Giana berjalan menuju koridor sepi hingga sampai ke ruang tunggu yang tak tampak di isi oleh seorang pun, dia dudu tepat di hadapan jendela kaca besar yang langsung menghadap ke jalan utama. Mobil yang lalu lalang seperti tayangan televisi besar saat dilihat dari sudut pandang Giana.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Satya yang sedari tadi mengikuti Giana.
"Tadi gak dengar gw bilang apa? Gw mau cari ketenangan." Dia berbalik menatap Satya yang tengah berdiri tegap di sebelah kanan.
Mata Giana berbinar-binar saat menatap ke luar jendela, dia menarik nafas panjang dan menikmati kesunyian yang sedang dia rasakan. Berapa di ruangan selama berjam-jam dengan suara alat dari pasien yang tidak berhenti kadang secara tidak sadar membuatnya stres.
"Biasanya kalau situasi seperti ini orang lain lebih milih untuk keluar cari angin segar. Kamu malah cari tempat pengap sempit kayak gini?" tanya Satya yang dengan pelan berjalan mendekati Giana dan duduk di sebelahnya dengan jarak yang cukup jauh.
"Udara di sana sama sini apa bedanya? sama-sama oksigen. Mau udaranya sebersih apa juga nafasnya gw tetap sesak tiap hari." Dari tarikan nafas berat Giana saja sudah tergambar dengan jelas bagaimana lelahnya dia dengan kondisi sekarang ini, ayahnya yang terkapar lemah ditambah pernikahan yang tidak masuk akal.
"Oh iya! Ini udah ketiga kalinya gw nanya," ucapnya sembari meregangkan tubuhnya. "Ngapain lo ke sini?"
Satya tak bicara dia hanya bergeser sedikit dan memberikan gaun itu pada Giana dengan sedikit di lempar, dia menatap keluar jendela sembari berkata dengan datar. "Ketinggalan di restoran."
"Apa ini?" tanya Giana sembari membuka tas di tangannya yang berisi gaun pernikahan. "Ohhh.... Astaga gw lupa," serunya sembari mengeluarkan gaun itu dari tempatnya.
Suasananya seketika hening, Satya hanya fokus memandang ke depan dan Giana sibuk dengan gaun penggantinya, hingga dia memecahkan keheningan.
"Lahh...?!" serunya sedikit kaget saat menatap gaun itu, "Gaunnya robek."
Satya berbalik dan menatap, benar saja gaun itu tampak kotor dan robek dibagikan bawah. Pasti karena Caroline melemparnya tadi.
"Simpan aja gaunnya," timpal Satya sembari berdiri meninggalkan tempatnya. "Datang ke tempat yang sama besok, nanti saya hubungi desainer kalau kamu perlu gaun baru," lanjutnya dengan kesan yang terdengar ketan.
Giana tertawa tengil mendengarnya sambil berseru. "ohhwww.... lo lagi berlagak keren nih? Rasanya lo benar-benar kaya gitu. Apa punya restoran bisa sekaya itu yah?"
Satya tak menjawab sedikitpun, dia hanya berbalik menatap Giana dan pergi begitu saja. Giana yang melihat itu merasa teracuhkan dan sedikit jengkel.
"Lo pergi sekarang? Gak tinggal dulu gitu?" panggilnya sedikit teriak. "Atau temenin gw di sini?"
"Woii...!"
Dia berusaha menahan pria itu tapi tetap saja pundaknya perlahan menghilang dari penglihatan Giana.
"Kata orang-orang kalau lagi malam kayak gini semua orang jadi lebih melow gitu, trus lebih lembut," ucapnya sembari berdecak pelan, dia memperbaiki lipatan gaun itu dan melangkah meninggalkan tempatnya. "Gw ngarepin apa sih dari tuh orang? Cowok kayak dia gak bakal bersikap baik."
Hentakan kaki Giana memecah keheningan tempat itu, dia berjalan sembari sedikit menyeret kakinya. Dengan malas menatap ke arah lantai dan berjalan luntang lantang.
Dia mendongak saat mendengar suara ranjang pasien yang sedang didorong, matanya terbelalak kegeranan saat mendapati ayahnya yang tengah ada di sana. Sepemikirannya dia sudah melunasi uang perawatan untuk bulan ini tapi kenapa ayahnya di pindahkan?
"Ehhh!!.... Tunggu?!" Dia berlari menuju ayahnya dan menahan ranjang itu agar tidak bergerak. "Mau di bawa ke mana ayah saya? Biaya rumah sakit sudah lunas untuk bulan ini."
"Pak Kamran akan di pindahkan ke kamar President Suite," jawab perawat wanita dengan senyuman manis itu kepada Giana.
"Apa?! Siapa yang bilang?"
"Ada sudah meng-upgrade ruang inap pak Kamran tadi," sahut salah seorang perawat pria.
"Siapa?"
"Satya Magani."
Mendengar jawaban Itu Giana langsung melepaskan pegangannya dan berlari meninggalkan ayahnya yang belum sampai ke kamar, saat sudah agak jauh dia kembali dan berkata. "Tolong jaga ayah saya tetap selamat sampai ke kamar baru," ucapnya tergesa-gesa. "Kamarnya ada di mana?"
"Lantai 10."
"Oke!" Dia mengajukan tangannya dan kembali berlari pergi mencari keberadaan Satya.
Seorang perawat di sana terkekeh melihat tingkah Giana, "Kalau lagi bersemangat kayak itu gak akan ada yang tau dia selalu kelihatan murung hampir tiap saat," tegur Perawat pria itu.
