Chereads / The last heart winner / Chapter 9 - Sembilan.

Chapter 9 - Sembilan.

Giana duduk di atas sofa putih yang mewah, beberapa hiasan mutiara menempel di setiap sudutnya. Matanya tertuju pada sosok dirinya yang sedang duduk menghadap cermin dan menggunakan gaun pernikahan yang tak kalah mewah dari sebelumnya, para MUA bekerja dengan cepat sehingga dia bisa duduk dan beristirahat lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

Jatungnya berdegum kencang saat menyadari semakin banyak orang yang datang, meski pernikahan ini hanya sebatas hitam di atas putih tapi tetap saja ini menjadi yang pertama untuknya. Beberapa wanita masuk ke dalam ruang tempat Giana duduk dengan gelisah, sosok mereka tidak dia kenali sama sekali karena tamu undangan memang tidak ada dari pihak dirinya. Semuanya di atur oleh Satya, hal itu juga yang membuatnya khawatir bisa meledak kapan saja saat keluarga Satya yang memihak Caroline datang dan membuat masalah.

Setidaknya itu semua bukan perkiraan saat wanita itu angkat suara.

"Ternyata ini calonnya Satya?" Sambil berlenggak-lenggok mereka berkata dengan nada merendahkan.

Pakaian mewah dan perhiasan yang mereka gunakan sepertinya memang untuk ajang adu kekayaan, Giana berani bersumpah pakaian yang mereka pakai sama beratnya dengan gaun pernikahan di tubuhnya.

Beberapa menit Giana hanya terdiam sampai Caroline datang dengan pakaian yang tak kalah mewah tapi wajah yang tampak sendu, sepertinya dia sengaja tidak menggunakan riasan untuk mendapatkan simpati yang memang dia inginkan.

"Astaga Caroline....," Pekik salah satu wanita dengan pakaian merah menyala itu saat Caroline mulai berjalan masuk. "Muka kamu kenapa, lesu banget kelihatannya," sambungnya.

"Kamu bilang begitu kayak gak tau aja, pasti gak bisa tidur membayangkan suaminya nikah sama wanita lain," jawabnya wanita lainnya sambil mendayu, dengan kalung pertama yang mencolok dan juga pin besar di dada kirinya.

"Saya juga bingung, kok Satya mau nikah sama wanita lain? Dia punya Caroline yang sempurna. Gak di guna-guna kan Satya?"

Giana merasa sangat tersindir mendengar kata-kata mereka, atau bahkan akan aneh jika dia tidak merasa demikian. Jika ingin berbicara seperti itu setidaknya berbicara di luar saja.

"Dari pada Satya, saya lebih bingung, gimana caranya kamu bisa rayu Satya supaya mau nikah sama kamu?"

Giana melirik mendengar pertanyaan itu, apakah saatnya dia menjawab dengan angkuh? Atau harus dengan gayanya?

Dia berdiri dari posisinya dan berjalan mendekati wanita itu dan juga Caroline yang berdiri beberapa meter dari dirinya.

"Gw juga gak tau, dari pada nanya gimana Satya mau nikah Sama saya, lebih baik tanya istrinya apa yang dia perbuat sampai suaminya nikah sama orang lain." Giana tersenyum kecil sambil menatap mereka semua yang tampak tidak suka dengan jawabannya.

"Kamu gak merasa jawaban kamu gak pantas? Gak menghargai keluarga Satya kamu ." Suara wanita itu terdengar serak saat mengatakan itu.

"Enggak tuh, lagian gak lama lagi gw bakal jadi istri Satya dan kita semua akan jadi keluarga, bukannya keluarga selalu bicara jujur?" sanggah Giana sambil memiringkan kepalanya sedikit dan menaikkan bahunya, senyum licik itu terlihat lagi. Dia benar-benar puas menatap wajah keluarga Satya yang tidak menyangka dia akan berkata seperti itu.

"Jaga bicara lo yah, gw bisa batalkan semuanya sekarang," bentak Caroline yang tidak tahan lagi mendengar perkataan Giana yang seakan merendahkan dirinya.

"Lo mau batalin?" tanyanya sambil melirik Caroline. "Gw sih gak keberatan, bisa aja sih dibatalin terus kita bongkar semuanya." Senyum tipis itu membuat Caroline kikuk tapi matanya masih penuh dengan amarah.

Ketika wanita yang datang bersamanya tampak kebingungan dengan atmosfer yang sedang berlangsung dan membanjiri Caroline dengan pertanyaan yang sama, 'Apa maksudnya?'

Akan aneh jika Caroline tidak takut dengan perkataan Giana, bukan sesuatu yang lucu jika Giana benar-benar membongkar semuanya sekarang. Sehingga Caroline hanya bisa menyuruh keluarga Satya untuk berjalan keluar dari ruangan dan mengalihkan perhatian mereka.

"Caroline!" sahut Giana saat melihat Caroline juga ingin beranjak bersama ketiga wanita itu.

"Gw berusaha buat nerima pernikahan ini, karena suami lo yang minta. Dia kayak mau gila gara-gara lo jadi jangan cari masalah, seenggaknya selarasin usia sama kelakuan lo."

"Apa?Menerima? Lo emang kebaca dari awal kalo lo juga mau pernikahan ini terjadi, perempuan mana yang gak mau nikah sama cowok kaya."

Lo Gak bisa bahasa indonesia? Menurut lo menginginkan sama menerima itu sama?" tanya Giana setengah jengkel.

"Jangan coba ajaran gw yah."

"Lo mau gw diajarin?!" tanyanya lagi setengah mengejek. "Gw tahu lo sengaja pake baju terang terus gak pake make up biar kelihatan pucat, menyedihkan, lo pikir cantik? Yang ada kayak Kuntilanak merah."

