Chereads / Take down / Chapter 6 - RISA YANG HANCUR

Chapter 6 - RISA YANG HANCUR

"Cey! Risa ke mana?!" tanya Daniel pada Lacey saat dirinya tidak kunjung melihat Risa di sekolahnya.

"Gak tau. Biasanya jam segini sudah datang. Kakak juga yang pacarnya, kok nanya aku, sih." heran Lacey.

Tanpa merespon ucapan Lacey dan tanpa banyak cingcong lagi Daniel pergi dari kelas 11 A, ia berpikir jika kekasihnya itu tidak bisa masuk sekolah karena kondisi kepalanya yang terasa pusing akibat terlalu banyak minuman beralkohol. "Sudahlah, buat apa juga aku terlalu khawatir." acuh Daniel dengan senyumannya yang menyungging. Lalu ia pergi ke kelas dengan tas gendongnya yang sudah melekat di pandangan banyak orang.

"Risa tidak masuk? Tumben. Biasanya se-telat apapun, dia pasti akan tetap masuk." heran Altezza. Dengan tidak datangnya Risa ke sekolah, itu berarti hukumannya akan tertunda dan bahkan bisa membuat Merlin geram, lalu akan menambah tempo hukumannya lagi. Tapi Altezza tidak bisa mencari Risa ke apartemen sekarang, karena bel sudah berbunyi dan sebentar lagi guru pun akan masuk untuk memulai pelajaran.

Sebelum guru yang ngajar pagi ini datang, Altezza memanggil Elisha yang duduk sebangku dengan Risa. Ia menanyakan Risa apakah wanita itu memiliki riwayat penyakit atau tidak, "Ka Risa itu orangnya jutek, sangar, dan pemberani. Setahu aku sih dia gak pernah punya riwayat penyakit, hanya saja sikapnya yang sering aneh." jawab Elisha. 

Percakapan antara Elisha dan Altezza membuat semua wanita yang ada di kelasnya memandang sirik, tentu mereka sirik karena Altezza tidak pernah mau mengobrol dengan wanita selain memiliki kepentingan. Dan sekarang Elisha bisa mengobrol dengan Altezza tanpa ingin diganggu.

"Kenapa emangnya? Kamu suka, ya, sama ka Risa?!" 

Pertanyaan Elisha membuatnya kaku, "Sungguh, aku tidak pernah berpikir ke arah sana. Hanya saja Risa sedang menjalani hukuman selama satu Minggu ini dari Bu Merlin, dan aku sebagai penanggung jawabnya harus tetap mengontrolnya dan melaporkan hukumannya kepada Bu Merlin." jawab Altezza dengan yakin. 

"Iya iya, deh percaya. Tapi aku ingatkan ya, kamu itu kalau ngomong sama orang yang ditatap itu mata. Bukan lantai," tegur Elisha. Altezza sering sekali mendapat teguran seperti ini, bukannya ia tidak menatap lawan bicaranya. Hanya saja ia tidak terlalu fokus pada mata lawan jenisnya, ia tetap menatapnya sesekali.

Merasa tidak harus lagi berbincang, ia menyudahinya dengan membuka buku yang semalam ia buka. Ia berharap semoga dengan membaca buku motivasi para tokoh hebat bisa terus menguatkan dirinya untuk bersekolah di sekolah negeri. Berbaur sepentingnya di tengah-tengah pergaulan yang bisa dikatakan sedikit bebas, seharusnya ia tidak mengatakan itu karena di sekolah negeri pun banyak aturan yang bisa menjaga muridnya dari perbuatan-perbuatan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Dengan itu Altezza menggantinya dengan pergaulan yang memiliki kepribadian sendiri, di mana para siswa harus memilih antara mau mengikuti aturan, atau melanggarnya.

Hari ini Risa benar-benar tidak masuk sekolah, Altezza jadi semakin penasaran dengan keberadaan kakak kelasnya ini. "Semoga tidak terjadi apa-apa," gumamnya penuh harap saat dirinya tengah berada di lift menuju apartemennya.

