"Terima kasih ya, nak Gabriel. Semoga Allah membalas kebaikanmu, dan sekarang kita biarkan Risa istirahat sampai ia bangun."
Hafshah menutup pintu kamar apartemen Risa dan menggiring Gabriel ke ruang tengah. Namun belum saja mereka duduk kembali, Gabriel pamit karena harus menjemput ibunya yang masih ada di rumah temannya. Ibu Gabriel melakukan perkumpulan satu bulan sekali di rumah teman-temannya secara bergiliran, dan perkumpulan ini hanya dilakukan oleh istri-istri pengusaha besar.
Tidak lupa Hafshah menitipkan salam perkenalannya kepada ibu Gabriel. Dengan jalur ini ia memperkaya persaudaraan dan tetap bisa memiliki banyak sadara meski tidak sedarah.
Setelah kepergian Gabriel, Hafshah pergi ke apartemen anaknya. Ia akan mengecek lagi kondisinya yang memprihatinkan. Tadi Hafshah belum bisa mengobati Altezza secara langsung karena memang Altezza sendiri lah yang memintanya untuk tetap mengurus Risa. Sehingga ia meminta bantuan Gabriel untuk membersihkan luka anaknya.
"Umi, bagaimana keadaan Risa?!" tanya Altezza saat melihat uminya datang ke kamarnya.
Hafshah tersenyum manis, "Risa sedang istirahat, nak. Kita akan tunggu sampai dia bangun. Kamu juga istirahat, ya. Umi tidak mau lihat kamu sakit lagi, dan in syaa Allah kamu mendapatkan pahala yang baik karena sudah menolong Risa." jawab Hafshah yang tetap menyemangati anaknya dengan caranya.
"Aamiin."
Hafshah pun menaikkan selimbut anaknya hingga menutupi lehernya. Kemudian ia pun pergi ke kamarnya karena ia juga harus istirahat. Hari sudah malam, dan malam adalah waktunya untuk istirahat.
Pada pukul satu lebih dua puluh tujuh menit, Risa terbangun dengan wajahnya yang mengernyit hebat. Bukan hanya fisik yang terasa sakit, tapi hati pun ia masih saja nyeri. Ini bukan jam biologisnya untuk bangun, karena biasanya Risa bangun di jam setengah enam atau jam enam pagi. Namun kali ini masalah yang menimpanya lah yang sudah membangunkannya.
Bangun-bangun ia kembali menangis, menatap gorden kamarnya dan mencercanya dalam gerutuan batin. Bukan mencerca gorden kamarnya to, tapi ia mencerca Daniel dan sahabat masa kecilnya yang sidah mengkhianatinya.
Dari lamunan biasa, tangisan biasa, cercaan biasa, kemudian datanglah emosi yang menggelora di dalam dadanya. Kedua matanya beralih ke arah handphone-nya yang di simpan di atas nakas. Dengan kasar ia meraihnya dan menghubungi salah satu nomor pria yang ia sesali hidupnya karena sudah menjadi bagian darinya. Itulah Marko, ayah yang kembali merusak hidupnya karena perselingkuhannya.
Terdengar suara degupan musik yang sangat kencang dari balik telepon ayahnya saat sambungan telepon mereka tersambung. Risa semakin kesal karena ternyata sang ayah masih ada di tempat biasanya, diskotik.
"Kenapa papa gak pernah bilang kalau papa pernah menyelingkuhi ibu Maria?!" teriak Risa to the poin.
Marko yang sedang ada dalam pengaruh alkohol hanya bisa menggerayam tak jelas. Hal ini membuat Risa murka dan terus meluapkan emosinya dengan teriakan-teriakan yang mematikan. "Kenapa papa selalu memberiku kesengsaraan?! Kenapa papa membuat hidupku jadi berantakan?! Kenapa kamu membuatku terluka dalam takdir?! Apa salahku sampai papa menelantarkan aku sebagai anakmu?! Tidakkah papa sadar akan kewajiban papa yang seharusnya mengayomi, mendidik, dan mengasihiku sebagai putrimu?! Hah?! Kenapa, pah, KENAPA?!!!"
"Risa…" Hafshah masuk ke kamar Risa dengan panik. Padahal ia masuk ke apartemen Risa hanya untuk mengecek kondisinya, dan ternyata Risa sedang menangis.
Hafshah langsung memeluknya dengan erat, menenangkannya dengan elusan hangat dari seorang ibu. Dalam dekapannya Risa semakin histeris mencekal handphone-nya dengan kuat. Hafshah tahu Risa sedang menelepon dengan papanya, dengan itu ia tidak berani membawa handphone-nya sembarangan.
"Arrgghhh!! Percuma teriak-teriak sama orang yang gak pernah peduli pada hidup anaknya." Risa semakin mengamuk dan melempar handphone-nya dengan keras ke dinding kamarnya sehingga handphone itu mati dan kacanya retak.
"Risa, Risa, tenang, sayang. Sini, sini, nak. Lihat mata umi." Hafshah menangkup pipinya dengan kedua tangannya. Ia terus menjaga amarahnya agar tidak ikut kesal dengan sikap Risa yang semakin menjadi.
"Sayang, umi di sini. Kamu tidak perlu mengamuk seperti itu. Kamu tidak sendirian. Kamu masih mempunyai umi yang sayang sama kamu, kamu tidak perlu mengamuk pada papamu seperti tadi. Ingat, nak. Semua gembok pasti ada kuncinya, dan semua masalah pasti ada solusi penyelesaiannya. Hadirkan Allah di hatimu, hadirkan umi di hatimu, sekarang umi adalah umimu. Umi tidak bisa melihat anak umi terluka seperti ini." ungkap Hafshah dengan suara yang sangat lembut. Di samping itu ia pun masih mengenakan mukena karena baru saja menyelesaikan shalat tahajjud.
Risa tersedu-sedu dalam tangisnya, apa yang ia alami saat ini sangatlah berat karena seharusnya orang tuanyalah yang hadir dalam setiap kedinginan bukan orang lain. Orang tuanya benar-benar tidak peduli terhadap hidupnya, dan ia sangat menyesal karena sudah lahir dari rahim ibu yang tidak sama sekali tidak peduli pada dirinya dan hidupnya.
"Ta-pi o-ra-ng la-in mendapat kasih sayang yang tulus da-ri orang tuanya mi. Risa tidak begitu, justru mereka lah yang sudah me-nghancurka-n hidup Risa. Sehingga Ri-sa harus menjalani takdir yang kusam se-perti ini." gerutu Risa dengan terbata-bata karena efek dari tangisannya.
Hafshah paham, dan ia pun akan lebih ekstra untuk merangkulnya. Risa bukanlah anak santri yang sudah ada basic untuk memahami setiap nasihatnya, tapi ia adalah gadis kota yang sedang bertumbuh dalam pengaruh lingkungan yang membingungkan.
Di tengah orang lain yang sedang tertidur pulas, justru Risa sedang meratapi nasibnya. Sampai sekarang ia tidak dihubungi oleh mamanya, bahkan sekarang nomornya saja ia tidak punya.
Kesedihan Risa juga dirasakan oleh Altezza. Selepas shalat Altezza terus memohon kepada Allah agar bisa menguatkan Risa. Ia tahu beban hidupnya sangat berat, masalahnya pun bertubi-tubi hadir. Jika ia berada di posisi Risa, mungkin ia akan lebih hancur darinya.
"Semoga hari esokmu lebih bahagia, Risa." lirihnya dalam barisan doa terakhirnya.