Chereads / Take down / Chapter 4 - RAPUH DALAM KESENDIRIAN

Chapter 4 - RAPUH DALAM KESENDIRIAN

"Dia??!" Risa terheran ketika melihat pria bertopi ada di koridor apartemen yang sama.

Berharap bisa balik lagi, tapi ia sudah dilihat oleh pria yang menyebalkan itu. Dengan cepat ia melangkah dan berusaha menghindar dari tagihannya, tapi, "Tunggu, ternyata kita satu apartemen. Aku rasa kamu tidak meninggalkan tanggung jawabmu lagi." pria ini adalah Altezza, ia berbicara tanpa menoleh sedikit pun ke wajah Risa.

Risa yang kesal langsung menginjak sepatu Altezza tanpa ragu, "Maksud Lo apa, hah?! Jadi gue wanita yang lari dari tanggung jawab? Tanggung jawab yang mana?" geramnya.

Bukan Risa jika tidak berwajah garang. Altezza selalu melihat Risa yang seperti ini, Risa yang memiliki kerutan dahi dalam keadaan apapun, dan Risa yang selalu berbicara nyeleneh seenaknya. Tapi hal ini wajar baginya, karena karakter seseorang berbeda-beda dan ia pun perlahan memakluminya.

"Tentu, dengan santainya kamu lari saat hukuman sedang berjalan, lalu kamu pun belum memberikan jawaban kapan uangku akan dibalikkan." jawab Altezza menyebutkan dua macam tanggung jawab yang ditinggalkannya.

Mendengar itu ia mendecih, lalu bergegas pergi dari hadapan pria bertopi yang menyebalkan ini. Tapi sesuatu hal menahannya untuk melangkah, tas yang ia gendong ditarik Altezza hingga ia tertarik mundur. "Aku tunggu jawabanmu di malam ini, jika tidak maka aku akan mengumumkan kepada semua siswa jika kamu berhutang kepadaku, tapi tidak mau bayar. Jadi, tolong dijawab saat aku pulang nanti." ucap Altezza dengan sedikit berbisik, namun ucapan terdengar sangat mengancam bagi Risa.

"Altezz …," ucapan Risa terpotong ketika Altezza sudah pergi meninggalkannya. Ia semakin kesal dan muak dengan keadaannya sekarang.

"Gila dia. Katanya pindahan dari pesantren, tapi bisanya cuma mengancam." Risa mendecak kesal. Ia pun berteriak kencang melampiaskan kekesalannya di sana, membuat penghuni kamar yang ada di sebelahnya keluar dan menatap Risa dengan tatapan syok bercampur heran.

Risa semakin kesal melihat itu, ia pergi setelah memberikan tatapan tajam pada pria tua yang membuka pintu tadi. Membuat pria tua itu menggerutu dan menganggap Risa sebagai wanita yang memiliki kebutuhan khusus. 

Setibanya di kamar, Risa melempar tas gendongnya dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur dengan kasar. Baru saja ia dibuat bahagia oleh Daniel yang memberikan kejutan kecil di cafe tadi, Altezza sudah mengganggunya lagi. Ia benar-benar harus membuat Altezza kesal agar pria bertopi putih itu pindah dan menjauh dari hidupnya. Beberapa saat kemudian ia berteriak kesal lagi saat mengingat ancaman Altezza. Meskipun dirinya terlihat cuek dengan lingkungan sekolahnya, tapi ia tidak pernah meninggalkan dirinya yang harus tampil dan terlihat sebagai anak orang kaya.

"Mati, gue. Mana gue belum bisa bayar dekat-dekat ini lagi, atm gue ditahan paksa sama papa. Sepertinya nanti malam gue juga gak bisa main," lirih Risa yang terlihat sangat malam.

Risa adalah anak malam, ia selalu berkeluyuran di malam hari bersama dengan teman malamnya. Teman malamnya ini berasal dari sekolah yang berbeda, ia dipertemukan dengannya ketika sedang berjoget di diskotik saat mereka sama-sama sedang kalut. Sebenarnya teman malamnya ini tidak hanya seorang, tapi ia memiliki lima orang sekaligus dari sekolah yang berbeda-beda. Tapi hanya Risa dan teman malam yang satu inilah yang sering sekali berkunjung ke tempat-tempat hiburan.

Karena merasa kesal dan enggan memiliki keterikatan lagi dengan Altezza, ia meraih handphone-nya untuk menghubungi sang papa. Papa kandung yang so sibuk akan pekerjaan, padahal nyatanya ia selalu menghabiskan waktu bersama wanita-wanitanya. Beberapa kali ditelepon papa kandungnya ini tidak kunjung mengangkat, padahal handphone-nya aktif dan Risa rasa papanya ini tahu anaknya yang menelepon karena sebelum pergi dari rumah papanya, Risa mengubah nada dering khusus dirinya dengan nada rock agar papanya ini sadar akan panggilan anaknya.

