Seorang pelayan datang dan mendekat kearah mereka yang sedari tadi terus terdiam tanpa terdengar apa-apa selain suara lembaran kertas yang terus Marchel buka, beberapa makanan datang dengan berbagai penampilan yang menarik dan sepertinya sangat mahal.
Giana menatap kedua pria di hadapannya kemudian menatap makanan yang pelayan itu letakkan di atas meja.
"Makan," ucap Satya sembari melihat Giana yang sudah kebingungan dan juga kelaparan.
Karena datang pagi-pagi sambil berlari benar-benar membuat tenaganya terkuras habis, terlebih dia tidak sempat mengisinya.
"Gw kelihatan kasian banget gitu? Lo gak masukin apa-apa kan?" tanya Giana sedikit curiga.
"Kamu bilang roti kamu mau di ganti!"
Giana tak memikirkan apapun lagi dan langsung menyantap makanan dihadapannya, perutnya yang kelaparan tidak bisa ditoleran lagi.
Setelah Giana selesai dengan makanannya Marchel langsung menyodorkan lembaran kertas dan menjelaskan pada Giana apa yang harus dia katakan saat sidang yang akan dilaksanakan sekitar tiga hari lagi. Dengan serius Giana mendengarkan dan mencerna setiap kata-kata Marchel, sesekali dia memperbaiki posisi duduknya dan memukul punggungnya dan terasa sakit, hingga sekitar dua jam lebih hingga Marchel selesai dengan perjelasannya.
Marchel pergi terlebih dahulu setelah tugasnya selesai, dia berkata harus bertemu dengan Caroline untuk membahas persidangannya. Tinggalah Giana dan Satya yang duduk terdiam di dalam restoran.
Suasananya benar-benar canggung sekarang, Satya sibuk menyeruput minuman miliknya dan Giana masih memakan kue di hadapannya dengan perlahan-lahan. Hingga dia tidak tahan lagi dengan suasananya, dia meletakkan sendok di tangannya ke atas meja dengan cukup kencang.
"Semuanya udah selesai kan? Gw mau pulang!" ucapnya dengan kesal.
"Tunggu," tahan Satya saat melihat Giana mulai beranjak dari tempatnya. "Ambil ini." Dari kantong jasnya Satya mengeluarkan amplop berisi Uang yang dia letakkan di atas meja dengan sedikit dilempar.
"Apa ini?"
"Sesuai syarat yang kamu berikan, ini untuk uang mukanya."
"Lo nyogok gw?"
"Bukannya itu yang kamu minta? Pakai untuk sewa rumah atau yang lain, jangan tidur duduk begitu. Mau belakang kamu bengkok?"
Giana terdiam mendengar perkataan Satya dan berkata. "Bagaimana lo bisa tau gw tidur sambil duduk?" tanyanya dengan suara kencang sehingga semua perhatian pengunjung lain mengarah pada mereka. "Jangan-jangan lo pasang kamera CCTV yah dalam kamar bapak gw?"
"Kau pikir saya orang macam apa?" jawab Satya dengan suara yang di tahan serta gigi yang saling ditautkan. "Jangan bicara sembarangan."
"Terus?"
"Kamu pikir selama duduk disini berapa kali kamu pukul-pukul pundak? Muka kamu meringis setiap menit, saya kira kamu patah tulang tadi."
Jawaban Satya membuat Giana sedikit kesal tapi juga takjub, dia tidak terlihat seperti seorang yang peka.
"Kenapa kamu datang ke jembatan malam-malam? Sendirian pula." tanya Satya sekali lagi saat melihat Giana mulai berlalu untuk kedua kalinya.
"Kenapa lo nanya?"
"Saya sudah menjawab semua pertanyaan kamu, sekarang waktunya saya menerima jawaban."
"Gw pergi buat bunuh diri.... Gw miskin dan gak punya uang, gw juga nganggur. Bapak gw koma karena kejar penjahat. Pas gw mau lompat gw liat tuh cewek datang bawa orang, gw paham kalo gw gak berani buat loncat ditambah rasanya horor karna dia natap gw. Karena gw takut mati!" jelasnya dengan menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Puas?!" tanyanya kesal sambil menatap tajam ke arah Satya yang terdiam.
Giana berlalu begitu saat menjawab pertanyaan Satya, Satya juga tidak berani menahan gadis itu setelah mengetahui kenyataannya. Dia tak menyangka kenyataannya seperti itu.
&&&
Giana berjalan cepat menuju Lift rumah sakit, di tangannya sudah penuh dengan kantong plastik berisi belanjaannya. Dari pada menyewa tempat tinggal dia lebih suka membeli makanan dan juga kebutuhan untuknya dan Kamran, jauh dari ayahnya bukan suatu hal yang baik sekarang.
