Risa terlelap dalam dekapan Hafshah. Dunianya yang hancur terasa kembali tersusun saat bersamanya. Ketulusannya sudah membuat hati Risa lembut tak mengeras lagi, dan bahkan sekarang Risa merasa sudah mempunyai seorang ibu daripada sebelumnya.
Dalam mimpinya, Risa bertemu dengan mama kandungnya. Ia menuntunnya untuk menyebrangi jembatan yang sangat panjang. Di bawah jempatan itu mengalir air sungai dengan aliran yang cukup deras, bahkan hampir meluap menghanyutkan jembatannya.
"Mama jangan lepaskan tangannya lagi, kita harus segera melewati jembatan ini. Jika tidak kita akan terbawa arus sungai yang semakin deras." ucap Risa sambil terus menggenggam tangan Salsa, ibu kandungnya.
Meskipun belum terlalu tua, tapi Salsa dituntun oleh Risa yang semula tidak pernah peduli akan hidupnya karena Salsa pun bersikap seperti itu pada anaknya. Sekarang Risa tidak pedulikan keegoisan dan kejaimannya lagi. Yang ia inginkan hanyalah menyelamatkan ibu kandungnya dari bahaya arus sungai yang siap menghanyutkannya.
"Tidak, Risa. Mama tidak bisa meneruskan perjalanan ini. Mama gak kuat. Pergilah, sebelum arus itu menghanyutkanmu." titah Salsa yang langsung melepaskan genggaman tangannya dengan kasar.
Air mata Risa berhamburan keluar, ia mendebat mamanya agar tidak bersikap keras kepala ketika sedang genting seperti ini. Risa ingin dirinya dan ibunya selamat, bukan salah satu diantaranya. Dengan kuat lagi Risa menggenggam tangan sang ibu dan tidak memperdulikan lagi ocehannya yang semakin menjadi.
Namun di saat seperti itu, Marko meneriaki Risa dari belakang. Ia masih berada jauh dari istri dan anaknya.
"Papa?! Papa! Tunggu di sana, aku akan menjemputmu." teriak Risa yang menggantikan tangannya dari genggaman sang ibu oleh seutas tali yang terbentang panjang sebagai bantuan penyebrangan.
"Tidak! Pergi saja kamu. Bawa ibumu ke sana, jangan sampai arus ini membawa kalian. Biarkan aku berjalan seorang diri. Aku akan sampai ke sana dengan cepat." Marko menjawab teriakan Risa.
Risa yang tidak tega terus berjalan dengan hati-hati di atas jembatan yang tidak terlalu kokoh itu. Ia melihat ibunya sudah sedikit lagi sampai, namun ia masih harus menjemput sang ayah yang tampak tua dan susah melagkah.
"Tidak, papa. Risa harus menjemputa papa."
"Tidak! Jangan mendekat, lihat air di sana semakin deras dan mendekat ke arah kita. Kamu pergi saja!" sahut Marko panik.
Risa yang juga semakin panik berusaha untuk berpikir kritis. Jika ia menghampiri ayahnya, waktunya tidak akan cukup karena jaraknya lumayan jauh. Dan jika ia kembali berbalik menolong ibunya, Risa masih bisa menyelamatkan dirinya dan diri Salsa.
"Papa." lirihnya dengan air mata yang menetes.
"Kembali! Selamatkan mamamu, jangan kembali ke seini. Pergi!!" teriak Marko menyadarkan lamunan Risa.
Dengan penuh kesedihan Risa berbalik badan dan kembali menggenggam tangan sang ibu agar bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Lantas pendengarannya semakin terganggu dengan suara gemuruh air yang semakin mendekat. Risa pun sampai bersama ibunya dan …. "Papa!!" teriak Risa saat air sungai yang deras itu menghanyutkan jembatan beserta papanya.