Saat kakinya terus melangkah, kedua matanya disuguhkan dengan cairan berwarna merah yang mengarah ke kamar Risa. Ia panik dan terus memanggil Risa dari luar karena dirinya yang enggan masuk ke dalam untuk memastikan keberadaan kakak kelasnya ini. Dengan itu ia mencari cara agar ada orang yang mau menemaninya masuk ke dalam, dan mengetahui apa yang sudah terjadi dengannya.

"Pak, pak, pak, maaf mengganggu. Boleh saya minta tolong? Di kamar teman saya ada sedikit kecelakaan yang entah itu apa, dan sekarang saya harus mengeceknya. Untuk itu saya minta bantuan bapak agar mau menemani saya ke kamar teman saya ini." pinta Altezza dengan sopan saat pria tua hendak masuk ke pintu kamar nomor 2331.

Pria tua itu mengangguk mau, setelah kembali menutup pintu kamarnya ia pun langsung melangkah menyesuaikan langkahnya dengan Altezza. Mereka masuk bersama-sama dengan kaki yang menjinjit karena takut menginjak darah yang berceceran di bawah lantai, saat masuk pun mereka dikejutkan dengan tampilan ruang tengah yang sangat berantakan. Penuh dengan puntung rokok, dan barang yang berserakan.

"Ini benar kamar temanmu, nak?!" pria tua itu merasa tidak yakin ketika mencocokkan tampilan ruangan itu dengan gaya Altezza yang sangat terlihat sopan. 

"Iya, pak. Ini memang teman saya, teman sekelas saya." ucap Altezza di tengah kewas-wasannya. 

"Astaghfirullah …," Altezza langsung memalingkan wajahnya saat melihat Risa yang hanya mengenakan pakaian serba pendek di atas tempat tidur. Sedangkan pria tua tadi tidak memalingkan pandangannya karena ia sedang mencari dari mana darah itu berasal, meski ia sedikit terkejut dengan teman Altezza yang ternyata adalah wanita. Ia pikir temannya adalah pria karena banyak sekali puntung rokok di ruang tengah.

"Nak, nak, tangannya terluka." ucap pria tua ini menepuk pundak Altezza. Dengan cepat Altezza menutup pintu kamar Risa dan menatap pria tua ini dengan tatapan cemas. "Apakah istri bapak ada di sini?! Saya mau minta tolong agar bisa memakaikannya pakaian yang sedikit tertutup sebelum dibawa ke rumah sakit. Sekarang saya akan menghubungi ambulance untuk datang ke sini," ucap Altezza.

"Baik, saya akan segera memanggil istri saya untuk membantunya berpakaian yang layak." Pria tua itu keluar dengan langkah yang sangat cepat. Altezza pun tidak bisa tinggal di sana, ia ikut keluar sambil menghubungi ambulance agar segera menolong Risa.

Altezza tidak tahu dengan apa yang sudah terjadi, di sana tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan selain dari sebuah cutter yang tergeletak di bawah lantai. "Semoga saja masih belum terlambat," lirih Altezza dengan wajahnya yang terlihat cemas. Setelah menghubungi ambulance, ia melihat dengan sangat jelas pria tua tadi bersama dengan istrinya. Mereka berjalan cepat dengan dengan sedikit ocehan yang tidak bisa didengar oleh Altezza, ia mempersilahkan keduanya untuk masuk.

"Ya ampun, kamar gadis ko bisa hancur begini, sih?? Heran," gerutu istri pria tua tadi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lantas ia pun masuk ke kamar Risa tanpa takut melihat apa yang sudah terjadi, karena ia termasuk emak-emak pemberani. Sedangkan Altezza hanya bisa menyandarkan punggungnya di dinding ruang tamu, ia mengamati ruangan itu dengan perasaan tidak percaya. "Sebegitu hancur kah hidupmu, Risa?! Sampai kau enggan untuk membereskan tempat tinggalmu sendiri." Altezza membatin.