Satya kembali ke meja makan, berjalan mendekat sembari memperbaiki jas miliknya. Duduk di tempatnya semula dan menatap ketiga orang di hadapannya itu.
Mereka bertiga sama-sama menelan ludah dan menghembuskan nafas berat dengan malas, hingga paman Satya angkat bicara. "Kamu kenapa pilih calon istri seperti dia? Dari cara dia menjawab pertanyaan kami saja sudah jelas dia perempuan tidak beres."
"Kamu merasa kurang apa sama Caroline? Dia wanita baik, berpendidikan. Sikap dia baik dan sudah jelas penghasilannya. Apa dia masih kurang?" cerca yang lainnya membuat Satya menoleh kelain arah sambil memasang wajah malas.
"Kamu gak tau gimana stres dan pusingnya ayah kamu tahu soal ini? Dia gak pernah ambil pusing skandal Caroline tapi waktu berita kamu mau menikah menyebar dia seperti kehilangan akal sehat. Kamu pewaris satu-satunya Satya."
Satya memandang mereka semua dengan ketus saat mendengar semua keluhan yang di lontarkan, dia meneguk teh di hadapannya dan berkata, "Saya datang ke sini karena kalian bilang mau ketemu Giana, jadi gak usah komentar masalah yang lain dan cukup temui Giana saja. Jangan bandingkan mereka berdua karena mereka berdua bukan orang yang sama," bela Satya.
"Kamu sudah kena guna-guna dia atau bagaimana? Jelas-jelas Caroline yang setia sama kamu, dia pekerja keras dan wanita yang baik-baik. Calonmu itu, dilihat saja sudah kelihatan seperti preman."
"Berbeda dengan Caroline yang hanya menjadi korban salah paham media," bela salah satu dari mereka.
Satya naik pitam saat itu juga, dia mendecak kecil dan berdiri dari posisi duduknya. Jika di pikir-pikir yang dilakukannya benar-benar melindungi Caroline dari perbuatannya, tapi juga membuatnya kesal karena terlalu lelah menghadapinya sendiri.
"Kalian," ucapnya sembari menunjuk kearah depan. "Jangan menilai semuanya hanya dengan pandangan kalian, apapun yang kalian katakan saya akan tetap menikah dengannya perempuan itu. Saya gak peduli keadaan ayah dan juga Tiger Group, kalau tidak mau berita tersebar jangan jadikan saya ahli waris!"
Satya melangkah pergi, mengambil mantelnya dan juga gaun pernikahan yang ditinggalkan Giana tepat di sampingnya.
"Kamu anak satu-satunya, bagaimana bisa kamu menolak jadi ahli waris?!" tanya bibi dari pihak ayahnya.
"Kasih aja ke anak bibi, bukannya itu yang kamu mau dari dulu?"
Bibi Satya terkejut mendengar perkataan itu, dia tidak menyangka Satya dengan kurang ajarnya berkata demikian di depan banyak orang.
&&&
Satya sampai di rumahnya saat matahari sebentar lagi tenggelam, dasinya tampak berantakan karena kelelahan. Hari ini sangat panjang untuknya, urusan restoran yang menumpuk dan juga masalah pernikahan, ditambah lagi dia harus mengeluarkan tenaga ekstra saat menghadapi keluarganya.
Dia masuk sambil menentang tas dan juga tas berisi gaun pernikahan milik Giana, sesekali dia meregangkan lehernya dan menggerakkannya ke kanan dan kiri. Satya mengerang halus saat lehernya terasa tertarik saat dia menoleh.
"Mas!!"
Baru saja dia berusaha mengistirahatkan tubuhnya, Caroline datang dengan wajah marah dari arah kamar.
"Untuk apa kamu bawa perempuan itu ketemu sama bibi dan paman jamu? Kamu bilang ini cuma pengecoh supaya orang-orang tidak curiga. Tapi,....." Caroline berbicara tanpa jeda, telinganya tampak memerah begitu juga dengan wajahnya.
"Saya capek, mau istirahat. Nanti aja berdebatnya," ucap Satya dengan nada pelan, untuk berbicara saja rasanya tidak sanggup.
Baru saja Satya melangkah, tangan Caroline langsung menyambar tas berisi Gaun milik Giana. Dan tentu saja dia marah besar melihatnya.
"Gaun perempuan itu? Untuk apa kamu bawa ke rumah?" protesnya sambil membanting gaun itu ke lantai. "Kamu pikir aku gak tahu gimana romantisnya kalian di restoran sore tadi?" ucapnya sembari menatap lekat mata Satya.
"Semua itu....."
"Gadis yang lugu di matamu?" potong Caroline sebelum Satya menjelaskan apa-apa. "Kalian ketemu dan langsung merasa cocok? Kayaknya kamu pantas jadi aktor mas, akting kamu natural sekali sampai-sampai semua orang bisa tahu kalau alasan kamu menikah itu bukan karena aku tapi karena kamu cinta sama perempuan itu!" Caroline benar-benar marah, suara teriakannya menggelegar seisi rumah, pembantu rumah tangga mereka bahkan terlihat ketakutan karena itu.
