"Heh, ngapain lo istighfar. Emang gue hantu apa?!" kesal Risa yang langsung mendecih.
"Umi, lebih baik kita pergi." Altezza tidak merespon Risa, ia hanya meminta Hafshah agar mau pergi dari apartemen temannya.
"Tidak Altezza, lebih baik kamu tundukkan pandanganmu saja. Kita harus tetap ada di sini," Hafshah menolak ajakan anaknya karena ia yakin jika mereka bisa membuat Risa tidak pergi lagi.
Risa terus mencari keberadaan pria yang mengajaknya ke diskotik, tapi yang ia temukan bukanlah pria tadi, melainkan pintu kulkas yang terbuka lebar. Ia curiga dan langsung mendekatinya. Dalam setengah kesadarannya Risa berteriak kemana minumannya sekarang, dan siapa yang sudah mengambilnya.
Karena tidak ada yang merespon, akhirnya Risa melemparkan gelas-gelasnya ke dinding dapur. Membuat Hafsah bangkit dan menenangkan Risa. Namun usahanya dipandang buruk dan tubuhnya didorong kasar oleh Risa. Sehingga tangannya menginjak pecahan gelas yang langsung membuat Hafshah berteriak kesakitan.
"Umi?!" teriak Altezza panik. Dalam sakitnya ia membantu sang ibu untuk bangkit dan duduk di kursi. Gabriel pun langsung mengambil p3k di apartemen Altezza yang pernah ia lihat sebelumnya.
"Siapa yang sudah mencuri minumanku?!" teriak Risa lagi.
Altezza tidak meresponnya, ia masih fokus mencabut pecahan gelas dari tangan sang ibu. "Tahan, mi. Maaf," dengan hati-hati Altezza membasuh tangan Hafshah, lalu ia menutupnya dengan kasa yang dibawakan Gabriel setelah lukanya benar-benar bersih.
"Kalian tuli apa? Gue nanya, siapa yang udah nyuri minuman gue?" ulang Risa berteriak di hadapan ketiganya.
Altezza menunduk menahan amarah yang semakin memuncak, lantas ia pun bangkit saat Risa terus mencercanya dengan pertanyaan yang sama. " Aku, kenapa?" Altezza mengaku, ia melihat Risa yang semakin mundur dengan wajah yang kaku.
Ini kali pertamanya Risa melihat Altezza menatapnya dengan tatapan tajam, hatinya bergetar karena takut. Namun saat ia sadar sedang marah karena minumannya yang hilang, Risa kembali menegakkan tubuhnya. Ia menatap lebih tajam ke manik indah milik Altezza.
"Kenapa lo lakuin ini? Belum puas lo buat gue menderita, hah?! Gue butuh minuman itu!" teriak Risa tepat di wajah Altezza.
"Kamu salah, Risa! Sekarang kamu sedang membutuhkan Tuhan, Allah yang satu." Timpal Altezza lebih menekankan tatapannya.
Gabriel dan Hafshah masih fokus memperhatikan Risa dan Altezza yang sedang beradu mulut. Risa yang kekeh mencari minumannya, sedangkan Altezza kekeh dengan pendiriannya untuk menyadarkan Risa yang sudah salah langkah.
"Gak salah denger, gue? Buat apa gue membutuhkan Tuhan jika takdir yang diberikannya selalu menghimpit kebahagiaan gue. Dari dulu takdir yang udah rebut orang tua gue dari kehidupan gue, gue belum pernah merasakan kehangatan dalam berkeluarga, gue belum pernah merasakan bagaimana rasanya elusan seorang ayah, dan gue belum pernah merasakan dekapan seorang ibu ketika gue sedang terluka. Terus sekarang gue harus peduli dengan takdir yang udah buat gue menderita?! Gak! Gak akan pernah!" tolak Risa panjang lebar.
Altezza menunduk ketika melihat air mata Risa sudah membasahi pipinya, ia paham jika memang kehidupan Risa tidak sebagus kehidupannya. Tapi yang ia maksud adalah Risa tidak seharusnya menuruti semua nafsunya yang malah akan terus membuat hidupnya semakin terasa pelik.
"Allah tidak akan membebani seseorang melebihi batas kemampuan hambanya." Lirih Altezza yang ikut menitikkan air mata.
Mendengar perkataan Altezza yang selalu membuatnya muak, Risa langsung pergi dan menutup pintu kamarnya dengan kencang. Altezza semakin mengeratkan matanya untuk menenangkan dirinya sendiri, tapi tiba-tiba Gabriel datang dengan menepuk pundaknya. "Gue yakin lo bisa membantu Risa menjadi lebih baik lagi."