"Dia juga gak tenang kalau harus ninggalin ayahnya, sekarang kayaknya gak lagi."
"Tapi, kayaknya gw pernah lihat di tempat lain," celetuk perawat lainnya yang tampak dengan serius mengingat di mana dia pernah melihat Giana sebelumnya.
Mereka semua hanya terkekeh melihat Giana dan kembali melanjutkan tugas mereka, Kamran di bawa ke ruangannya dengan selamat.
&&&
Giana berlari menuju tempat parkir saat mendapat informasi ke mana perginya Satya dari bagian resepsionis rumah sakit, nafasnya nampak tersengal saat berlari menuruni tangga darurat karena Lift sedang penuh dan dia tidak punya waktu untuk menunggu.
Saat belok menuju tempat parkir Giana menemukan sosok Satya yang tengah berjalan menuju ke arah mobilnya.
"Woiii!!!"
Sekencang apapun Giana berteriak pria itu tampaknya tidak mendengar suaranya, atau mungkin dia pura-pura tidak mendengar suaranya. Dengan tenaga yang hanya tersisa sedikit Giana berlari menghampiri Satya dan menarik lengannya hingga pria itu berbalik menatapnya.
"Maksud lo lakuin Itu apa?"
Satya tak menjawab dia hanya menatap Giana yang sedang sibuk mengatur nafasnya dengan kebingungan, dia tidak mengerti kenapa gadis itu sampai berlari menghampirinya.
"Kamar ayah gw, kenapa lo tukar?" tanyanya lagi.
"Bukannya memang itu perjanjiannya dari awal? Saya cuma menanggung pengobatannya."
"Gw cuma bilang menanggung bukan memperbaiki, lo tau semahal apa kamar itu," cercanya dengan nafas yang masih tersengal.
"Dengan begitu saya juga sudah membiayai kehidupan kamu, kamu gak mau sewa rumah jadi saya bawakan rumah ke sini."
"Kita aja belum nikah," tepis Giana yang secara perlahan meleoasoan genggaman tangannya pada Satya.
"Nanti bakal nikah juga."
"Lo... Kelihatannya pengen banget pernikahan ini terjadi. Gw aja gak mau, amit-amit.."
"Kalau begitu, terima aja," timpal Satya yang membuat Giana kebingunan, dia tidak mengerti maksud dari pria itu.
"Apa?!"
"Kalau kamu gak bisa menginginkannya cukup terima aja," sambungnya memberikan penjelasan. "Terima pernikahan ini jadi kamu gak perlu lagi bertengkar dengan Caroline, kita berdua gak perlu lagi berdebat setiap bertemu. Dan semuanya berjalan lancar sampai ayahmu siuman dan semuanya kembali ke tempatnya."
Giana menatap pria itu, dari tatapannya terlihat jelas bahwa Satya juga kesulitan dengan keadaan dan keputusan yang dia buat. Tatapan melankolis itu membuat Giana sedikit merasa kasihan padanya. Kalau dia yang menjadi Satya dan melakukan hal segila ini juga sudah pasti merasa stres.
Tapi, saat mengingat masa lalu yang sudah terjadi, tiba-tiba Giana kehilangan rasa simpatinya.
"Tunggu dulu..." Dia mulai menatap Satya dengan curiga, "Terakhir waktu lo bersikap kayak gini, habis itu lo kasih gw formulir pernikahan. Jangan-jangan ada yang lo rencanain lagi? Mau nipu gw lagi lo? Atau mau buat sesuatu yang gila lagi?"
"Kalau cara Itu kamu bisa terima pernikahan ini, tetap pegang prasangka kamu itu."
Satya seketika berbalik dan masuk ke dalam mobilnya, tanpa basa basi langsung tancap gas dan meninggalkan Giana yang masih berdiri di sana.
"Dasar cowok ribet," ocehnya sembari menatap tajam ke arah mobil yang perlahan hilang dari pandangannya. "Alasan dia mau nikahin gw aja masih ambigu. Malah susun rencana lain lagi." Giana memukul kepalanya karena merasa frustrasi.
"Jangan ngeluh, lo sendiri yang udah ambil keputusan bodoh ini Giana." Ucapnya sembari menarik nafas panjang.
&&&
Sudah lama Giana terus membuka mulutnya karena takjub dengan ruangan baru ayahnya, kamar yang luas, televisi dan Ac sendiri, sofa mewah di setiap sudut. Dia penasaran berapa harga yang dipatok untuk kamar ini.
"Ayah, gimana rasanya di ruangan baru?" tanya Giana pada ayahnya yang tertidur di atas kasur super besar dan mewah.
Kakinya tidak berhenti berjalan ke sana kemari memperhatikan ruangan itu, bahkan kamarnya tidak seluas itu dulu.
"Kamar gw aja gak se mewah ini dulu, seberapa kaya tuh cowok?"
Dia melangkah menuju sofa utama dirungan itu, menjatuhkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi. Giana merasakan setiap tulang belakangnya mulai lurus satu persatu, rasanya dia akan tidur nyenyak malam walaupun tidur di sofa.
Dia menarik nafas panjang sembari menatap langit-langit kamar yang tampak mewah dengan ukiran di setiap sisinya, matanya terpejam di bawah sinar lampu sembari berkata, "Oke, seenggaknya mari kita coba buat gak pikirkan apapun dulu. Menerima pernikahan ini, seenggaknya ayah bisa sembuh dan semuanya bisa kembali kayak gak terjadi apa-apa." Giana terlelap saat itu itu bersama dengan gaun yang masih berada Di genggamannya
.