Selama Risa disuapi, Hafshah menceritakan kejadian semalam. Ia tidak menyembunyikan apapun darinya, karena ia juga ingin tahu apa yang sudah dimimpikan Risa sampai membuatnya menangis seperti semalam.
"Risa bermimpi menemani mama Risa, mi. Risa menuntun jalannya mama saat melewati jembatan panjang nan kuno, terus Risa juga …," Risa pun menceritakan semuanya dari awal hingga mimpinya selesai.
Tanpa dirasa air matanya menitik membasahi pipinya sendiri. Ia tidak sanggup menahan kesedihan ketika papanya terlihat hanyut ditelan air sungai yang deras. Meskipun beberapa detik kemudian ia kembali ketus karena rasa kesal pada papanya lebih tinggi, tapi tetap saja hatinya merasa sakit saat mengingat kejadian itu.
Hafshah ikut menenangkannya, ia tahu jika mimpi Risa ada keterkaitannya sama kehidupannya saat ini. Di mana ibunya masih mau dituntun untuk sampai ke tujuan, sedangkan ayahnya tidak mau dan malah menyuruh Risa untuk kembali bersama istrinya.
"Kamu tahu di mana ibumu sekarang?!" tanya Hafshah.
Risa menggeleng, "Setelah papa dan mama bercerai aku langsung pindah ke apartemen. Aku gak sanggup lihat kelakuan mama dan papa yang terus begitu. Setelah pindahnya aku ke apartemen, mama tidak pernah lagi berhubungan denganku. Bahkan sekarang aku gak punya nomornya sama sekali." terangnya.
Gadis yang malang. Di saat pertumbuhannya menuju dunia yang sebenarnya, Risa malah tidak diapit oleh kedua orang tuanya dengan baik. Mereka kerap kali sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Padahal tidak seharusnya mengabaikan buah hati yang jelas-jelas sedang membutuhkan pengawasan keduanya.
Tidak hanya menceritakan mimpi tadi malam, Risa pun menceritakan kelakuan mama dan papanya saat ia masih ada di rumah. Ia belum pernah merasakan canda tawa di ruang keluarga bersama mereka. Jika Risa mengawalinya duduk di ruang keluarga, yang ada kedua orang tuanya bertengkar menyalahkan satu sama lain. Padahal sudah jelas Risa tahu kesalahan kedua orang tuanya, dan Risa rasa keduanya bersalah.
"Terkadang aku heran, mi. Kenapa aku bisa dilahirkan ke dunia jika takdir selalu mencaciku. Aku pernah ingin berdamai dengannya, tapi nyatanya lagi-lagi takdir menyerangku begitu saja. Orang tuaku bercerai, aku tidak naik kelas, selalu bertemu dengan pria kuno yang menyebalkan, diskors satu bulan, dan sekarang … pacarku berkhianat di belakangku bersama sahabat kecilku sendiri. Apa memang aku ditakdirkan untuk tetap seperti ini? Berjibaku dengan masa yang menyebalkan yang membuat aku selalu merasa diriku tidak ada harganya di mata mereka, bahkan di mata takdir."
Hafshah menatap Risa dengan tatapan sendu. Ingin sekali ia merangkulnya dan mengatakan, 'Sayangnya umi, boleh umi anggap kamu sebagai anak umi?!'. Tapi Hafshah berpikir dua kali, ia takut Risa menganggapnya lain. Seperti sebelum-sebelumnya, Risa pernah menganggap Hafshah hanya merasa kasihan terhadapnya. Sehingga ia diabaikan dan dijauhi Risa beberapa waktu.
Untuk merespon ungkapan Risa, ia meraih tangannya dengan lembut. Tidak hanya itu, ia pun menyeka air mata yang keluar dari ujung matanya.
