Chereads / The last heart winner / Chapter 3 - Tiga

Chapter 3 - Tiga

Giana duduk di kursi berwarna putih di kantin rumah sakit, sekitar tiga meter darinya Satya sedang sibuk menerima telepon dari seseorang. Tangan di pinggang dan kaki yang agak miring sedikit serta jasnya yang nampak sedikit dibuka, Satya tampak seperti tokoh utama film bertema Mafia dari sudut pandang Giana.

Caroline sedang menunggu di mobil atas perintah Satya, Giana pun tak tahu alasannya apa, dia hanya berpikir Satya adalah asisten dari Caroline atau sejenisnya. Dia bahkan belum mengetahui nama dari mereka berdua dan hubungan jenis apa yang mereka miliki.

"Oke…," celetuk Satya yang membuat Giana sedikit terkejut. "Coba ceritain semua yang kamu lihat malam itu," pintanya

"Bukannya lo udah tau semua yang dilakuin cewek itu? Kenapa nanya ke gw lagi?" jawabnya sedikit kesal.

"Saya mau tau, kamu beneran liat atau cuma main-main saja," tepis Satya.

"Ribet banget sih! Pas itu tengah malam terus gw pergi ke jembatan, pas liat ke samping tuh cewek datang terus dia nyeret perempuan lain trus di dorong turun ke jembatan," jelas Giana dengan intonasi yang cepat. "Gw penasaran, tuh cewek ngabisin perempuan Itu dalam mobil atau gimana?"

"Apa maksud kamu di dalam mobil? Cewek itu tiba-tiba muncul waktu Caroline bawa mobil malam-malam."

"Gw pikir dia sejenis penjahat kayak dalam film," cetusnya lagi.

"Terus kenapa kamu lari? Gak lapor atau sejenisnya?"

"Kenapa lo yang sewot? Emangnya salah kalo gw gak lapor ke polisi?" Giana tidak suka mendengar perkataan Satya yang seolah-olah menyudutkannya. "Lo pikir tengah malam gitu trus gw liat pembunuhan gw bisa gitu datang liat-liat kayak nonton atraksi malam? Atau mau gw menawarkan bantuan gitu?! Gw lebih milih pergi lah," celoteh Giana sedikit emosi.

"Kalau gitu, Kamu harus jadi komplotan saya," tawar Satya dengan yakin.

Giana yang mendengarnya tidak mengerti, komplotan apa maksudnya?

"Datang ke sidang Caroline dan jadi saksi, bilang pada hakim kalau cewek itu jatuh sendiri. Dan kamu gak pernah melihat Caroline datang."

"Dasar gila," bentak Giana saat mendengar tawaran busuk itu, bagaimana bisa dia bersaksi seperti itu? Jika setuju sama saja dia juga merupakan pelakunya. "Lo pikir gw Kau manusia jenis apa?"

"Saya berikan semua yang kamu mau!"

Giana tidak bisa munafik, dia tergiur dengan kata-kata Satya detik itu juga. Matanya tidak bisa fokus menatap wajah Satya, hingga pikiran gila datang padanya.

"Kalau gitu lo harus tanggung semua biaya rumah sakit bapak gw, sama lo harus tanggung biaya kehidupan gw!" Sebenarnya dia tidak benar-benar ingin bekerja sama, perkataannya barusan hanya sebagai jawaban agar Satya menolak bekerja sama.

Biaya rumah sakit ayahnya tidak bisa dikatakan sedikit, apalagi harus membiayai hidupnya juga.

Mata Giana menatap tajam ke arah Satya, berharap pria itu menarik kembali kata-katanya, atau setidaknya dia berkata tidak mampu memenuhi keinginan Giana.

"Ini alamat pengadilannya," ucap Satya dengan santai, dari kantong jasnya dia menarik sebuah kertas kecil bertuliskan alamat yang harus Giana datangi. "Datang hari rabu jam sepuluh pagi, jangan terlambat. Penhacara saya yang akan mengatur semua yang harus kamu lakukan."

Satya sudah beranjak dari tempatnya bahkan saat Giana masih belum mencerna jawaban Satya dan termenung melihat kertas itu, Giana melihatnya sepintas dan benar-benar ada alamat yang tertera.

Gadis itu menatap Satya yang perlahan hilang, dan mengambil kertas itu, menggenggamnya kuat kemudian berlari mengejar Satya.