"Mudah-mudahan, dan Allah lah yang lebih berkehendak atas ini semua." lirih Altezza yang terlihat lemah.
Di keesokan harinya, Risa memutuskan untuk bersekolah. Meski malas, tapi ia harus menjaga agar dirinya tidak di drop out dari sekolahnya. Altezza pun memaksakan dirinya untuk bersekolah. Meski Hafshah sudah melarangnya, tapi Altezza tetap meminta izin dengan alasan ia juga harus menjenguk kedua temannya yang sedang sakit.
"Risa sayang, nasi goreng dan susu hangatnya di makan, ya. Jangan lupa bawa air putih ke sekolah, tumblernya sudah umi siapkan di dekat buah-buahan." Risa mengernyitkan kedua alisnya saat membaca pesan di note yang ditempelkan di meja dapur.
Tanpa sadar Risa tersenyum melihat perhatian Hafshah, ia merasa mempunyai seorang ibu yang mengurusnya. Tapi beberapa saat kemudian ia sadar jika semalam perlakuan anaknya sudah melampaui batas, ia kesal Altezza sudah menghilangkan minumannya.
Saat ia bangkit karena hendak pergi meninggalkan sepiring nasi goreng bertabur potongan sosis, perutnya tiba-tiba berbunyi dengan nyaring. Kedua matanya kembali menoleh ke nasi goreng dan terpaksa ia duduk kembali. "Gue gak akan bisa membeli semangkuk bubur nanti, dengan begitu gue harus memakan nasi gorengnya sekarang juga."
Kedua mata Risa membulat sempurna, "Rasanya enak sekali, ini jadi nasi goreng pertama yang gue sukai." Dengan lahap Risa terus menikmati nasi gorengnya. Bahkan wajahnya cemberut kerika ia melihat nasi goreng di piringnya tinggal sedikit. Ia pun mengenyangkan perutnya dengan segelas susu hangat.
Tepat di tegukan terakhir, kedua mata Risa tiba-tiba berair. Ia baru merasakan bagaimana kebahagiaan menjadi seorang anak yang dilayani oleh ibunya. Kehangatan sang ibu sangat terasa meski Hafshah bukan ibu kandungnya. "Gue ingin merasakan kebahagiaan ini setiap hari, perhatian kecil yang justru mencharger semangat gue untuk terus kuat menghadapi terpaan masalah." Ungkapnya lirih. Ia pun bangkit setelah menyeka air matanya.
"Astaga, bentar lagi gerbang ditutup." Risa panik saat melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih empat puluh. Itu terjadi karena Risa terlalu menghayati ketika dirinya sedang memakan nasi goreng buatan Hafshah.
Langkah cepat Risa terhenti ketika ia melihat Altezza keluar dari apartemennya. Mereka beradu tatapan dan dengan cepat Altezza segera memalingkannya. "Dalam kondisinya yang babak belur seperti itu dia masih mau sekolah? Cih, caper banget sih sama guru-guru." Batin Risa mencerca Altezza.
Dengan langkah yang sedikit pincang Altezza masuk ke dalam lift, mereka saling diam dan tidak ada yang berani memulai perbincangan. Hingga akhirnya Altezza membuka mulutnya untuk mengajak Risa berangkat bersama agar tidak terlambat. "Emang pincang kaya gitu bisa bonceng gue? Sini biar gue aja yang ngendaliin sepedanya." Risa merebut sepeda ontel dari tangan Altezza.
"Ngapain masih bengong? Lo mau telat? Cepetan naik." Titah Risa dengan nada ketus.
Altezza menggeleng, ia sudah salah mengajak. Seharusnya Altezza tidak mengajak Risa untuk bisa satu sepeda, tapi ia terlanjur mengcapkan ajakannya. "Ya ampun ribet banget, sih. Lelet, ya. Mau gak?" tanya Risa lagi.
"Aku jalan kaki saja, kamu bisa pakai sepedaku." Tolak Altezza.
Karena kesal Risa menarik dasi Altezza dan menjadikannya duduk menyerong, Risa mengayuh sepeda itu dengan kayuhan yang sangat cepat. Sehingga Altezza membulatkan matanya karena ternyata Risa sangat pandai mengendalikan sepeda. Namun tetap saja, ia merasa syok dan terus berpegangan pada besi sepeda ontelnya.
"Gayanya mau ngebonceng gue, tapi nyatanya gak kuat. Ngomong aja kalau lo itu gak sanggup untuk ngayuh, so gentle." Oceh Risa yang masih terus meningkatkan kecepatan sepedanya. Altezza hanya tersenyum saja, masih ada yang harus ia perdulikan selain occehan Risa. Yaitu keselamatannya agar tidak terjatuh dan akan membuat Risa semakin mengejeknya habis-habisan.