Altezza.
Beberapa saat kemudian ia mengangguk dengan anggukan yang terpaksa. Ia pun mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Hafshah, lalu Hafshah menerimanya dan menggenggamnya sambil menoleh pada Altezza sebelum mereka berlalu masuk ke dalam.
Altezza menatapnya heran, "Sejak kapan umi dekat dengan Risa? Bukannya Risa selalu menjauh?" tanpa ingin berlarut-larut dalam kebingungan, ia pun masuk dengan penuh keyakinan untuk bisa menyelesaikan masalah temannya.
Risa menunggu Altezza yang ingin angkat bicara, kedua matanya pun melesat tajam di manik indah milik pria yang dicap menyebalkan. Risa menepuk mejanya saat Altezza masih saja menunduk, "Mau ngomong apa?! Cepetan, jangan ganggu waktu orang yang lagi istirahat." celetuknya.
Altezza pun menatap sang mama, dan Hafshah mengangguk mempersilahkan anaknya berbicara.
"Sorry, bukannya aku mau menghancurkan hidupmu. Tapi aku memang tidak mau melihat hidupmu semakin berantakan dengan adanya dia."
"Aduh, kamu ngomong apa sih?! Gak jelas banget, deh. Coba yang jelasnya gimana, kamu mau ngomong apa? Dia siapa aku gak tau siapa yang kamu maksud." tegur Risa.
Altezza memang merasa gugup saat ingin mengungkapkan segalanya, tiba-tiba saja bahasanya berantakan tanpa memiliki makna. Akhirnya ia pun mencoba untuk menenangkan diri, menarik nafas dan membuangnya perlahan.
"Aku tidak mau kamu memiliki hubungan lagi sama ka Daniel." ucapnya to the poin.
Bukan hanya Risa yang terkejut, Hafshah sendiri pun terkejut karena memang sebelumnya ia tidak diberitahu oleh anaknya ingin berbicara apa. Altezza hanya mengucapkan jika apa yang ingin disampaikannya itu sangatlah penting sehingga tidak bisa ditunda-tunda lagi.
"Apa-apaan ini, emangnya kamu siapa, hah?! Beraninya kamu mengatakan itu dan menyuruhku untuk menjauhi pacarku sendiri." sentak Risa yang tidak terima dengan perkataan Altezza.
"Risa, tolong dengarkan aku. Aku memang bukanlah siapa-siapa, tapi untuk kali ini dengarkanlah permintaanku." bujuk Altezza sambil menyatukan dua tangannya.
Altezza pun menjelaskan apa yang ia lihat, namun nyatanya Risa tidak mempercayainya dan malah akan menghubungi Daniel untuk menanyakannya langsung. Beruntung Hafshah menghentikannya dan menyuruhnya untuk meminta bukti pada anaknya. Akhirnya Risa kembali menyimpan handphone-nya dan menanyakan buktinya pada Altezza.
"Ini, aku tidak bisa merekamnya secara keseluruhan. Tapi aku pastikan kamu akan percaya setelah melihat videonya, dan semoga saja kamu bisa menyadarinya." Altezza menyimpan handphone-nya di atas meja.
Risa terdiam saat menyimak video yang diberikan Altezza, tiba-tiba saja dadanya berdegup kencang dengan menimbulkan rasa sakit yang teramat. "Dia menghianatiku?!" lirihnya. Badan yang tadinya tegap dan menentang Altezza yang berbicara semena-mena, kini ia lemah tak berdaya. Air matanya jatuh meluapkan kesedihannya atas apa yang sudah dilakukan Daniel terhadapnya.
Karena tak kuat lagi, Risa menoleh ke samping dan menatap Hafshah dengan tatapan yang layu. Hafshah pun tak tinggal diam, ia langsung merangkulnya dan mendekapnya dengan erat. Altezza yang melihat itu ikut bersedih sambil menunduk, namun hatinya sedikit merasa lega karena Risa sudah percaya kepadanya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah menggapai salah satu tujuannya untuk membuat Risa lebih bahagia lagi dengan menjauhkannya dari perbuatan yang tidak baik.
"U-m-i, takdir Risa seburuk ini?" dalam tangisnya Risa menyempatkan untuk bertanya pada Hafshah meskipun ucapannya sedikit tak terdengar jelas karena suaranya yang tersedu-sedu.
"Tidak, Risa. Hanya saja kamu sedang melewati proses kehidupan, Allah menunjukkan jika apa yang kamu lakukan ini tidaklah benar, sayang." jawab Hafshah sambil mengelus kepalanya.
Karena merasa tidak setuju, Risa pun mengelak untuk membela dirinya sendiri. "Tapi aku melakukan ini karena takdirku juga, mi. Kedua orang tuaku tak pernah memperdulikan kehidupanku, aku melakukan apa yang aku mau dan dianggap benar."
Hafshah mendiamkannya lagi, lalu ia meminta Altezza untuk membawakan air minum agar Risa merasa lebih tenang. Dalam hatinya ia meyakini jika dirinya harus bisa membujuk Risa untuk ikut ke pesantren. Meskipun tidak akan seperti santriawati lainnya, tapi perlahan ia akan mengenalkan bagaimana menjalani peribadatan yang baik dan benar. Ia sendirilah yang akan turun tangan untuk melakukan itu, namun tetap akan ada bantuan dari suaminya dan guru-guru lain di bidangnya.
Setelah Risa terlihat tenang, Altezza kembali mengangkat mulutnya untuk mengungkapkan hal lain. Ia menceritakan pembicaraannya dengan ayah Daniel ketika berada di kantin. Lagi-lagi Risa tidak percaya dengan kenyataan yang ia terima, pria yang dibangga-banggakannya justru malah menghianatinya. Ucapan-ucapan kasar sudah menggulung di dalam benaknya, ia ingin membuncah kan amarahnya saat ini juga. Tapi Altezza memintanya untuk sabar hingga malam nanti tiba.
"Nanti kamu harus ikut aku." pinta Risa.
Permintaan yang tidak pernah dibayangkan oleh Altezza pun muncul, namun ia tidak bisa menjawabnya karena merasa ragu. Ia merasa kedatangannya akan membuat suasana semakin memanas, dan ia pun ragu karena memang tidak pernah datang ke tempat itu sebelumnya.
"Umi," Altezza meminta agar Hafshah menolaknya. Namun nyatanya Hafshah tidak sedang berpihak kepadanya, "Ikutlah, nak. Kamu harus tetap menjaga Risa, agar Daniel tidak macam-macam." ucapnya.
"Baiklah." terpaksa Altezza mengikuti ucapan ibunya.
Hati Risa terasa tenang saat Altezza menyetujuinya, ia pun kembali memeluk Hafshah dan memejamkan matanya untuk merasakan ketenangan yang tidak pernah ia dapat sebelumnya.