"Caroline dengar dulu," sanggah Satya berusaha menengakan Caroline.
"Mau apa kamu? Membela diri?!" bentaknya sekali lagi, "Kamu emang gak cinta lagi sama aku, semua rencana ini cuma topeng buat kamu untuk bisa menikah dengan perempuan itu. Kamu cinta kan sama dia? Ngaku kamu."
"CAROLINE, CUKUP!" Kesabaran Satya sudah sampai di ujung, dia membentak Caroline hingga tersentak karena terkejut. "Jadi, menurut kamu kalau saya tidak melakukan semua ini dan membiarkan kamu di penjara. Saya cinta sama kamu, begitu?"
"Mas?!"
"Dengar," ucap Satya sembari memegang pundak Caroline dengan lembut. "Semua ini saya lakuin buat kamu, saya sengaja bertemu dengan bibi dan paman supaya mereka percaya pernikahan ini bukan karena kerja sama, kalau mereka tahu alasan sebenarnya dari pernikahan ini kamu pikir kamu masih bisa pulang ke rumah? Kamu tahu keluarga saya, mereka tidak nerima orang yang tidak sempurna."
"Saya cuma cinta sama kamu, seberapa kesal pun saya dan seberapa besar kesalahan kamu saya tetap mencintai kamu. Dan semua alasan saya melakukan semua ini karena kamu."
"Kamu serius mas? Kamu serius sama omongan kamu?" tanya Caroline sedikit percaya pada penjelasan Satya. Satya hanya mengangguk kecil untuk memberi jawaban.
"Setelah ayah Giana siuman semuanya pasti kembali seperti semula, semuanya bakal baik-baik aja. Bahkan saya bisa menceraikannya sebelum perjanjian selesai kalau perhatian semua orang tidak lagi tertuju pada kita."
"Kalau gitu bawa gaunnya aku gak suka,"
"Akan saya antar ke Giana," jawab Satya yang langsung mengambil gaun mahal yang tergeletak di lantai.
Mendengar jawaban Satya, Caroline dengan sikap kekanak-kanakannya menahan tangan Satya sebagai tanda protesnya.
"Caroline..." Satya merusaha memperingatkan Caroline tentang perkataannya barusan.
Satya pergi begitu saja saat Caroline melepas genggamannya, rasa lelahnya seakan hilang saat dia tengah bertengkar dengan Caroline. Sepertinya istirahat malamnya harus ditunda lagi.
&&&
Satya berjalan menaiki Lift menuju kamar Kamran sambil membawa gaun milik Giana, sesekali dia melihat jam tangannya yang telah menunjukkan jam setengah sepuluh. Perjalanan ke rumah sakit dan pertengkarannya benar-benar memakan banyak waktu.
Dia berjalan dengan cepat menuju kamar Kamran dan membuka pintunya, tak ada siapa-siapa yang terlihat kecuali para pasien yang terbaring dengan berbagai alat di tubuh mereka. Dia berjalan menuju ujung ruangan tempat Kamran berada.
Di sana dia mendapati Giana yang tengah tertidur, dan lagi-lagi dengan posisi duduk dan kepalanya diletakkan di atas kasur ayahnya. Dia melihat kedua tangannya sembari mengomel dalam hati tentang ke mana uang yang diberikannya hari itu.
"Hhuuuaa..."
Giana tiba-tiba terbangun saat Satya menjatuhkan Gaun itu tepat di hadapannya, dia menghela nafas sambil meluruskan tubuhnya dan menoleh ke samping.
"Arghh..." Rasanya jantungnya hampir copot saat mendapati Satya yang tengah berdiri bertolak pinggang sambil menatapnya tajam. "Ngapain lo di sini?!"
"Uang yang saya kasih waktu itu kamu kemanakan? Udah di bilang sewa rumah!" protes Satya.
"Gw gak mau sewa rumah, repot tau pulang balik rumah sakit tiap hari," jawab Giana sambil meregangkan tubuhnya yang terasa sakit. "Kalau sewa juga bakal nambah ongkos lagi buat ke rumah sakit."
"Terus menurut kamu tidak duduk kayak gitu nyaman?"
"Kenapa jadi lo yang sewot?" tuturnya dengan nafas berat, "Yang sakit badan gw kenapa lo yang repot."
Giana berdiri sambil menatap Satya yang tetap menatapnya tanpa berkedip, dia kembali meregangkan tubuhnya ke kanan dan kiri.
"Jadi, ngapain lo kesini?" tanyanya sekali lagi, "Kalau mau ngomong sesuatu, ikut gw," perintahnya sebelum Satya menjawab pertanyaannya.
"Mau ke mana?" tanya Satya yang dengan panik langsung mengikuti Giana yang perlahan menghilang dari pandangannya.
"Cari kesunyian, lo gak denger suara di sini berisik? Telinga gw berdenging tiap hari tau."