Daniel memarkirkan motor gedenya, lalu ia pergi ke apartemen Risa dengan tas gendongnya. Karena Risa benar-benar sedang merasa hancur dan frustasi dengan apa yang sedang terjadi, ia pun memintanya datang saat itu juga.
"Bee, banyak banget kamu ngerokok." Daniel terkejut saat melihat puntung rokok yang berserakan di atas asbak rokok.
Meskipun Daniel juga seorang perokok, tapi ia tidak pernah menghabiskan lebih dari dua rokok dalam satu hari. Jika sedang frustasi pun Daniel lebih memilih melampiaskan ke hal lain selain dari rokok. Risa yang sedang kalut tidak memperdulikan ocehan sang kekasih, ia hanya butuh Daniel di sampingnya. Dengan cepat ia menarik jaket jeansnya agar Daniel segera duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa lagi sih bee? Rasanya sering banget kamu begini," heran Daniel.
"Pria bertopi itu, dia satu apartemen denganku. Dia pun mengancam akan menyebarluaskan masalahku yang gak mau bayar hutang, padahal kan aku lagi nunggu atm ku kembali dari papa. Papa pun gak ngangkat telepon dariku, padahal handphone-nya aktif." jelas Risa panjang lebar.
Daniel pun mencerna semua ucapan Risa, ia merasa was-was dengan adanya Altezza di dekat Risa. Tanpa berpikir panjang Daniel langsung mengeluarkan uang beberapa lembar dari dompetnya, Risa pun melepaskan pelukannya dan menatap lembaran uang itu dengan tatapan tidak percaya.
"Bayarkan hutang mu kepada ustadz Al itu. Jangan pernah mau memiliki keterikatan lagi dengannya," titah Daniel menjawab ketidakpercayaan Risa.
Seketika hati Risa senang dan rasa sedihnya sedikit memudar, Daniel memang kekasih yang sangat perhatian selama satu tahun setengah ini. Sudah mau mendengarkan semua keluh kesahnya, ia pun masih memberikan perhatian dalam bentuk lain. "Nih tambahannya, pasti nanti malam kamu gak bisa main kalau gak ada uang." lanjut Daniel memberikan beberapa lembar uang lagi untuk Risa menikmati malam bersama teman-temannya. Apalagi kalau bukan berpesta minum hingga dirinya terkapar lemah di rumah temannya.
Risa menggeleng melihat kebaikan sang kekasih, ia memang beruntung bisa menjadi kekasih Daniel yang dulu sempat enggan menerimanya karena sudah dipandang jelek oleh dirinya sendiri. Tapi ternyata Daniel sangat peduli terhadapnya. Setelah Risa merasa sedikit tenang, Daniel pun kembali pamit untuk mengurus geng nya yang akan menggelar acara pemilihan sie di malam esok.
"Akhirnya gue bisa terbebas dari pria kuno itu," pikir Risa antusias.
Tepat di malam harinya, Risa menunggu Altezza di depan pintu kamar apartemennya. Ia menoleh ke beberapa pintu yang ada di sekitarnya. Ia menebak jika kamar apartemen Altezza ada di ujung sana. Ia pun melangkah perlahan melihat pintu yang bertuliskan nomor 2341. Tiba-tiba dirinya mengangkat tangannya dan berusaha untuk melampiaskan kekesalannya dengan omelan-omelan receh menghadap ke pintu yang ada di hadapannya sekarang. Ia menganggap pintu itu sebagai Altezza yang sangat menyebalkan di kelasnya.
Namun seketika omelan Risa itu terhenti ketika pintu nomor 2341 terbuka, di sana menampilkan wajah seorang wanita yang seusia ibunya lengkap dengan anaknya yang sedang digendong. Bayi kecil itu tertawa lucu saat melihat wajah Risa mematung sambil memonyongkan mulutnya aneh. Berbeda dengan bayinya, justru sang ibu ketakutan dan langsung membanting pintu itu agar kembali tertutup.
"Sial. Gue salah pintu," gerutu Risa merasa malu.
Ia pun kembali ke depan pintu kamar apartemennya dan terus menunggunya di sana. Hingga kakinya tidak lagi mampu untuk berdiri, "Mana sih pria kuno itu?" kesalnya.
"Siapa pria kuno?!" tiba-tiba seseorang datang tepat di hadapannya.
Melihat itu adalah Altezza, ia langsung bangkit dan memberikan tatapan sinisnya. "Lo! Pria kuno yang sangat menyebalkan. Pria yang benar-benar so sibuk, padahal aslinya enggak. Gue udah nunggu juga dari tadi. Nih uang lo, gue balikin sekarang. Puas lo?!" cerocos Risa tanpa jeda.
