Satya berlari mengejar Caroline yang tetap terus berlari meski dia terus memanggilnya dari belakang, Satya hanya khawatir Caroline berbuat sesuatu yang berbahaya, dia tahu bagaimana sifat Istrinya itu.
Suara hentakan High-heels milik Caroline terdengar di seluruh koridor sepi tempat mereka berdua saling kejar mengejar, matanya sudah memerah entah karena menahan amarah atau air mata.
Mereka berdua berhenti berjalan saat Satya berhasil meraih lengan Caroline dan menggenggamnya dengan erat, Caroline berbalik menatap suaminya dan menjatuhkan gelas kaca itu. Membiarkan suara nyaringnya kembali mengisi kekosongan kerodir yang nampak mewah dengan sentuhan keramik berwarna hitam dan langit-langit berwarna emas.
Satya menarik nafas panjang, memindahkan posisi tangannya dan menggenggam telapak tangan Caroline dengan hangat. Dia menunduk untuk menarik nafas panjang dan bersiap menengakan wanita itu.
"Caroline....," ucapnya dengan lembut dan nafas yang berat. "Jangan seperti ini," pintanya sembari menatap sendu kedua mata Caroline.
"Terus kamu mau aku kayak gimana? Senyum bahagia liat suami aku di pelaminan natap perempuan lain?" Air mata itu mulai mengalir, membasahi wajah Caroline yang bahkan tak di poles make up sedikit pun.
"Kamu masih belum gak juga?" sanggah Satya sedikit frustrasi. "Semua itu palsu Caroline, ini semua cuma sandiwara."
"Sandiwara sampai kalian tatap-tatapan kayak tadi? Kamu gak pikir perasaan aku mas? Gimana rasanya orang yang aku cintai sama perempuan lain, apa kamu mau aku juga kayak gitu supaya kamu ngerti?"
Satya mengusap air mata Caroline dan memeluknya dengan hangat, dia menepuk pundak mungil itu dan melepaskannya. Dia kembali menatap Caroline dan berkata.
"Saya minta maaf karena natap Giana, tapi semua ini gak bisa saya hindari. Saya harus bersandiwara supaya semua orang percaya kita nikah karena saling mencintai, bukan karena kejadian itu. Dan saya harus terus seperti itu di depan orang-orang."
"Gak bisa di hindari? Jadi kamu akan tetap bermesraan sama perempuan itu?"
"Semuanya cuma sandiwara Caroline, saya gak akan bersikap seperti itu kalau bukan di depan semua tamu undangan. Saya mau kamu bisa ngerti, kamu tahu semua ini buat kamu."
"Buat aku..." Caroline mengangguk kecil dan melepaskan tangan Satya dari pundaknya. "Kalian mesra-mesraan, untuk aku?"
Sejenak dia menatap Wajah Satya sambil mengguyar rambutnya, menelan ludah pahit yang sedari tadi tersangkut di tenggorokannya.
"Oke, aku ngerti. Lakuin semuanya sesuai sandiwara kalian."
Caroline berbalik arah dan melangkah menjauh dari Satya, dia masih saja terus mengguyar rambut panjangnya.
Satya berlari mengejar Caroline dan berhenti tepat di hadapannya.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pulang, di sini bikin tambah stres."
"Mau saya antar pulang?"tawar Satya dengan nada sedikit tinggi.
"Gak usah, aku bisa sendiri."
"Atau aku carikan sopir," tawarnya lagi berharap Caroline bersedia menerimanya.
"Aku bilang aku bisa sendiri, mending kamu cepat balik. Keluarga kamu bisa curiga."
Satya kembali ke dalam ruangan tempat acara berlangsung setelah Caroline benar-benar hilang dari pandangannya.
&&&
Semua tamu undangan telah meninggalkan gedung, acara juga telah selesai sepenuhnya. Walaupun berjalan sukses tapi Giana sama sekali tidak membuka mulutnya ataupun sekedar menatap Satya seperti sebelumnya.
Dia terus terdiam sambil menatap ke bawah, sesekali memainkan gaun dan tangannya. Dia juga menolak beradu mata dengan para undangan karena dia tahu tatapan mereka pasti akan membuatnya tidak nyaman. Apalagi setelah Caroline berbuat ulah.
Giana melangkah keluar dari pelaminan dan berjalan menuju ruang ganti, dengan kasar dia membanting pintu megah itu saat Satya mengejarnya dari belakang. Dia mengganti pakaiannya secepat yang dia bisa dan bergegas untuk kembali ke rumah sakit, sudah cukup lelah dia dengan semua yang terjadi hari ini.
"Kamu mau ke mana?" tanya Satya yang kaget melihat Giana merapikan pakaiannya dan memasukkan semuanya ke dalam tas yang bahkan Satya tak tahu kalau Giana membawa tas itu.
"Gw mau pulang," jawab Giana dengan jengkel, dia memasukkan pakaian dengan kasar ke dalam tas, menutupnya dengan kencang dan berbalik menatap Satya dengan penuh amarah.
