Baru beberapa menit yang lalu Giana Ormanda tertidur pulas setelah lelah dengan acara kelulusannya kemarin, tiba-tiba sebuah telepon tidak dikenal masuk dan mengatakan ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena luka yang cukup parah.
Dengan luntang lantang Giana berlari ke rumah sakit dan saat sampai ayahnya tengah menjalani operasi darurat karena luka yang cukup parah di daerah jantungnya. Saat meminta kejelasan pada teman ayahnya sesama anggota kepolisian mereka hanya berkata ayahnya ditemukan dengan luka tusukan di dadanya.
'Pak Kamran mengejar para pengedar narkoba, dia luka karena itu. Semua atasan tidak mau bertanggung jawab, mereka mencabut asuransi dengannya alasan dia lalai dalam tugas karena menyelidiki kasus yang sudah ditutup.'
Penjelasan itu cukup untuk membuat Giana menangis histeris di depan pintu ruang operasi yang sedari tadi tidak kunjung selesai walau waktu operasi telah berjalan lebih lama dari waktu perkiraan.
Matanya tidak berhenti menatap pintu ruang operasi itu sembari menggigit bibirnya dan menggenggam tangannya yang penuh keringat, hingga pintu itu terbuka Giana seketika berdiri dan menghampiri dokter yang tengah berjalan keluar.
"Gimana keadaan bapak saya dok?" tanyanya dengan mata sembab dan wajah yang berantakan.
"Operasi berjalan dengan lancar walau ada sedikit kesulitan untuk mengontrol pendarahan yang terjadi, kami akan mengecek keadaan pasien secara berkala."
Baru saja Giana bernafas lega sembari mengucap syukur karena ayahnya berhasil diselamatkan, situasi kembali tidak berpihak padanya. Setelah satu minggu ayahnya tak kunjung sadar, padahal menurut perkiraan dokter setelah operasi berhasil paling tidak pasien akan sadar dalam tiga hari.
"Setelah kami mengamati perkembangan pak Kamran ada masalah pada sistem jaringan otaknya yang menyebabkan dia tidak sadarkan diri walaupun operasi berjalan dengan lancar, walaupun berat mengatakannya tapi dengan sangat berat hati kami menyatakan pak Kamran koma," tutur Dokter itu sembari menatap Kamran yang tengah berbaring lemah di kasur rumah sakit dengan berbagai kabel yang melekat pada tubuhnya.
"Jadi gak ada kemungkinan untuk bapak saya sadar dok?" tanya Giana dengan putus asa.
"Kami akan pantau perkembangannya setiap hari, kita do'akan agar pak Kamran bisa melewati masa komanya."
Sampai di situ penjelasan Dokter itu, dia meninggalkan Giana yang masih terus berdiri di hadapan ayahnya yang berbaring kaku. Tangannya mengcengram ujung kasur itu dengan keras sembari berusaha menahan tangisannya, namun akhirnya dia tetap tidak sanggup dan jatuh tersungkur sambil menangis.
Seandainya dia bisa menahan ayahnya agar tetap tinggal malam itu, apakah semua ini tidak akan terjadi? Andai saja ayahnya tidak keras kepala akankah semuanya baik-baik saja?
"Bapak bahkan gak pernah tidur lebih dari 4 jam sehari," bisiknya sembari berjalan mendekati Kamran dan duduk di kursi tepat disamping ranjang Kamran.
"Malah sekarang bapak harus tidur lumayan lama, kalau tau begini bapak gak usah kerja. Lebih baik jalanin hidup, senang-senang sama aku. Bukannya nangkap penjahat gak berguna itu. Liat atasan yang selalu bapak banggain! Mereka nutup mata dan gak peduli lagi," lirihnya lagi, tangannya mulai mengelus kepala ayahnya dengan lembut.
"Sekarang aku harus gimana? Harus tidur sama kayak bapak juga? Aku gak punya rencana apa-apa lagi."
&&&
Penampilannya masih berantakan saat mencoba berjalan menyusuri jembatan panjang di hadapannya, angin malam bertiup kencang saat Giana mulai berjalan kebagian tengah jembatan. Lampu remang membuat suasana di sana seakan melengkapi kesengsaraan Giana, dengan ragu dia mulai melihat ke bawah untuk memastikan seberapa tinggi jembatan itu.
"Kalau gw jatuh, bakal berakhir sama kayak bapak atau lebih buruk lagi?" tanyanya pada udara kosong di hadapannya.
"Kalau gw jatuh yang rawat bapak siapa nanti? Kepala gw mau pecah rasanya, bisa gak gw lupain semuanya sekarang? Amnesia atau sejenisnya? Atau perjalanan waktu ke beberapa hari sebelumnya?"
