"Agar apa, nak?!" tanya ayah Daniel penasaran.
Daniel pun berusaha mengatakannya dengan sopan, "Maaf, pak. Agar tidak ada kesalahpahaman antara saya dengan teman saya, Risa. Kebetulan Risa ini adalah pacarnya Daniel, setahu saya Risa pernah mencurahkan di dalam note-nya jika nasibnya sama dengan nasib Daniel. Maaf, ayah Risa suka bermain wanita, dan begitupun dengan bapak sebagai ayah Daniel. Risa menuliskan jika dirinya dan Daniel terluka gara-gara orang tua." ungkapnya hati-hati.
Ayah Daniel paham, "Baiklah, silahkan tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan." ucapnya.
Altezza pun bertanya jika apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Daniel, dan tidak lupa ia pun bertanya mengenai hubungannya dengan anaknya. Altezza benar-benar harus paham apa yang sudah terjadi dengan kehidupan Daniel, agar ia bisa meyakini hatinya jika Daniel tidak sedang mempermainkan Risa.
"Apa perkataan saya sesuai dengan yang sudah terjadi?" tanya Altezza.
Ayah Daniel pun tersenyum, "Tidak, nak. Sebenarnya ibunya lah yang sudah menduakanku. Bahkan sampai sekarang dia entah ada di mana, kami yang khawatir mencarinya, tapi ibunya Daniel seperti tidak peduli dengan kekhawatiran kami." jelasnya.
Altezza pun paham, di sini satu kebenaran sudah terkuak. Untuk lebih menguatkan aksinya sebagai bukti nanti, ia meminta izin kepada ayah Daniel untuk merekamnya. Dengan senang hati ayahnya Daniel pun memberinya izin. "Sepertinya kamu khawatir sekali dengan Risa, apa ada sesuatu dengan kalian?" tanyanya penasaran.
"Oh, kami tidak ada sesuatu apapun pak. Saya hanya khawatir saja jika Risa terus-terusan bersikap seperti itu. Maaf bukannya saya merendahkan Daniel, tapi sewaktu itu pun Risa malah diberi uang untuk bisa pergi ke diskotik. Saya kira dia akan melarangnya dan mengalihkannya ke hal lain, tapi sayangnya malah memberi keleluasaan." ungkap Altezza.
Ayah Daniel tersenyum mengembang, sedari awal ia memang sudah pro dengan sikap dan karakter Altezza. Kepeduliannya sangat tinggi kepada orang lain, bahkan ia pun tidak merasa marah ketika mendengar penjelasannya barusan yang melibatkan anaknya yang memang terpandang bandel.
"Baiklah, saya percaya. Sebenarnya saya pun sering menasehati Daniel untuk tidak berbuat hal-hal yang aneh, terlebih memberikan keleluasaan kepada Risa untuk bisa pergi ke diskotik. Dan lagi, Daniel tidak pernah menceritakan soal hubungannya bersama Risa ketika di rumah. Yang sering saya lihat adalah kemarahannya pada ibunya, sehingga ia pernah mengatakan jika dirinya tidak akan pernah mencintai wanita dengan mudah."
Kedua alis Altezza mengerut sempurna. "Bukannya ka Daniel sering membela dan mengatakan di depan semua orang jika Risa hanyalah miliknya dan ia pun selalu menghantam orang-orang yang sudah membuat Risa terluka." batinnya.
"Daniel tidak pernah menceritakan Risa di depan bapak?!" Altezza memastikan.
"Iya, tentu. Bahkan saat aku menanyakan hal demikian ia selalu menjawab ke hal yang lain, yang selalu dibicarakannya hanya tentang kekesalan pada ibunya dan kepeduliannya pada gengnya."
Altezza semakin merasa penasaran dengan penjelasan ayah Daniel. Namun, belum juga ia menyelesaikan semua pertanyaannya, bel sudah berbunyi. Itu tandanya waktunya sudah habis, dan harus segera masuk kelas untuk jam kedua.
"Pak, mungkin sampai di sini dulu. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan, tapi waktunya tidak cukup."
"Tidak apa, kamu bisa menghubungiku kapanpun. Ini kartu namaku, di sana ada nomor handphone-nya." ayah Daniel memberikan Altezza kartu nama.
Dengan senang hati Altezza membawanya dan menunduk terima kasih.
Di sisi lain, Risa, Daniel, Rio, dan geng Marvooz lainnya sedang ada di markasnya. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing sambil merencanakan apa yang akan mereka lakukan untuk satu bulan ke depan. Risa yang merasa semakin hampa hanya bisa menyandarkan kepalanya di pundak sang kekasih, sedangkan Daniel malah sibuk memikirkan bagaimana caranya menghancurkan Risa.