Tanpa membalas crocosan itu Altezza sedikit tersenyum sambil mengambil uang yang disodorkan oleh Risa, "Oke, jadi hutangnya lunas, ya. Tapi ingat, tidak boleh sekali lagi kabur dari tanggung jawab. Jika itu terjadi, lihat lah nanti." ucap Altezza dengan santai. Lalu ia masuk ke kamar apartemen dengan nomor pintu 2345, di mana nomor itu berada tepat di depan kamar apartemennya Risa.
"What?!! Kamar pria kuno itu berhadapan dengan kamar gue?!" kejut Risa tak percaya. Ia pun langsung mengetuk pintu kamar Altezza dan memintanya untuk keluar.
Altezza menampakkan dirinya dengan tatapan lekat mengarah ke mata Risa, namun segera ia palingkan setelah dirinya kembali sadar. Wajahnya yang tampan itu sedikit menjorok ke belakang setelah Risa menanyakan kenapa kamarnya bisa saling berhadapan dengannya. Pertanyaan yang aneh memang, tapi ia enggan menjawabnya. Altezza kembali membalikkan tubuhnya dan hendak masuk mengabaikan Risa. Tapi dengan cepat Risa menarik kaos hitam yang dikenakan Altezza.
"Jawab pertanyaan gue!" bentak Risa.
Altezza sedikit tersenyum, "Aku rasa tidak ada yang perlu dijawab karena ini hanya sebuah kebetulan." sahut Altezza.
Merasa tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari pria yang ada di hadapannya, Risa pun mendecak kesal dan meninggalkan Altezza yang masih benar-benar kebingungan dengan sikap Risa terhadapnya. Meski begitu, Altezza pun masuk dan menutup pintu itu dengan perlahan.
"Jika bukan karena perintah dari Abi dan Umi, Aku tidak akan mau untuk tinggal di apartemen dan sekolah di luar pesantren. Tapi apa daya, aku hanya seorang anak yang harus menurut pada orang tua. Semoga saja Allah mudahkan, dan kuatkan aku di sini." ucap Altezza sambil melipat pakaian yang hendak di laundry.
Suasana kamar Altezza lebih rapi dan lebih wangi daripada kamar Risa. Kamar Risa penuh dengan rokok, botol minuman, dan barang-barang yang berserakan, sedangkan di kamar Altezza justru tidak ada barang-barang seperti itu. Apalagi barang-barang yang berserakan, karena sejak kecil Altezza sudah diajarkan dan dibimbing untuk menjaga kebersihan. Baik kebersihan diri, maupun kebersihan lingkungannya. Di keluarganya pun tidak ada satu orang pun yang merokok, atau hanya sekedar mencicipi minuman beralkohol. Yang mereka sukai hanyalah teh hangat, yogurt, dan susu sapi yang sudah dingin.
"Assalamu'alaikum, iya, mi?!" Altezza mengangkat panggilan dari ibunya.
"Oh gitu, baiklah, mi. Altezza akan membuatnya," lanjut Altezza.
Sambungan teleponnya pun terputus, ibu Altezza memintanya untuk membuatkan mars pesantren yang baru. Pesantren akan mengadakan graduasi untuk angkatan sekarang sekaligus penyambutan pengajar baru dari negeri kinanah, Mesir. Mereka akan menyambutnya sebaik mungkin dan akan menampilkan mars yang baru.
Sebagai cucu K.H Tamim Ibad, Altezza sering diikutsertakan dalam kegiatan apapun. Sehingga ia sudah mengantongi berbagai macam pengalaman sejak kecil. Berbeda dengan Altezza yang akan menghabiskan malam ini dengan belajar dan membuat mars baru untuk pondoknya, Risa justru sedang bersorak ria di tengah kumpulan orang-orang yang berjoget. Ia menikmati alunan musiknya, dan sorot lampu disko yang membuat semangatnya terus berkobar.
Meski tubuhnya berjoget sana-sini, tapi air kesedihan mengalir dari sudut matanya. Hatinya terus bergeming mempermasalahkan kehidupannya yang tidak tahu arah, dia hanyalah seorang gadis yang sedang membutuhkan arahan dan perhatian dari kedua orang tuanya. Namun kedua orang tuanya tidak pernah memeluknya erat dan bahkan tidak lagi peduli dengan kehidupannya yang sekarang.
"Aku benci kalian, pah, ma." lirih Risa yang sudah hanyut dalam mabukannya.