Giana memejamkan matanya sembari menarik nafas panjang, tangannya mulai melepaskan pinggiran jembatan yang sedari tadi dia genggam kuat. Sekali lagi dia membuka matanya dan menatap sekeliling, seakan menjadi perpisahan terakhirnya pada dunia.
Tubuhnya sudah tegap berdiri di luar pinggiran jembatan, melangkah selangkah saja Giana sudah benar-benar melompat ke bawah. Sampai akhirnya…
Clikkkkttt...
Suara nyaring mengganggu dirinya, walau matanya terpejam dia bisa tahu betul kalau suara yang di dengarnya itu suara dari mobil ban yang Mengerem tajam. Dia membuka mata dan berbalik dengan cepat. Dan benar saja, sebuah mobil sedan hitam terparkir tepat di ujung jembatan.
Awalnya Giana tidak ingin mencampuri keperluan si pemilik mobil tapi sebuah gerak gerik menganggunya, terlihat 2 orang wanita keluar dari dalam mobil tapi salah satu diantara mereka terlihat di seret.
Dengan cepat Giana melangkah lagi masuk ke dalam jembatan dan mengamati apa yang akan di lakukan 2 orang itu, matanya menyipit untuk melihat lebih jelas. Cahaya yang remang membuat Giana kesulitan melihat wajah wanita itu.
Kakinya beberapa langkah mendekat ke arah wanita itu untuk memastikan apakah dia butuh pertolongan atau tidak, tapi tiba-tiba dia berhenti saat mendapati matanya melihat wanita itu berniat mendorong wanita yang di seretnya. Matanya terbelalak saat tubuh wanita itu mulai keluar dari pinggiran jembatan.
Bukannya tidak ingin menolong, tapi Giana tidak bisa menjamin dirinya tidak akan terluka jika ikut campur. Niatnya datang memang untuk bunuh diri tapi jika caranya dengan harus terluka dahulu Giana juga tidak mau.
Kakinya mundur selangkah dan tangannya dengan refleks menutup mulutnya yang tidak berhenti menganga sedari tadi.
"Hhhwaaa…."
Giana bersuara cukup keras saat melihat tubuh wanita itu benar-benar jatuh ke bawah dan di susul oleh suara dentuman air yang cukup kencang. Sialnya suaranya terdengar karena heningnya malam itu, wanita itu terlihat kelelahan saat berbalik dengan cepat dan menatap Giana.
Mata mereka berdua saling adu pandang dan membuat Giana mati kutu, kakinya seolah mati rasa dan tidak bisa digerakkan, wanita itu juga hanya terdiam sambil menatap Giana. Segala do'a dan mantra sudah Giana baca, paling tidak dia berharap wanita itu tidak akan datang kearahnya.
Saat angin yang cukup kencang berhembus dan membuatnya tersentak karena kedinginan akhirnya Giana bisa menggerakkan kakinya dan berlari sekencang mungkin untuk meninggalkan jembatan itu.
"Bentar! Gw baru aja liat pembunuhan? Gw jadi saksi mata gitu?" terkanya sembari terus lari dengan kencang. "Dia gak ngikutin gw sampai ke sini kan?" sesekali Giana berbalik untuk melihat kalau-kalau wanita itu mengejarnya.
Dia melihat wajah wanita itu dan rasanya tidak akan pernah melupakannya. Sebelum melihat kejadian tadi Giana terlihat percaya diri untuk mengakhiri hidupnya, tetapi setelah melihatnya secara langsung sepertinya loncat dari jembatan itu cukup menyeramkan.
&&&
"Ibu Giana?"
Suara pria itu menyadarkan Giana saat tengah melamun di ruang tunggu rumah sakit yang mulai sepi.
"Pak Kamran akan dipindahkan ke ruang lain jadi mohon urus administrasi dan mengisi berkas yang di perlukan."
Giana mengangguk dan membiarkan dokter itu pergi, setelahnya baru dia menghembuskan nafas berat. Dirinya mulai berpikir bagaimana membayar biaya rumah sakit untuk bulan depan? Tabungannya bahkan tidak bisa menutupinya.
Dia mengangkat tubuhnya dan melihat sekeliling kemudian tersadar hanya dirinya yang ada di ruang tunggu itu, sepertinya semua orang sudah pergi untuk mengistirahatkan diri mereka. Sementara Giana masih sibuk melamun dengan bayangan wanita yang dia lihat di jembatan itu saat waktu sebentar lagi masuk waktu subuh.