Seketika lututnya rapuh dan melemah, ia bersimpuh di atas tanah yang juga sudah mulai retak-retak karena kekuatan air sungai yang sangat deras. Tanpa meminta persetujuan dari anaknya, Salsa menarik Risa agar tidak terlalu dekat dengan bibir sungai. Hal itu akan sangat membahayakan nyawanya dan bisa-bisa ia mengikuti ayahnya yang hanyut tak tertolong.
"Pah … papa!!!" teriak Risa meluapkan segala kesedihannya.
"Risa! Astaghfirullah, kamu kenapa sayang?!" Hafshah yang sedang berdo'a setelah shalat subuh langsung bangkit terkejut mendengar teriakannya.
Risa yang masih terengah-engah karena mimpi buruknya terus merintih memanggil papanya, mimpi itu seperti nyata. Bahkan tubuh Risa pun terasa sangat lemah dan lelah.
"Papa, papa di mana?!" tanyanya pada Hafshah.
"Papa tidak ada, Risa. Risa, tubuhmu panas sekali. Kamu demam, nak." Hafshah semakin panik ketika suhu tubuh Risa panas tak seperti biasanya.
Ketika Hafshah sibuk membenahi Risa, Risa malah terus meracau memanggil papanya dengan air mata yang terus mengalir. Hafshah memutuskan untuk menghubungi taxi online dan akan segera membawanya ke Dokter. Namun belum juga ia menelponnya Altezza suda terlebih dulu membuka pintu kamarnya.
"Umi, Risa kenapa?!" tanya Altezza panik.
"Altezza, kenapa kamu kesini? Harusnya kamu istirahat, nak. Tubuhmu juga masih perlu istirahat." Hafshah malah menegur anaknya karena tak tega melihat anaknya yang datang dengan kaki pincang.
"Tidak apa-apa, umi. Tadi Altezza sedang membereskan ruang tamu dan dapur Risa yang berantakan, tapi Altezza dengar suara umi yang panik. Jadi Altezza langsung ke sini." ucapnya. Hafshah pun menjelaskan apa yang sudah terjadi, tapi ia masih belum bisa menjelaskan mimpi Risa karena ia belum mengetahuinya.
Tanpa berlama-lama lagi, ia menghubungi Gabriel untuk meminta bantuan. Ia sudah sepakat bersama sahabatnya itu akan membantu Risa dan melindunginya. Hafshah pun jadi sedikit tenang karena ia tidak perlu memesan taxi online yang belum tentu cepat datangnya.
"Papa … maafin Risa." lirih Risa lagi.
Altezza menatap Risa dengan tatapan sendu, wajahnya sudah pucat pasi. Hatinya terenyuh menyayangkan sikap kedua orang tua Risa yang bersikap acuh dengan anak mereka sendiri. Sudah tidak bisa dibayangkan jika ia berada di posisi Risa. Ia belum tentu sekuat Risa.
Beberapa menit kemudian Gabriel datang bersama ketiga bodyguard-nya. Mereka langsung membopong Risa sampai mobil.
"Gabriel, maaf ya. Lagi-lagi aku meminta bantuanmu. Aku bingung harus ke siapa, jika pesan taxi online pun tidak tahu bisa atau tidaknya. Soalnya Risa harus digotong, dan pasti sopir taxi tak mampu mengangkatnya seorang diri." ucap Altezza.
Gabriel tersenyum, "Tidak usah meminta maaf. Lagian kita sudah sepakat untuk membantunya hingga selesai, aku akan selalu bersamamu, Al." jawab Gabriel sambil menepuk pundak Altezza dengan tegas.
Setelah itu Gabriel meminta Altezza untuk tidak ikut ke rumah sakit, ia akan mewakilinya bersama dengan Hafshah. Hafshah pun menyetujuinya, ia memintanya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Mendengar permintaan dari keduanya, ia pun mengangguk patuh. Ia mempercayakan penjagaan Risa kepada umi dan sahabatnya.
"Kamu akan segera mendapatkan kebahagiaanmu, Risa." lirih Altezza menatap kepergian mobil Gabriel.