Giana yang merasa terganggu dengan teriakan orang-orang kemudian menyeret Satya ke tepi jalan.
"Gila lo yah? Ngapain lo bikin pertunjukan kayak tadi?!" tanyanya dengan marah.
"Kamu gak boleh ketemu sama jaksa itu," ucap Satya sekali lagi.
"Kenapa? Bukannya ini yang lo mau? Kontrak kita sudah berakhir kemarin."
"Keluarga saya mulai curiga sama semuanya, kalau kamu membongkarnya sekarang kita semua bener-bener bisa masuk penjara." Satya menjelaskannya dengan terburu-buru, nafasnya masih belum kembali normal dan keringat di keningnya masih tersisa.
Dia menopang kedua tangan ya di pinggang dan berdiri dengan tegak di hadapan Giana.
"Bodo amat sama keluarga lo, kalau lo masuk penjara juga yah bagus lah," timpal Giana dengan percaya diri.
"Jaksa itu kenalan tante saya , dia cuma mau memanfaatkan kamu."
"Apa?!" Giana tidak habis pikir bagaimana semua ini menjadi saling berhubungan. "Gw gak peduli, dia bilang bakal ngelindungin gw." Dengan percaya diri Giana menepis semua kata-kata yang di ucapkan Satya.
"Kamu percaya sama dia?" teriak Satya hingga bola matanya bergetar.
"Emang ada alasan gw gak percaya sama dia?"
"Dia jaksa penuntut kasus yang kamu jadi saksinya, menurut kamu gak aneh orang yang super sibuk tiba-tiba minta ketemu?"
"Terus menurut lo, lebih baik gw percaya sama lo gitu? Lebih baik gw percaya sama tuh jaksa dari pada penipu kayak lo."
Satya mengendus kasar, dia menggigit ujung bibir bawahnya. Tidak tahu lagi bagaimana harus membujuk gadis di hadapannya itu.
"Oke, Kamu menang..." Suara Satya yang terdengar secara tiba-tiba membuatnya Giana sedikit tersentak. "Saya minta maaf karena kemarin bicara kayak gitu, seharusnya saya juga pikirin posisi kamu. Saya minta maaf jadi mohon bantu saya," mohon Satya.
"Apaan nih?" tanya Giana kebingunan saat melihat Satya tiba-tiba meminta maaf. "Kenapa tiba-tiba minta maaf begini?" cibirnya sembari menatap aneh ke arah Satya.
"Saya mau minta tolong sama kamu, Keluarga Saya gak boleh tahu semuanya. Kalau tidak Caroline bisa dalam masalah."
Giana tersenyum tipis karena tak habis pikir Satya masih saja memikirkan wanita itu, dia tahu kalau Caroline istrinya dan dia sangat mencintainya tapi apakah aneh jika dia merasa jengkel?
"Semuanya karena Caroline lagi?" tanyanya dengan kesal. "gw gak habis pikir yah, gw harus berkorban banyak buat tuh perempuan."
Giana menatap tajam ke arah Satya, dengan mantap berdiri tegak dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Urus sendiri istri lo itu, gw gak peduli." Dia langsung berbalik badan saat mengatakan itu dan berjalan menjauh dari Satya.
Melihat itu Satya tidak tahu harus berbuat apa, dia menatap ke bawah dan mulai mengguyar rambutnya. Matanya tampak memerah dan akhirnya dia berteriak kencang.
"Ayah saya...!"
Teriakan itu seketika membuat Giana berhenti melangkah dan mulai mendengarkan perkataan Satya.
"Dia harus di rawat di rumah sakit Selama satu bulan penuh karena kecelakaan yang di rancang sama bibi saya sendiri, karena dia mau menjadi ahli waris dari Kakek saya. Bahkan sampai sekarang pun dia tetap berusaha mengambil apa yang menjadi milik ayah saya, dan memanfaatkan kamu sebagai salah satunya. Jadi haruskah saya menyerah?"
Giana mengepal tangannya dengan kuat, terdiam sebentar dan mulai ragu dengan langkahnya. Dia menarik nafas panjang dan memutuskan untuk berbalik menuju arah Satya.
"Dengan satu syarat," ucapnya pada Satya yang masih tertunduk menatap jalanan. "Caroline gak boleh buat hal bodoh seperti pas acara pernikahan di depan orang lain, lo pikir aja seberapa malu gw hari itu?"
"Saya akan jamin itu," jawab Satya dengan percaya diri.
Giana tersenyum puas, walaupun harus bertengkar dengan Caroline di luar skenario mereka setidaknya dia tidak malu di depan banyak orang. Terlebih lagi keluarga Satya yang mungkin saja mereka akan sering bertemu.
"Jadi? Di mana orang yang butuh pembuktiannya?" tanyanya dengan percaya diri dan mulai berjalan menuju Mobil Satya yang terlihat dari kejauhan.
Satya bernafas lega saat itu juga, dia masih belum mengerti mengapa kata-katanya barusan bisa membuat Giana berubah pikiran. Padahal sudah berapa kali dia membujuknya.
&&&
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju rumah Satya, jika di pikir-pikir Giana belum pernah berkunjung ke rumah itu sekalipun
Beberapa kali terjebak lampu merah membuat perjalanan menjadi lebih lama tapi tidak membuat mereka berdua membuka mulut dan saling berbincang satu sama lain.
Suasana hening pecah saat ponsel Giana berdering dan membuat mereka berdua kaget secara bersamaan.