"Ke rumah sakit?" tanyanya sekali lagi.
Giana tak menjawab, dia tetap pada posisinya. Menatap Satya dengan matanya yang terbuka lebar.
"Keluarga saya ada di rumah sekarang, maunya kamu ikut...."
Belum selesai Satya berkata-kata Giana sudah memotong dan berkata sambil berteriak.
"Kenapa? Gw harus ke rumah lo dan terima tamparan dari mereka semua? Gw capek, bukannya kalo kontrak menguntungkan semua pihak? Kenapa cuma gw yang harus ikut semua mau lo?"
"Tapi kamu sudah menerima....."
"Semuanya cuma tentang uang? Lo pikir gw bakal setuju kalau tahu semuanya akan jadi kayak gini? Lo lupa kalau semua ini karena lo jebak gw?"
Nada bicara Giana meninggi, dia berteriak dengan kencang. Membuat tubuhnya bergetar karena amarah.
"Terus bagaimana saya harus jelaskan sama mereka?"
"Gw gak peduli, urusin sendiri masalah lo."
Giana pergi meninggalkan Satya, dia berjalan dengan cepat dan sedikit menyambar pundak Satya.
"Kamu mau terus kayak gini? Bertindak sesuka mu?"
Dia berteriak saat melihat Giana mulai berjalan menjauh dan membuka sebelah pintu, entah apa yang sebenarnya telah terjadi atau di mana kesalahan dari rencananya hingga semuanya menjadi rumit.
"Terus, semuanya harus sesuai sama keinginan Caroline? Lo cuma mikirin dia, dan lo gak mikir gimana malunya gw waktu lo kabur ditengah acara?"
"Kamu harus ngerti, dia lagi kesulitan sekarang. Dia pasti sakti hati."
"Gw juga kesakitan, setiap hari gak bisa tidur karena stres mikirin pernikahan ini. Setiap hari harus dengar kabar kesehatan ayah gw yang terus menurun, berkelahi sama Caroline setiap kali ketemu. Bahkan rambut gw mulai rontok dan LO BILANG CAROLINE KESULITAN?!" Nafas Giana memburu setelah berteriak tanpa jeda pada Satya.
Rasanya semuanya berjalan kacau entah bermula dari mana, seperti benang merah yang tak berujung. Cerita mereka serumit mencari jarum di tumpukan jerami, atau bahkan mencari jerami di tumpukan jarum. Lebih sakit dan sulit.
"Sebelum istri Kesayangan lo itu kontrol kelakuannya gw gak bakal ngelanjutin kontrak ini. Gw gak peduli sama hukuman atau apalah itu, penjara kayaknya lebih baik dari pada harus di situasi ini."
"Kalau begitu siap-siap kamu mendekap di penjara," ancam Satya sembari menatap lekat gadis itu, dia berjalan mendekat untuk meyakinkannya kalau kata-katanya bukan sekedar ancaman.
"Kampret... Anjing Dasar." Giana membalas tatapan Satya, dia mengumpat dengan pelan namun menekan setiap kata membuat siapa saja yang mendengarnya bisa merasa sakit hati, termasuk Satya.
Dia mengguyar rambutnya berkali-kali sambil menggeleng kasar dan mendekap kepalanya dengan kedua tangannya. Kepalanya terasa akan meledak saat itu juga, dahinya berdenyut karena stres dan itu membuatnya benar-benar pusing.
Dia berjalan perlahan menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya, memijit pelan kedua pelipisnya dan memejamkan mata sembari mengatur nafasnya. Tapi sayangnya dia masih belum tenang juga, pikirannya masih di penuhi situasi kacau.
"Bagaimana caranya supaya mereka gak bertengkar?" serunya dengan pelan.
&&&
Giana berjalan dengan cepat menyusuri setiap meter dari koridor yang sepi di lantai tersebut, karena lantai ini tempat kamar President suite jadi tidak heran kalau tempatnya sangat sepi. Semua yang ada di sana merupakan orang penting. Mungkin hanya Kamran yang beruntung menempatinya. Atau mungkin tidak bisa di katakan beruntung.
Giana masuk dan langsung meneguk air dari dalam kulkas, rasanya tenggorokannya benar-benar kering. Tak ada satupun yang dapat di makan dan minum olehnya saat acara pagi tadi, bukan karena tidak sempat tapi karena keluarga Satya membuatnya tidak mampu bergerak.
Membuang tas itu dengan sembarangan, menjatuhkan tubuhnya ke atas rancang dan meraba wajahnya yang masih penuh dengan make up. Dia melepaskan kedua bulu mata palsu dan mulai menarik nafas berat.
Dia mengangkat tubuhnya dan menatap wajahnya yang terlihat menyeramkan dari cermin yang terpasang tepat di hadapannya.
"Oke sekarang jangan pikir apapun dan langsung tidur," ucapnya sembari membersihkan wajahnya. "Seenggaknya gw harus siap-siap kalau memang yang harus ngelaporin dia."