"Bee, kamu mau gak pergi ke diskotik malam ini?" tanya Daniel dengan suara rendah, sehingga tidak ada orang yang tahu kecuali mereka.
Spontan Risa bangkit dari sandarannya, "Serius kamu?" hatinya berbunga-bunga karena sudah lama ia tidak pergi ke tempat favoritnya. Daniel mengangguk sebagai jawaban dengan penuh keyakinan, ia pun sampai mengatakannya beberapa kali agar Risa percaya.
"Boleh, tapi aku mau tanya sesuatu."
"Tanyakanlah."
"Kata kamu ayah kamu sama seperti ayahku, dia juga temperamen, 'kan?! Tapi kenapa ketika tadi di sekolah ayah kamu justru berbicara dengan penuh wibawa dan wajahnya memancarkan aura positif."
Daniel terdiam, hatinya mencerca dirinya sendiri karena sudah ceroboh. Seharusnya, sebelum ia pergi ke sekolah, ia meminta terlebih dahulu kepada papanya agar tidak mengatakan apapun di depan semua orang. Dengan itu Risa tidak akan curiga dengan sikap asli papanya.
"I-itu perasaan kamu, sikap asli papaku gak seperti itu. Aslinya seperti apa yang aku sering bicarakan sebelum-sebelumnya, kamu jangan percaya dengan kedok yang dipakai papaku, ya." Daniel berusaha meyakinkan Risa agar tujuannya tetap terlaksana.
"Oke, aku lebih percaya sama kamu." ucapnya sambil kembali menyandarkan kepalanya di pundak Daniel.
Karena suasana semakin terasa hambar, Risa pamit lebih dulu. Ia ingin membaringkan tubuhnya dan bermanja-manja di apartemen. Perasaannya sudah kembali normal dan ia senang karena nanti malam akan berpesta melepas kepenatannya.
"Loh, kamu sudah pulang, Risa?!"
Langkah Risa terhenti ketika Hafshah keluar dari apartemen Altezza. Ia menjadi gugup saat ditanya seperti itu, meskipun sebelumnya ia merasa tidak peduli dengan kepedulian Hafshah, tapi sekarang ia mulai memperhatikan balik karena nasi goreng yang dibuatnya beberapa hari yang lalu.
"Risa di-skors, Bu. Selama satu bulan Risa tidak boleh masuk sekolah," jawabnya jujur.
Hafshah terbelalak, "Innalillahi, ibu turut bersedih, Risa." ucapnya lirih.
"Tidak apa-apa ko, bu. Risa malah senang, karena dengan ini Risa bisa bebas melakukan apa saja. Emmm sepertinya Risa harus masuk deh, Bu. Soalnya tubuh Risa butuh istirahat." ucapnya tanpa malu.
Hafshah tersenyum mempersilahkan, kemudian ia menatap Risa yang hendak menutup pintunya. "Risa!" panggilnya menghentikan aksi Risa.
"Iya?"
"Maaf, nanti siang ibu boleh mengirim mu makanan? Atau kamu mau makan siang bareng di sini?" Hafshah meyakinkan.
Tanpa senyuman Risa mengangguk, "Lebih baik ibu saja yang membawakan aku makanan, aku enggan makan bersama pria kuno yang menyebalkan." jawabnya ketus.
Hafshah mengernyitkan kedua alisnya, "Pria kuno yang menyebalkan?!" tanyanya.
"Iya, Altezza Cazim Al-Qahtani. Putra kesayangan ibu yang selalu membuatku kesal." responnya tanpa takut dan segan. Ia menunjukkan sikap aslinya, dan tidak jaim harus terlihat baik.
Hafshah tersenyum mendengar jawaban dari Risa, "Baiklah, ibu paham. Nanti ibu ke apartemen mu, ya."
"Tapi ibu makan juga di sini, ya. Biarkan pria kuno itu makan seorang diri, aku mau lihat bagaimana rasanya dibuat kesal." pinta Risa yang langsung diangguki oleh Hafshah. Ia pun menutup pintunya setelah Hafshah kembali mempersilahkannya untuk beristirahat.
"Lihat saja, pria kuno. Perlahan kamu akan tau akibatnya karena sudah membuatku kesal terus menerus. Kamu akan cemburu karena kedekatanku dengan ibumu, ibumu tidak akan lagi perduli terhadapmu." gertak Risa yang langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.