"Terus mau lo apa ? Gw datang dengan senyum lebar terus ucapin selamat gitu?" Caroline berdecak kesal sambil meninggikan suaranya.

"Gw gak perlu selamat dari lo, tapi seenggaknya lo harus ceria karena gak jadi masuk penjara."

"Apa lo bilang?!" teriak Caroline.

Giana berbalik saat melihat amarah Caroline mulai melewati batasnya, dia berjalan kembali menuju sofa putih itu dan duduk di sana.

"Cepat keluar, kalau lo gak mau mereka semua dengar."

Caroline masih menatap tajam ke arah Giana tapi tidak ada pilihan lain selain keluar dari ruangan itu walaupun rasanya dia masih ingin memaki wanita itu, dia tidak ingin ada orang yang mendengar dan membuat semuanya merugikan dirinya.

&&&

Tepat di hadapan Giana puluhan orang berdatangan silih berganti, tepat beberapa menit yang lalu dia telah sah menjadi nyonya Satya, istri kedua.

Ternyata tidak seburuk yang dipikirkan, dia sudah membayangkan akan ada adegan jambak antaranya dirinya dan Caroline tapi sepertinya dia berhasil menyadarkan wanita itu saat di ruang tunggu tadi. Hanya tatapan sinis dari beberapa orang yang terus saja Giana terima, sepertinya mereka keluarga dari Caroline atau keluarga Satya yang sangat menyukai Caroline karena imagenya yang sempurna.

Dia dan Satya hanya duduk berdua di atas pelaminan tanpa berkata apa-apa, rasanya tidak mengejutkan jika para undangan ragu tentang keputusan Satya dan juga pengakuannya tentang dia menikah karena mencintai Giana. Sekaku apapun seorang pria pasti akan mengajak pasangannya berbicara di saat seperti ini, atau setidaknya memegang tangannya. Tapi, Satya menengok saja tak ingin.

"Lo cuma mau duduk terus bengong gitu?" tanya Giana yang terus memperhatikan Satya sedari tadi.

"Apa?" Bukannya menjawab Satya justru kembali bertanya keheranan, sudah pasti pria itu melamun sejak tadi.

"Lo mau semua tamu undangan tau kalau lo nikah karena terpaksa? Sekalian aja buat pengumuman," jelas Giana sedikit kesal melihat tingkah Satya yang acuh tak acuh.

"Terus, kamu mau saya buat apa?" Wajah Satya terlihat sendu.

"Apa aja kek, ngobrol Atau apa kek, gak bisa gitu." Mata Giana bergerak ke kanan dan kiri saat berusaha menjelaskan pada Satya. "Lo pikir cowok nikah karena keinginan sendiri dan katanya saling suka bakal pasang wajah kaku kayak gitu?" sambungnya lagi dengan menekan setiap kata yang keluar.

"Kamu kelihatan yang paling serius di sini sampai memperhatikan semua itu." Satya terlihat takjub melihat Giana yang menanggapi pernikahan tak seperti kemarin.

"Lo sendiri yang bilang seenggaknya gw harus terima," tepis Giana sambil menatap pria di hadapannya itu, mata mereka saling beradu selama beberapa detik sebelum dia melanjutkan kata-katanya. "Gw udah coba yah, jadi lo harus bekerja sama, jangan gw doang."

Satya tidak melepaskan pandangannya, dia tetap menatap lekat Giana. Tanpa sadar para tamu memperhatikan mereka dari bawah dan mulai berbisik dan merasa tidak percaya melihat apa yang mereka saksikan, terutama para peminat Caroline garis keras.

Pembicaraan mereka berdua tidak bisa terdengar oleh tamu undangan karena jarak yang cukup jauh, sehingga yang mereka lihat hanya adegan roman picisan antara Satya dan Giana.

"Kamu mau nerima pernikahan ini karena gak mau berantem sama Caroline atau karena saya yang minta?" tanya Satya sedikit pelan.

"menurutmu lo yang mana? Gw baru aja berantem sama Caroline di ruang tunggu tadi."

"Apa seperti ini cukup meyakinkan? Untuk seorang pria mencintai wanita yang dinikahinya?"

Jantung Giana seketika berdegup kencang, kedus bola matanya membesar saat menatap wajah Satya. Jika dilihat dari jarak dekat pria itu cukup tampan dengan mata sayu dan wajah lancipnya. Atau sekarang dia terlalu terbawa suasana hingga merasa pria itu secara tiba-tiba menjadi tampan di matanya?

Kejadian itu cukup romantis hingga hal yang tak terduga terjadi, lagi-lagi karena sikap Caroline yang tidak bisa ditebak.

Dia mengambil gelas kaca dan dengan mantap melemparkannya ke lantai, tepat di hadapan para tamu undangan karena merasa cemburu melihat Giana dan Satya yang bertatapan di atas pelaminan.

Satya berbalik saat itu juga, tatapan hangatnya untuk Giana seketika lenyap tak tersisa.

Caroline sudah berdiri dengan amarah yang memuncak di bawah panggung, menatap mereka dengan mata yang memerah. Dia menjerit dengan suara nyaring, membiarkan rambutnya berantakan dengan sengaja dan berlari keluar dari gedung dengan membawa bekas pecahan gelas yang tadi di bantingnya.

Tentu saja tak perlu ditebak lagi, Satya pasti memilih untuk turun dari pelaminan dan mengejar wanita yang dicintainya. Giana merasa dirinya menyedihkan, dia ditatap oleh semua tamu undangan saat Satya pergi mengejar Caroline setelah bertatapan mesra dengannya.

"Sialan," umpatnya penuh emosi, tangannya menggenggam gaun putihnya hingga telapak tangannya memerah.