"Risa, Allah tidak akan menguji hambanya melebihi dari batas kemampuannya. Bahkan kuncinya Allah sudah membocorkannya di dalam Al-Quran. Jika manusia sedang ada dalam masalah yang rumit terus dia bertanya di mana Allah, maka jawabannya 'fainni qoriib.' Katakanlah Muhammad, sesungguhnya aku dekat. Kemudian Allah mengatakan lagi, 'Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.' Jadi kita harus berdoa, melakukan perintahnya, dan beriman kepada-Nya. In syaa Allah membantu setiap masalah kita, Allah akan kabulkan doa-doa yang kita langitkan dengan tulus dan terus-menerus." Hafshah sedikit membacakan ayat Al-Quran surat al-baqarah ayat 186 beserta artinya.
Entah kenapa, baru kali ini rasanya Risa merasa tenang ketika mendengar ceramah. Biasanya ia tidak akan membuka kupingnya atau bahkan hatinya. Tapi untuk Hafshah, bulu kuduknya sampai merinding menyimak semua ucapannya.
"Tapi Risa gadis malam, mi. Bagaimana Allah mau dekat sama Risa. Orang Risanya aja gak tau gimana caranya shalat, berdoa, terus apa itu iman, dan lain-lain. Mereka tidak pernah mengajarkan Risa semua itu. Yang selalu mereka tunjukkan adalah kekayaan, keborosan, kesenangan dunia, perselingkuhan, perdebatan, dan hal-hal lainnya yang mungkin tidak pernah umi lakukan."
Hafshah tersenyum mendengar ucapan Risa barusan, mungkin ini saatnya untuk Hafshah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di kehidupannya dulu. Agar Risa lebih merasa semangat untuk berubah dan perlahan ia bisa memperbaiki semuanya.
"Kamu mau melupakan kesenangan itu semua jika kamu mau menjadi Risa yang sebenarnya?!" tanya Hafshah memastikan terlebih dahulu.
"Ris, gila ya, kamu. Tulang hidungku hampir aja patah, kamu sih."
Belum juga Risa menjawab pertanyaan Hafshah, Anya beserta teman-temannya tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ternyata ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan masalaluku sebagai pembelajaran bagi Risa. Lebih baik aku mundur dan memberi waktu untuk Risa mengobrol bersama teman-temannya." Hafshah membatin. Ia pun mengelus tangan Risa memberi isyarat jika ia akan duduk di sofa belakang. Di sana sudah tidak ada bodyguard Gabriel karena sudah pergi ke apartemen Altezza.
"Iya sorry, Nya. Tadi aku lagi ngamuk, jadi kamu kena lemparannya deh. Makannya lain kali kalau mau masuk ke rumah atau ruangan orang itu diketuk dulu pintunya, jangan asal masuk aja. Gimana kalau aku lagi ganti baju, ih males deh." omel Risa.
Anya terkekeh dalam rasa sakitnya, ia pun meminta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi. Kemudian Devi menjelaskan jika tadi dirinya menghubungi Risa, tapi yang jawab malah bukan Risa. Risa yang sudah tahu pun menjelaskan hal yang sama.
"Eh tapi kalian ko bisa ada di sini? Emangnya sekolah kalian libur?!" tanya Risa serius.
"Yailah, Ris. Kaya gak tau kita aja, kita titip absen. Biasa, alasannya sakit. Kita kan beda sekolah, jadi bebas mau alesan yang sama pun gak akan ketahuan. Ya, gak?!" Devi meminta kesepakatan pada teman-temannya yang lain.
"Yoizzzz, Dev. Siapa suruh nasib kita sama. Ya kita bolos bersama juga," sahut Celyn.
Risa tertawa mendengarnya. Kemudian ia mengembalikannya ke mode serius. Ia menanyakan selingkuhan papanya yang ternyata sekolahnya sudah diketahui. Dari sini Hafshah paham kenapa Risa memiliki teman yang berbeda sekolah, ternyata yang mengalami kesedihan menjadi anak broken home itu bukan hanya Risa. Tapi mereka. Mereka yang jumlahnya tidak dua atau tiga, melainkan lima sekaligus.
"Ah, kamu. Bahas yang ginian, harusnya pikiran kamu itu diistirahatkan. Jangan cuma tangan aja yang diinfuse, tuh otak juga. Cape deh ngedengernya." gerutu Devi yang memang malas untuk membahas masalah perselingkuhan papanya Risa.