Dengan senyum sumringah dia menatap setiap belanjaannya secara bergantian, perutnya bahkan terasa lapar saat menatap makanan yang dia bawa, padahal baru beberapa jam yang lalu dia makan di restoran bersama Satya.
Giana sedikit mengerutkan dahinya dan tersadar kalau sampai sekarang dia tidak mengetahui nama pria itu, yang dia lakukan hanya berdebat dengannya sampai lupa menanyakan namanya. Dia hanya mengetahui nama wanita itu, karena terus di sebut oleh Marchel saat di restoran tadi.
Baru saja Giana memikirkan wanita itu, dia sudah ada di depan kamar ayahnya, berdiri menggunakan pakaian serba hitam dan kacamata yang tak kalah gelapnya. Sejenak Giana ragu dengan langkahnya untuk mendekat, dia hanya tidak tahu harus bagaimana.
"Mau apa lo kesini?" tanyanya dengan nada rendah.
Caroline menatap wajah Giana yang nampaknya tidak suka dengan kehadirannya, ditatapannya dari atas ke bawah untuk beberapa kali hingga dia menurunkan kacamata hitamnya dan berkata. "Sepertinya kita harus bicara sebentar," jawabnya.
"Bukannya semua udah jelas? Semuanya udah dijelasin sama pengacara lo! Gw bakal tutup mulut dan lakuin semua sesuai rencana." Giana melangkah maju dan menghiraukan Caroline, dia menggeser pintu dihadapannya dan berniat masuk meninggalkan perempuan itu.
Entahlah, Giana hanya kesal dengannya. Bagaimana bisa dia tetap seangkuh dan setenang itu setelah menghabisi nyawa seseorang?
"Perjanjian," sergah Caroline yang membuat Giana menghentikan langkahnya. "Apa yang kamu minta dari perjanjian itu?"
"Kayaknya itu bukan urusan lo! Cowok itu yang nawarin sama gw jadi terserah gw mau minta apa aja."
"Cowok yang kamu maksud itu punyaku dan semua tentang dia harus aku tahu, tadi pagi dia keluar rumah bawa uang yang lumayan banyak. Kamu yang minta?"
Giana berbalik dan menatap Caroline yang tetap berdiri angkuh, pikirannya berusaha mencerna kata-kata Caroline barusan. Apa hubungan mereka berdua?
"Maksud lo dia punya lo?"
"Kamu belum tahu? Satya suamiku!" jawabnya dengan nada mengejek. "kayaknya kamu terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan kami berdua." Caroline berdecak pelan sambil tertawa tipis.
Giana terdiam, entah kenapa dia merasa ada yang mengganggu perasaannya. Apa dia kecewa? Tapi memangnya kenapa kalau mereka berdua ternyata sepasang kekasih?
"Ya udah tanya aja sendiri sama suami lo, gw sibuk."
"Kamu gak punya malu minta uang dan sekarang bertingkah seperti ini? Kamu pikir kamu siapa?" Caroline sedikit emosi melihat tingkah Giana yang menurutnya keterlaluan untuk hitungan seorang gadis miskin.
"Kayaknya lo gak tau apa-apa! Yang dia kasih hari ini gak ada apa-apanya di banding yang gw minta."
"Lebih baik kamu sadar posisi sebelum bertingkah seperti ini, kamu harusnya punya malu untuk minta uang hanya karena matamu itu melihatku. Bahkan aku bisa membeli matamu yang tidak berharga itu sekarang juga,"
"Trus? Lo bisa gitu lakuin apa aja seenaknya? Termasuk lempar perempuan itu dari atas jembatan?" sanggah Giana dengan nada yang sedikit meninggi.
"Dia cuma perempuan tidak berguna yang datang tiba-tiba!" Emosi Caroline tersulut, dia berteriak dihadapan Giana hingga semua orang yang ada di sekitar mereka serentak menatap.
"Terserah dia perempuan seperti apa! Semua orang berharga dan lo tetap membunuh manusia! Uang Yang lo dapat dari tong sampah sekalipun tetap lo sebut uang dan bsrfunsi seperti uang lainnya, jangan merasa paling tersakiti dan paling benar. Ikutin aja persidangannya dengan tenang dan jangan pernah ketemu lagi," jelas Giana dengan menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Matanya terbuka lebar saat menatap Caroline.
Caroline mengepal tangannya kuat-kuat, melihat wanita miskin itu perlahan meninggalkannya dengan angkuh. Semua tatapan pengunjung rumah sakit sudah tertuju padanya sedari tadi, tatapan mereka tampak aneh.
Dengan cepat Caroline menutupi kembali wajahnya, dia menyambar masker dari dalam tasnya dan kami menggunakan kacamata hitamnya. Dia berjalan dengan cepat melewati koridor untuk menghindari tatapan orang-orang di sana.