Giana menatap layarnya dan nama jaksa itu tertulis di sana, dengan percaya diri dia mengangkat panggilan itu.
"Halo, ibu Giana. Saya sudah ada di Cafe dari setengah jam yang lalu," jelas Jaksa itu saat Giana mengangkat ponselnya.
"Tapi, walaupun pak jaksa masih mau menunggu lebih lama lagi, kayaknya sampai malam saya gak akan datang," timpalnya dengan nada mengejek.
"Maksudnya?"
"Ada orang yang bilang gak boleh percaya pada jaksa kayak anda, lebih baik percaya penipu katanya."
Sampai di situ saja perbincangan Giana dan jaksa itu, dia memutuskan panggilan yang membuat Satya menatapnya keheranan. Sekali lagi pertanyaan yang sama muncul di kepalanya, apa yang membuat Gadis itu merubah pikirannya.
Giana menatap balik, dan berkata. "Kenapa? Merasa takjub atau tersentuh?"tanyanya dengan sedikit nyaring.
"Saya penasaran," sanggahnya sesaat lampu jalan berubah menjadi hijau. "Apa yang membuat kamu berubah pikiran? Apa karena permintaan maaf saya?"
Giana menatap tajam dan menoleh ke arah Satya, matanya terbuka lebar tanda tidak setuju dengan perkataan pria itu.
"Jangan terlalu percaya diri, gw berubah pikiran karena ayah lo. Karena gw juga punya ayah." Giana duduk bersandar pada jok mobil yang sebelumnya terus duduk tegak. "Gw gagal menjadi anak yang baik untuk ayah gw, jadi sebagai gantinya gw tolong lo buat jadi anak yang baik. Lo juga udah bantu gw kasih semua yang terbaik buat ayah gw di kondisi sekarang, jadi itu sebagai balasan."
Satya mengangguk, dia menatap jauh ke arah jalan karena merasa sungkan menatap Giana.
"Jadi jangan terlalu percaya diri, permintaan maaf sama uang lo gak bisa lagi merubah pikiran gw sekarang. Walaupun tetap uang lo juga yang jadi alasan ayah gw dapat kamar mewah sekarang."
Satya tersenyum tipis sambil tetap menatap ke jalan, suasana kembali hening. Namun akhirnya menjadi riuh saat Giana bertanya apa yang membuat Satya tidak menyujai bibinya itu.
Dia kemudian bercerita jika Bibinya menjadi penyebab ayahnya kecelakaan, tentang Saudari bibinya yang membenci Caroline karena tidak menerima tawarannya untuk menikahkan Satya dan anaknya. Dengan semua penjelasan itu Giana mengerti apa yang harus dia lakukan, dan bagaimana sikap kurang ajarnya harus dilakukan.
Sekitar satu jam perjalanan mereka sampai di depan rumah Satya, sebuah gerbang besar berwarna hitam terpampang nyata dan menghalangi pandangan seseorang pada rumah di dalam. Seorang penjaga pagar langsung bergegas membuka pintu pagar saat melihat sosok Satya di dalam mobil.
Ternyata gambaran sosok orang kaya yang dilihatnya di sinetron saat masih kecil benar adanya, rasanya dia sedang syuting dan menjadi sosok pelakor dalam sinetronnya.
Saat pagar di buka Giana terperangah untuk sekali lagi, rumah di hadapannya tampak mewah dengan halaman depan yang sangat luas di lapisi keramik berwarna hitam legam, ukiran di setiap ujung pagar pembatas lantai satu hingga tiga, tanaman hijau di setiap sudut jalan masuk menuju garasi, warna putih di seluruh permukaan rumah membuat Giana tidak bisa berhenti menatapnya.
Apakah ini rahasia hidup bahagia orang kaya? Rumahnya sangat indah dan tertata rapih, apa punya sebuah Restoran bisa membuat seseorang kaya seperti ini?
Giana tersadar saat Satya menyeletuk dan menyuruhnya turun dari mobil setelah memarkirkan mobilnya tepat di pintu masuk, saat Giana turun dan melangkah menuju teras dia bisa merasakan bahwa yang di injaknya bukan keramik biasa seperti di rumahnya dahulu.
Pantas saja Caroline selalu menuduhnya menikah dengan Satya karena kekayaan pria itu, ternyata dia benar-benar kaya.
"Eittss....," tahannya saat Satya ingin masuk begitu saja, " Lo harus membuat kesan berlebihan biar lawan lo ngerasa gak nyaman," tambahnya lagi.
"Dia tante saya, bukan lawan." Entah terlalu bodoh atau bagaimana, Satya memberikan jawaban itu.
"Mau dia gak curiga lagi gak?" tanya Giana yang di ikuti anggukan canggung dari Satya. "Khusus hari ini dia musuh lo, terus...."
Tangan Giana meraih tenan Satya, dia mengaitkan tangan Satya pada lengannya yang sedari tadi sudah dia tolak di pinggang.
"Tangan lo kayak gini," sambungnya lagi.
Saat Giana dengan percaya diri melangkah maju, Satya justru menahannya dan melepas genggamannya. Sesaat Giana berpikir pria itu tidak mau melakukannya, tapi secara tiba-tiba Satya meraih telapak tangan Giana dan menggemgamnya dengan erat, jari mereka saling bertautan yang membuat jantung Giana berdetak kencang selama beberapa saat.
"Mereka bakal lebih percaya kalau seperti itu," ucap Satya pelan. "Posisi kamu salah, seharusnya yang bertolak pinggang itu saya."