"Woi," panggilnya sedikit berlari. "Lo beneran setuju? Gak keberatan sama syarat yang gw kasih?" Giana terus berteriak dari arah belakang di mana Satya berjalan dengan cukup cepat.

Sialnya pria itu terus berjalan tanpa menengok kebelakang sedikitpun, hanya bayang-bayang jas hitamnya yang terlihat hingga Giana memutuskan untuk kembali ke kamar ayahnya.

"Kalau mau pergi, senggaknya ganti dulu roti gw," decaknya kesal.

&&&

Giana terbangun karena dering ponsel yang dia simpan di meja dekat kasur ayahnya, entah siapa yang menelpon pagi-pagi buta seperti ini, jarum jam bahkan belum menyentuh angka lima, dering ponsel itu sampai masuk menjadi soundtrack mimpinya.

Dia meringis saat mengangkat tubuh atasnya dan berdiri mengambil ponselnya, sudah lebih dari seminggu dia tidur dalam posisi duduk karena tidak mampu menyewa rumah kontrakan untuk sementara. Rumahnya sudah lama dia jual untuk menutupi segala biaya, mulai dari operasi sampai perawatan ayahnya.

Dengan sebelah matanya yang baru terbuka dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan nomor tidak dikenal, wajah masamnya terlihat jelas saat menatap layar ponsel. Sejenak dia memukul pelan punggungnya sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Selamat pagi Giana, saya Marchel pengacara dari ibu Caroline. Pagi ini kita harus bertemu untuk membicarakan kesaksian dalam sidang, saya akan mengirimkan alamat tempat kita akan bertemu. Saya harap anda datang tepat waktu." Orang itu seketika menutup teleponnya sebelum Giana mengatakan sesuatu.

Dia menarik ponsel itu dari telinganya, menatap layarnya dengan keheranan dan alisnya yang naik sebelah. Dia hanya tidak mengerti atmosfer apa yang sedang terjadi sekarang.

"Hah? Tunggu?!" gumamnya keheranan sambil tatapan tetap pada ponselnya. "Dari mana dia dapat nomor gw?"

Sedetik kemudian alamat lengkap telah dikirim orang itu melalui pesan singkat, lengkap dengan nomor meja dan juga titik lokasinya. Tampak dari tempatnya sepertinya mereka akan bertemu di sebuah restoran yang cukup jauh dari rumah sakit.

Giana santai saja saat melihat alamatnya, tapi saat melihat waktu yang diminta dirinya seketika tersadar dari kantuk.

"What?! Setengah tujuh? Gw disuruh berangkat ke sekolah atau bagaimana?" gerutunya kesal, dia bahkan belum membersihkan tubuhnya dan sarapan.

Tak ada waktu untuk sarapan, dia langsung bergegas untuk berangkat saat selesai mandi dan berpakaian seadanya, hanya blouse polos berwarna coklat yang di gunakannya, juga sepatu putih miliknya.

Dia langsung berlari keluar setelah berpamitan pada ayahnya untuk mengejar bus paling pagi, rambutnya yang di uraikan begitu saja terbang berantakan terbawa angin pagi yang masih segar untuk dihirup.

Sekitar 15 menit lagi waktu yang Giana punya sebelum tepat jam setengah tujuh, dia duduk dengan gelisah di dalam bus. Jarak restoran itu cukup jauh dan dia tidak yakin bisa datang tepat waktu bahkan saat jalanan sedang sepi.

Dari ponselnya Giana melihat rute perjalanannya dan saat perhentiannya sudah dekat Giana berlari ke pintu. Dia juga tidak mengerti kenapa begitu ingin tepat waktu padahal bukan dia yang berkepentingan, atau mungkin karena pria itu akan menanggung kehidupannya.

Sepatu putihnya kotor terkena lumpur saat dia melompat keluar bus dan menginjak genangan air, dia tak lagi menghiraukan Sepatutnya saat melihat restoran itu. Pakaiannya terbawa angin dan rambutnya kembali berantakan setelah sebelumnya dia rapikan saat di bus tadi.

Nafasnya tidak beraturan saat dia masuk dan melihat Satya sudah ada di sana bersama dengan pria asing yang kemungkinan besar adalah pengacara yang menghubunginya tadi pagi.

Giana berjalan mendekati mereka dengan sesekali merapikan rambutnya, pakaian mereka berdua terlihat mewah. Apakah pria itu memang orang kaya? Atau anak konglomerat sehingga mampu menerima tawaran aneh Giana.