"Percuma juga gue ngehubungi dia, dia gak pernah ada cepat buat gue." kesal Risa penuh kecewa.

Ia pun meraih tasnya dalam keadaannya yang berbaring seperti itu, ia menulis sesuatu di atas note yang berbentuk kotak. "Kenapa harus menghadirkan gue di hidup Lo, jika Lo sendiri pun gak peduli akan kebutuhan gue." tulis Risa di note itu, lalu ia menyelipkan nama yang ia maksud, papa.

Risa bangkit dan menempelkan kertas note itu di dinding kamarnya. Di sana semakin terlihat berbagai warna note kesedihan Risa yang selama ini ditulis olehnya. Sebagian note itu pindahan dari note-note yang ada di kamarnya dulu, jauh sebelum ia tinggal di apartemen. Hidup seorang diri bukanlah hal yang diinginkan, takdirnya seakan merenggut kebahagiaannya yang seharusnya mendapatkan kehangatan dari orang-orang terdekat.

Lagi-lagi air matanya luruh setelah melampiaskan kekesalannya pada secarik note, lalu ia keluar kamar dan duduk di sofa dengan tangan yang siap membakar satu batang rokok penghilang stres. Begitulah pelampiasan Risa ketika sedang merasa terpuruk, selain itu Risa memang sudah terbiasa dengan benda-benda seperti itu ketika dirinya masih kecil. 

"Psstt, fyuuuhh …," Risa mengepulkan asap rokok dengan santai. Ia bagaikan seorang bos kantoran yang sedang menunggu wanitanya dengan kaki yang terangkat ke meja kerjanya. 

Meski asap rokok sudah memenuhi ruangannya, tapi air matanya pun tidak berhenti menetes, ia terus membayangkan kemalangan dirinya yang tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Daniel. Daniel pun belakangan ini sering terlihat sibuk karena urusan orang tuanya yang juga diambang perceraian. 

Di tengah Risa yang sedang bergelayut di dalam kesedihan, Daniel justru sedang menikmati pijatan adik kelasnya di markas Marvooz. Ia sering menjajah adik kelasnya yang memang sangat ingin gabung dengan geng nya, ia pun tidak segan untuk meminta adik kelasnya itu untuk selalu membersihkan Markas Marvooz yang sudah ada selama tiga tahun. Tentu yang menjadi leader di sini adalah Daniel Marlon, pemimpin yang memiliki tatapan elang ketika sedang marah. 

"Rio, si ustadz itu emang jadi kebanggaan guru di kelas, ya?!" tanya Daniel tiba-tiba.

Rio sang adik kelas yang sedang menyapu pun langsung menoleh ke leader-nya, "Ustadz?! Ustadz siapa? Perasaan di kelas 11 A gak ada ustadz yang ikut sekolah," heran Rio.

Sontak Daniel tertawa dengan kepolosan adik kelasnya ini. Lalu ia melempar bantal sofa ke arahnya, "Itu si Al, ustadz Al gue panggilnya. Dia kan pindahan dari pesantren," ucap Daniel. Dari sini pun Rio baru menyadari jika ustadz yang dimaksud adalah Altezza. Anak pindahan dari pesantren ketika dirinya duduk di bangku kelas 10 akhir semester satu.

"Uh kalau si Altezza jangan diragukan lagi, semenjak kepindahannya ke SMA kita, dia jadi nomor satu di kelas. Meski kelas kita ada beberapa kelas, tapi Altezza masih ada di urutan pertama kalau soal kepercayaan guru. Dia orangnya gak neko-neko soalnya, tapi kalau menurut Risa sih dia kuno dan kolot. Karena orang pesantren pasti gak bisa ngikutin zaman yang modern ini." jelas Rio.

Daniel menyerongkan bibirnya, ia pun sependapat dengan Risa, pacarnya. Altezza itu kuno, kolot, tidak gaul, dan tidak mengikuti zaman. Buktinya semua siswa-siswi SMAN 01 Cempaka Merah membawa mobil dan motor, tapi Altezza malah menggunakan sepeda ontelnya yang terlihat kusam. Meskipun parasnya tampan dan selalu memakai topi putih, tapi Daniel mengatakannya ketinggalan zaman. 

"Risa?!" tiba-tiba Daniel mengernyit saat handphone-nya berdering. Padahal baru saja ia berpisah dengan Risa, tapi Risa sudah menghubunginya lagi.